Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembali ke diri kakak yang dulu
MENU
About Us  

Kalung kematian

 

 Suara gemercik api unggun terdengar pelan. Kehangatannya merambat perlahan, mengusir dingin yang sebelumnya menusuk kulit. Ruangan ini... Hangat. Tenang. Jauh berbeda dari kegelapan hutan yang baru saja ditinggalkan.

  Di sudut ruangan, seorang pria paruh baya tampak sibuk menyiapkan teh hangat. Wapnya mengepul pelan dari cangkir tanah liat, menyebarkan aroma yang lembut. Sementara itu, di atas ranjang kayu sederhana, Naln mulai menggerakkan kelopak matanya.

  Perlahan. Ia membuka mata.

  Pandangan pertama yang tertangkap adalah sosok berambut putih, pria yang pernah dilihatnya dalam mimpi. Ia berdiri tak jauh dari tempat Naln berbaring, punggungnya menghadap api unggun, wajahnya diterangi cahaya keemasan dari nyala api.

  Naln mengerjap. Kepalanya berat, seolah dunia belum sepenuhnya stabil. Ia perlahan bangkit, duduk di tepi ranjang. Tangannya langsung terangkat, memegang pelipis yang masih nyeri.

  "Ugh..." desahnya pelan. Sakit itu belum pergi. Pukulan dari sosok-sosok hitam itu masih terasa membekas di tubuhnya.

  Pria berambut putih menoleh, memperhatikan Naln tanpa ekspresi jelas. Tapi sorot matanya tajam, seperti sedang mengamati, sekaligus... menjaga.

  "Kau akhirnya sadar," katanya pelan, suaranya dalam dan datar. Tak terdengar seperti sapaan, tapi lebih seperti pernyataan netral dari seseorang yang sudah tahu akhir dari cerita ini jauh sebelum dimulai. Naln menatapnya dengan sorot mata setengah bingung.

  "Kau... siapa...?"

  Pria itu tersenyum tipis, kemudian berbalik badan. Di tangannya tergenggam secangkir teh hangat yang dibawanya perlahan mendekat. Ia meletakkan cangkir itu di meja kecil di samping ranjang, lalu duduk dengan tenang di samping Naln.

  "Aku Sron, salam kenal," katanya dengan suara yang dalam dan penuh ketenangan. Matanya menatap langsung ke mata Naln.

  Naln menatap balik, memperhatikan dengan seksama. Mata Sron biru terang, dengan pupil berbentuk dua segitiga, satu menghadap ke atas, satu ke bawah, berwarna merah. Tapi... tak ada retakan hitam di dahinya seperti miliknya.

  "S-salam kenal, aku Naln," jawab Naln, agak ragu sambil mengulurkan tangan.

  Sron membalas dengan jabat tangan yang dingin, terasa pucat, kontras dengan kehangatan ruangan.

  "Apa yang membuatmu berani memasuki hutan ini, Naln? Kau tahu hutan ini berbahaya," suara Sron terdengar berat, namun lembut. Tapi senyum yang terukir di wajahnya... terasa seperti dipaksakan. Naln terdiam. Pertanyaan itu menusuk. Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya?

  "Aku..." suara Naln nyaris tak terdengar, matanya menunduk.

  "Aku... mencari kamu," lanjut Naln akhirnya. Seketika, senyum di wajah Sron melebar, tapi bukan senyum ramah. Lebih menyerupai seringai. Ia terkekeh pelan, ada nada puas dalam tawanya.

  "Kau mencariku?" gumamnya.

  "Sudah kuduga. Kau mengingat ajakanku dalam mimpimu, bukan?" Naln membeku. Ia tak menyangka Sron akan menyebut hal itu secepat ini. Tatapannya kini lebih dalam.

  "Kau masih mengingat aku, Naln?"

  Mimpi itu... kilas baliknya terputar dengan cepat di benak Naln. Sosok pria ini, Sron, yang berdiri dalam bayangan mimpi, menawarkan kekuatan... lalu pada akhirnya mencoba menyerangnya. Dengan kemampuan mengerikan yang bisa mengubah apa pun menjadi abu.

  "Mimpi itu nyata, Naln," bisik Sron.

  "Itu caraku menjangkaumu. Menyampaikan informasi... ketika kau tidur." Naln menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Kini ia sadar, ia memang datang untuk mencari seseorang. Tapi ia tak pernah menyangka bahwa kenyataan akan sedekat dan seganjil ini.

  "Minum dulu tehnya. Nanti aku jelaskan," ucap Sron dengan nada tenang.

  Naln hanya mengangguk pelan. Ia meraih cangkir di meja kecil sebelah ranjang dan menyeruputnya perlahan. Kehangatan cairan itu menyebar di tenggorokannya, sedikit mengurangi rasa sakit dan ketegangan yang membungkus tubuhnya sejak tadi.

  "Aku akan jelaskan... siapa aku sebenarnya." Tatapan Naln kini menajam, terpaku pada wajah pria itu.

  "Retakan di keningmu itu..." Jari telunjuk Sron perlahan terangkat, menunjuk tepat retakan itu berada. "Itu... warisan. Keturunan langsung dariku. Aku adalah pemilik pertama. Dan kau... pemilik kedua."

  Naln spontan menyentuh keningnya sendiri, seolah-olah bisa merasakan garis hitam itu berdenyut. Matanya beralih menatap kening Sron, kosong. Tak ada satu retakan pun.

  "T-tapi... keningmu," bisiknya, ragu.

  "Saat di mimpi... retakanmu banyak. Hampir menutupi wajahmu." Sron tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan di baliknya.

  "Ya. Yang kau lihat sekarang hanyalah penampakan sementara."

  Ia memejamkan mata. Dan perlahan, dari dahinya, retakan-retakan hitam menjalar, bercabang seperti akar mati, menjulur hingga mengenai mata. Naln menegang, matanya membelalak. Sosok di hadapannya kini bukan hanya menakutkan, tapi juga…menyedihkan.

  Retakan itu... seolah menyimpan kisah panjang tentang luka, kesepian, dan mungkin... kutukan.

  "Beginilah wajah asliku, Naln," kata Sron dengan suara berat.

  Naln terdiam. Apa yang baru saja ditunjukkan Sron terlalu asing, terlalu berat untuk langsung ia cerna. Retakan yang menjalar di wajah pria itu seakan membisikkan takdir yang tak bisa dihindari. Masa depan yang mungkin tak ingin ia miliki. Sron menarik napas pelan, lalu bersuara, memecah keheningan.

  "Omong-omong... kekuatan apa saja yang sudah bisa kau gunakan, Naln?" Naln menunduk sebentar, berpikir.

  "Teleport... hipnotis... pemulihan diri... dan... berbicara dengan Alam." Sron mengangguk lambat, seolah mencatat semuanya dalam benaknya.

  "Baiklah. Aku akui, hipnotismu lumayan. Bisa mengendalikan salah satu dari makhluk hitam itu... itu bukan hal kecil." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, lebih serius.

   "Tapi pemulihan dirimu... masih terlalu lambat." Naln mengangguk pelan. Ia tahu itu. Luka-lukanya tadi terasa lebih menyakitkan dari biasanya.

  "Dan sebenarnya," kata Sron, kini bersandar sedikit ke belakang,

  "masih ada satu kekuatan yang belum kau sadari." Naln menoleh.

  "Kekuatan apa?" Sron menatapnya dalam.

  "Darah." Naln mengerutkan kening.

  "Ya." Sron tersenyum tipis.

  "Kekuatan ini memungkinkanmu mengembangkan, menguatkan suatu objek, dengan hanya meneteskan darahmu ke atasnya. Tapi ada syaratnya kau harus melukai dirimu sendiri." Naln terdiam, mencoba mencerna.

  "Tapi tenang saja," lanjut Sron.

  "Kau punya kemampuan pemulihan. Dan itu akan membantumu, selama kau... melatihnya. Sama seperti hipnotis dan teleportasi, semuanya harus dikembangkan. Kalau tidak, kau akan kalah... dunia ini tidak ramah pada mereka yang setengah matang." Sron mencondongkan tubuh, suaranya kini lebih rendah, nyaris seperti bisikan.

  "Kau bukan manusia biasa, Naln. Kau pewaris sesuatu yang tak bisa ditolak. Jadi satu-satunya jalan adalah... menjadi lebih kuat dari apa pun yang menghalangi jalanmu."

  Naln mendengar ucapan itu bukan sebagai peringatan, melainkan sebagai… tantangan yang mengundang rasa penasaran. Ada nada samar dalam suara Sron, seperti seseorang yang tahu terlalu banyak, namun memilih menyampaikan hanya setetes dari lautan pengetahuannya.

