Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Setelah malam penuh kepanikan yang membuat Tara harus dibawa ke IGD, dua hari berikutnya ia izin sakit dari tempat kerjanya. Hanya lewat pesan WhatsApp, Tara menghubungi atasannya, Bu Sopia. Ia takut dimintai surat dokter atau dipertanyakan panjang lebar karena saat ke IGD kemarin Tara dan bahkan Mamahnya tak sempat terpikirkan untuk meminta surat dokter. Tapi yang mengejutkan, balasan dari Bu Sopia justru menenangkan:

"Istirahat aja Ra, semoga cepat sembuh ya."

Tak ada tuntutan. Tak ada tanya. Hanya kehangatan dari seseorang yang mengerti. Namun ketenangan itu tak cukup untuk menyembuhkan rasa takut yang menetap di dalam dada Tara.

Selama dua hari di rumah, Tara benar-benar tidak diberi ruang bernapas untuk merasa tenang. Detik demi detik terasa seperti ancaman. Setiap bisikan angin, setiap bayangan di sudut ruangan, semuanya menggetarkan jiwanya. Ia takut. Ia trauma. Ia tak bisa melupakan malam itu.

Saat rumah sedang sepi, hanya ada ia dan mamahnya, Tara tak berani jauh. Ia mengikuti mamahnya ke mana pun, seperti anak kecil yang ketakutan ditinggal sendirian.

Mamah mencuci, Tara ikut berdiri di dekatnya. Mamah memasak, Tara duduk memperhatikan. Sampai akhirnya mamah berdecak pelan, sedikit kesal,

"Coba jangan halangin jalan mamah terus, kamu tiduran aja di kamar. Lagian mamah juga gak akan ke mana-mana."

Kata-kata itu menusuk Tara. Ia diam. Dalam hati ia bertanya,

"Ada apa dengan aku? Kenapa aku jadi seperti ini?"

Tara menurut, berjalan pelan ke kamar, membaringkan tubuhnya. Tapi baru sebentar ia berbaring, keringat dingin membasahi tubuhnya. Pandangannya kabur, sekeliling kamarnya seperti bergoyang, seolah sedang gempa. Baju-baju yang tergantung seperti bergerak, tubuhnya terasa terhuyung. Ia ingin menjerit.

Dan, ketakutan tak lazim itu, ketakutan yang membuat dada Tara sesak muncul kembali. Takut kehilangan kesadaran. Takut menjadi gila. Bahkan sampai.... takut mati.

Ia menahan diri untuk tidak lari ke mamah. Ia tahu mamah butuh ruang juga. Tapi tubuhnya mulai menggigil. Tangan dan kakinya bergerak sendiri. Akhirnya, ia tak kuat. Tara berlari ke dapur, menangis dalam pelukan mamah.

"Mah, kayaknya aku panik lagi," ucapnya terbata.

Mamah membimbing Tara duduk dan mencoba menenangkan,

"Relax dulu, Ra. Tarik napas, buang pelan-pelan. Jangan mikir yang aneh-aneh, ingat hal yang bikin kamu bahagia."

Tara menurut, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mamah sempat menawarkan obat penenang yang diberikan dokter semalam, tapi Tara menolak.

"Aku takut ketergantungan... Aku gak mau jadi kayak gitu, Mah," lirihnya.

Malam itu, Tara tidur bersama adiknya, Sekar. Ia merasa sedikit tenang. Tapi pukul satu dini hari, Tara terbangun. Serangan itu datang lagi. Tubuhnya terguncang, pikirannya dihantam rasa takut. Ia menangis. Ia tak tahu harus bagaimana. Dengan gemetar, ia masuk ke kamar mamah dan ayah, lalu berbaring di tengah, memeluk mamah erat-erat.

Mamah yang terbangun kaget langsung memeluk balik,

"Kamu kenapa, Ra?"

"Panik lagi, Mah..." jawab Tara sambil menangis tersedu.

Pelukan mamah membuat Tara akhirnya bisa tertidur sampai pagi.

 

                                    ***

 

Hari berikutnya, Tara masih di rumah. Ia kembali mengikuti mamah ke mana-mana, tak sanggup ditinggal sendirian. Serangan panik datang sesekali, membuatnya menangis tiba-tiba. Ia merasa tak berdaya, seperti tubuhnya bukan miliknya sendiri.

Sampai mamah berkata dengan nada tegas tapi pelan,

"Ra, kamu kan besok udah kerja lagi. Masa kamu mau ngikutin mamah terus kayak gini? