Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembali ke diri kakak yang dulu
MENU
About Us  

Balas dendam

 

 

  Suasana seketika membeku. Semua mata tertuju pada sosok laki-laki yang berdiri diam di ambang pintu. Tubuh Lenard bergetar. Ia ingin melakukan sesuatu.

  Tirell perlahan menaruh piringnya. Tak bersuara. Nafsu makannya menguap begitu saja.  Vorlen. Ia bangkit. Tubuhnya bergerak pelan, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

 “Naln... anak  Ayah... apa kabar?” suaranya bergetar namun mencoba terdengar hangat. Ia melangkah maju, lalu tanpa ragu, memeluk Naln dengan erat.

  Naln membeku dalam pelukan itu. Matanya berkaca. Setetes air mata akhirnya lolos. Tapi cepat-cepat ia hapus dengan kasar. Ia mendorong ayahnya, pelan, tapi tegas.

  “Kenapa, Naln?” tanya Vorlen, kebingungan.

  “Kau tak rindu dengan ayahmu? Padahal ayah di sini nunggu kamu... Ibumu bilang kau belum pulang karena masih di luar. Kamu ini, kalau pulang jangan malam-malam begitu...” Naln terdiam. Bahunya gemetar, tapi bukan karena dingin. Ia menunduk. Ia tak menyangka. Di malam ia kembali untuk… membalas dendam ayahnya.

  “...Ayah belum tahu, ya?” Vorlen menatapnya bingung.

  “Tahu apa?” Naln perlahan membuka tudung hoodie-nya. Retakan hitam itu kini bercabang tajam di dahinya. Helaian putih di rambutnya menonjol seperti benang kematian. Semua bisa melihatnya kini. Vorlen menahan napas. Matanya melebar.

  “Lihat ini,” suara Naln berat.

  “Karena ini, aku diusir dari kampung. Karena ini, aku disebut monster. Aku dituduh menghilangkan tiga anak. Ibu bilang aku belum pulang? Salah besar. Aku diusir. Dan Ayah tahu... Ibu juga mengusirku. Bukan cuma warga.”

  “...Naln...” bisik Vorlen, namun Naln memotongnya.

  “Ayah nggak benci aku? Padahal dulu Ayah juga diam. Sibuk cari uang. Uang. Uang.” Ia mendongak, matanya memerah.

  “Yang aku butuhkan bukan uang. Yang aku tunggu... hanya waktu. Kehadiran.” Vorlen terpaku. Wajahnya seperti hancur dalam diam.

  “Mungkin Ibu dan Lenard juga merasa begitu. Ditinggalkan,” lanjut Naln pelan. “Tapi bedanya... aku ditinggalkan dan diusir.”

  “Aku kembali ke sini bukan untuk nostalgia. Aku kembali untuk menyelesaikan sesuatu. Dan jujur saja, aku tak menyangka Ayah juga akan ada di sini malam ini. Tapi itu... mungkin kebetulan yang baik.” Naln menyeringai kecil. Tidak karena bahagia. Tapi karena getir.

  “Jadi, aku bisa sekalian... balas dendam ke Ayah juga.” Vorlen terhenyak.

  “Kau... punya dendam ke Ayah?” Naln mengangguk pelan.

  “Iya.” Diam panjang menyelimuti ruangan. Hanya detak jantung yang terdengar.

  “Selama ini, Ayah nggak tahu. Ibu sama saja seperti warga lain, mereka benci aku hanya karena retakan ini,” ujarnya lirih, menunjuk dahinya.

  “Mereka mengolok aku sebagai monster.” Naln tersenyum kecil.

  “Padahal... monster yang sesungguhnya itu bukan aku. Tapi mereka. Mereka yang menciptakan monster, lalu mengusirnya seolah tak berdosa.” Vorlen terdiam. Ia tentu tidak tahu bahwa anaknya semenderita ini.

  Ruangan kembali hening. Hening yang menggantung, seperti awan gelap sebelum hujan deras turun.

  Tiba-tiba, Vorlen berlari kecil menuju tasnya yang tergeletak di tempat sebelumnya ia duduk. Ia mengaduk isinya, lalu menarik sebuah pin. Mirip dengan yang ia berikan kepada Lenard tadi. Ia kembali ke hadapan Naln, lalu mengulurkan pin itu dengan tangan bergetar.

  “Ini untukmu,” katanya pelan.

  “Maaf... Ayah hanya bisa memberikan ini. Tapi ini pin yang berkualitas, kok. Sama persis dengan yang Lenard punya. Kamu tahu kenapa Ayah memberikan ini pda kalian?” Naln diam. Tatapannya dingin, tapi tak menolak uluran itu.

  “Saat kalian kecil,” lanjut Vorlen, suaranya mulai bergetar,

  “kalian berdua pernah bilang... ingin meraih bintang bersama. Makanya Ayah beli dua pin ini. Lihat, gambar dua anak itu, itu kalian.” Perlahan, ragu-ragu, Naln meraih pin itu. Ia menggenggamnya. Erat.

  “Yang kubutuhkan bukan hadiah seperti ini,” ucapnya lirih. Vorlen menelan ludah.

  “Kalau begitu... Kau butuh apa, Naln?”

  “Sayangnya... yang kubutuhkan itu sudah hangus,” kata Naln akhirnya. Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi penuh amarah yang ditekan.

  “Waktu.” Ia menatap ayahnya tajam.

  “Waktu luang yang seharusnya Ayah berikan pada keluarga. Pada aku. Tapi sekarang sudah terlambat. Sudah hangus. Terutama untukku. Aku sudah... kecewa.” Vorlen menatap anaknya dengan pandangan yang tak bisa diungkapkan kata-kata.