  "Hari ini," kata Sron, bangkit dari duduknya perlahan,

  "kau istirahat dulu sampai tubuhmu benar-benar pulih." Ia melangkah ke perapian, membetulkan letak kayu yang mulai meredup bara apinya.

  "Besok kita mulai latihan kekuatanmu." Naln menatap punggung pria itu. Ia bisa merasakan bahwa latihan itu tidak akan sesederhana yang dibayangkannya. Sron berhenti sejenak, lalu menambahkan, tanpa menoleh,

  "Mungkin... mengenali benda. Dan... sesuatu yang baru." Ia menoleh setengah. Senyumnya samar, tapi aneh.

  "Dan tentu saja… wow." Naln mengerutkan dahi. Kata itu "wow" terdengar janggal diucapkan oleh seseorang seperti Sron. Namun justru itulah yang membuatnya penasaran. Ia belum mengerti sepenuhnya, tapi ia tahu, tempat yang ia masuki sekarang jauh berbeda dari sebelumnya. Naln mengangguk.

  Ia menatap tangannya. Luka-luka di sana masih belum pulih sempurna. Tapi semangat yang tumbuh di dalam dirinya mulai menyingkirkan rasa sakit itu sedikit demi sedikit. Besok akan jadi awal dari sesuatu yang belum pernah ia bayangkan.

 

***

 

  Sron menggenggam kalung itu di antara jari-jarinya yang panjang dan pucat. Permata merahnya memantulkan cahaya matahari pagi, membentuk kilatan aneh yang menari di udara. Kilatan itu terasa... hidup. Naln menelan ludah.

  “Kau… menciptakan Eavron dari manusia?” Sron menatap Naln, tidak tersenyum, namun juga tidak terlihat bersalah.

  “Ya,” jawabnya, tenang.

  “Beberapa manusia. Beberapa makhluk lain. Bahkan satu-dua dari mereka dulu pernah memohon padaku untuk menjadi kuat.” Ia menolehkan kepala sedikit.

  “Tapi kekuatan selalu menuntut harga, Naln. Dan aku hanya menyediakan... pintunya.” Naln masih terpaku pada kalung itu, lalu mengalihkan pandangannya pada mata Sron.

  “Apa kau akan menjadikanku salah satu dari mereka?” Sron mengangkat alis.

  “Jika aku mau, kau sudah menjadi salah satu dari mereka sejak malam pertama kita bertemu. Tapi tidak, Naln. Kau pewaris, aku akan melatih mu agar kau sama sepertiku.” Naln tak menjawab. Hatinya berdebar, entah karena takut, tertarik, atau keduanya  Sron melanjutkan, suaranya mulai lebih datar.

  “Alasan aku memperlihatkan ini bukan agar kau takut. Tapi agar kau tahu. Karena suatu saat nanti kau akan memakai kalung ini. Kau bisa membalaskan dendam mu kepada warga yang telah mengolok-olok mu, bahkan mengusir mu dari kampung.” Mata Naln melebar, bagaimana ia bisa tau kejadian itu? Aku saja tidak memberi tau hal itu padanya.

  “Tapi hal ini nanti saja, kau harus berlatih kekuatan mu yang lain dulu. Baru nanti ku berikan kalung ini pada mu, terserah mau kau buat apa saja. Nanti akan ku latih juga apa saja yang bisa kau lakukan dengan kalung ini.” Sron emmakaikan kalung itu Kembali pada lehernya.

  “Mari kita mulai latihannya.” Suara Sron menjadi lebih serius.

  Sron mennyontohkan cara berteleportasi yang keren namun tetap efektif jika ingin menyerang dan brlari. Ia berdiri di atas dahan pohon, tangannya menyilang di dada.

  “Lihat. Fokus ke satu titik. Jangan hanya bayangkan kau muncul di sana. Tapi rasakan dunia menekuk untuk menaruhmu di tempat itu.”

  Splash!

  Sron menghilang, lalu muncul lagi di dahan pohon lain.

  Splash!

  Lagi. Sekarang ia di tanah.

  Splash!

  Di belakang Naln. Tanpa suara, tanpa gesekan angin. Hanya muncul, seolah dunia menuruti pikirannya. Ia melakukan teleportasi berkali-kali tanpa henti.

  “Kau.” Sron menunjuk Naln, menyuruhnya untuk mencoba.   Naln menarik napas, menatap sebatang pohon di depan. Ia mencoba teleport ke sana.

  Splash!

  Bug!

  Naln menabrak pohon itu. Lagi.

  “Ugh...” Jatuh terduduk, ia mengeluh sambil memegangi bahunya.

  “Ini mustahil...” Sron menggeleng.

  “Tidak mustahil. Kau hanya melompat, bukan membengkokkan realita. Jangan paksa tubuhmu, paksa ruang di sekitarmu.” Meski frustrasi, Naln mencoba lagi.

  Ganti Latihan. Hipnotis.

  “Kita pindah ke kekuatanmu yang paling menjanjikan,” ucap Sron sambil menyuruh salah satu Eavron yang kini telah jinak karena kendali miliknya, mendekat.

  “Hipnotis adalah kekuatan manipulasi. Tapi kekuatanmu lebih dari itu. Kau bisa menjalin ikatan langsung ke bagian terdalam makhluk itu. Ke batinnya.”  Naln mengangguk. Ia menatap mata Eavron.

  Sekejap, mata Eavron itu menjadi serupa dengan mata biru Naln.

  “Coba kembalikan lagi.” Suruh Sron. Ia masih memperhatikan bagaimana Naln menghipnotis dan mengembalikan Eavron. Tangan nya di silangkan di depan dada.

  Naln berhasil, namun waktu yang di butuhkan lebih lama daripad aia menghipnotis Eavron.

  “Kau bisa menghipnotis dan melepaskan pengaruh mu dalam sekejap mata tidak?” Naln menatap Sron, ia menggelengkan kepala.

  “Kalau begitu sini aku latih dulu biar sekali melihat, Target mu langsung di hipnotis. Jika kau butuh waktu yang lama, bisa-bisa target mu tidak jadi kau hipnotis, karna ada yang membantu atau dia sendiri sadar.”

  Setelah itu. Sron melatih Naln terlebih dahulu, bagaimana cara menghipnotis target dalam sekejap mata, tidak sampai satu detik.

  Setelah beberapa menit di latih dan di coba. Sron akhirnya menyuruh Naln untuk mencoba lagi kepada Eavron itu.

  “Cepat hipnotis Eavron itu.” Naln menatap mata Eavron di hadapannya.   

  BLINK.

 Sekejap, mata Eavron berubah menjadi mirip mata Naln. Eavron membeku. Tak bergerak. Menunggu perintah. Sron terlihat terkesan.

  “Cepat. Sangat cepat. Tapi bisa kau lepas kendali dengan waktu yang sama?” Naln mengedipkan mata lagi.

  BLINK.

  Eavron kembali normal. Mengembuskan napas keras, seperti baru dibebaskan dari sesuatu.

  “Hipnotis dan release hanya dengan kedipan... Hebat.” Sron melirik Naln.

  “Kita akhiri Latihan pada pagi sampai siang hari ini. Kau istirahat sana. Sotre kita akan mulai Latihan lagi. Dan besok. Mungkin aku akan memberi mu kesempatan bagaimana cara menggunakan kalung yang ku miliki.” Seketika mata Naln berbinar.

  “Kalau boleh tau itu kalung apa?” Sron menatap Naln, ia diam sejenak, lalu menjawab dengan suara berat. Seringai terukir di bibirnya.

  “Kalung kematian.” Ia berbalik badan. Mulai melangkahkan kaki meninggalkan Naln sendiri di sana.

  Sedangkan Naln, ia terdiam. Kalung kematian? Naln semakin penasaran. Darimana asal kalung itu? Dimana Sron menemukan kalung sehebat dan se powerfull itu?

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
1052      700     1     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Naskah Novelku
7      4     1     
Inspirational
Ini cerita kita, penulis kecil yang nulis tanpa suara. Naskah dikirim, tanpa balasan. Postingan sepi, tanpa perhatian. Kadang bertanya, “Apakah aku cukup baik?” Aku juga pernah di sana. Hingga suatu malam, bermimpi berada di perpustakaan raksasa, dan menemukan buku berjudul: “Naskah Novelku.” Saat bangun, aku sadar: Menulis bukan soal dibaca banyak orang, Tapi soal terus berka...
Tanda Tangan Takdir
463      343     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
GEANDRA
812      625     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
8043      2544     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Wilted Flower
604      466     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Di Bawah Langit Bumi
4298      2044     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
TANPA KATA
85      79     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Rumah Tanpa Dede
267      194     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Kelana
1728      1110     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...