  “Naln...” ucapnya dengan suara parau.

  “Saat Ayah tahu kau adalah pemilik kedua retakan hitam... Ayah berusaha. Ayah sungguh berusaha menerima kamu, apa adanya. Kita berdua sudah-”

  “-Sudah apa?” potong Naln tajam.

  “Sudah pura-pura baik-baik saja, padahal diam saat ibu mencaci aku? Diam saat semua warga ingin aku pergi? Diam... dan terus cari uang, bukannya memeluk aku seperti sekarang?” Vorlen membatu. Ia tak bisa menjawab.

  Naln melangkah maju. Setiap langkahnya seolah menumbuk ruang dengan tekanan yang tak kasat mata.

  “Ayah tahu ibu membenci aku. Ayah tahu aku diusir. Apa respons ayah? Hah?” Ia hampir berteriak sekarang, tapi suaranya tetap terkontrol, dingin.

  “Diam. Selalu diam. Respons nya terlihat khawatir. Padahal tidak peduli.” Ruangan hening.

  “Sekarang, aku akan memberi tahu apa yang sudah ku lakukan sebelum aku berkunjung ke rumah ku.” Seketika, seringai terukir di bibir Naln.

  “Ayah, ibu, tahu ‘Eavron’?” Vorlen dan Tirell terdiam.

  “Darimana kau tau?” Tirell bertanya. Wajahnya tampak terkejut.

  “Tentu saja aku tahu, lihat.” Naln mengeluarkan kalung yang di masukkan ke dalam hoddienya.

  “Tentu aku tau karna kalung ini telah ada di tangan ku-”

  “Kau sudah bertemu dengannya?” Vorlen memotong.

  “Sron? Sudah tentu. Dialah yang melatih ku selama dua tahun ini. Menjadi pemilik retakan ke dua yang…layak. Seperti dirinya.” Vorlen menggeleng pelan.

  “Jangan, Naln, di aitu-“

  “Ayah mau mengaturku? Tidak bisa, Keputusan ku adalah Keputusan ku, Ayah tidak perlu ikut campur.” Naln terkekeh.

  “Kalian tahu? Aku sudah mengubah penduduk kampung ini…bukan- desa ini menjadi…Eavron.” Vorlen dan Tirell membelalak. Tirell reflek berdiri. Lenard mundur. Walau ia takt ahu Eavron apa. Namun saat kata ‘Mengubah’ terlintas di telinganya. Ia memikirkan hal buruk telah terjadi kepada para penduduk.

  “Sejak kapan kau-“

  “Sejak sebelum aku ke sini. Eavron-eavron ku dan sepuluh ular telah menghancurkan desa. Dan aku, mengubah penduduk nya seorang diri menjadi…Eavron.” Tubuh Tirell bergetar. Rasa takut mulai menjalar ke pikirannya.

  “Ibu takut? Tenang saja, aku tidak akan menyuruh Eavron-eavron itu menyerang kalian, justru aku sendiri yang akan melakukannya.” Vorlen spontan mengambil langkah mundur. Termasuk Lenard.

  “K-kakak…kakak mau apain ibu dan ayah?” Naln menoleh, ia menatap mata adiknya dengan hangat, lalu memberi senyuman.

  “Gak apa-apain kok…”

  Mata Naln menatap Tirell dan Vorlen secara bergantian, tatapan kosong namun dalam, seperti jurang yang tak berdasar. Tidak ada lagi air mata, hanya kepastian.

  Ia menyelipkan tangan ke dalam saku hoddie hitamnya. Mengambil sesuatu, benda kecil, runcing, mengilat di bawah cahaya lampu gantung yang mulai berkelap-kelip. Ia menempelkannya ke kulit lengannya. Sedaikit ragu dan gentar.

  Cittt.

  Goresan kecil. Cukup untuk membuat sebuah cairan keluar, hangat dan pekat.

  Naln menggenggam batang pohon kecil yang sejak tadi ia bawa, diam, seperti tidak penting. Tapi saat tetesan darah menyentuh kulit kayu itu…

  Zztt.

  Batang pohon itu bergetar pelan, berubah, membesar, membentuk sesuatu. Kayu yang keras melengkung dan melurus menjadi bilah. Ujungnya tajam, gagangnya padat. Jadilah sebuah pedang. Hitam pekat. Retakan-retakan merah menyala muncul di sepanjang permukaannya, seolah cairan itu meresap ke dalam dan memberinya jiwa.

   Lenard mundur. Tubuhnya gemetar. Ia belum pernah melihat Naln seperti ini. Dan yang paling menakutkan... ini bukan monster dari luar, ini saudaranya sendiri. Naln menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya sedikit membungkuk, mengambil posisi.

  Vorlen panik. “Naln… Naln, anak Ayah… Ayah minta maaf…”

  Terlambat.

  Splash!

  Splash!

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Loveless
10617      4801     613     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Survive in another city
230      187     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Langkah Pulang
888      541     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Public Enemy
1      1     0     
Fantasy
Ziora dianggap orang yang menyebalkan oleh semua orang karena tingkahnya, entah saat di lingkungan rumah atau di lingkungan Kartel sekolah sihirnya. Namun, bagaimana pun sudut pandangnya dan sudut pandang mereka berbeda. Semua hal yang terjadi dan apa yang Ziora rasakan berbeda. Mereka selalu berpikir, dialah dalangnya, dialah pelakunya, tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Kenapa ia...
Monologue
991      676     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
4861      1538     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Unexpectedly Survived
188      163     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
No Longer the Same
766      549     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Halo Benalu
2102      793     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
5170      1655     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...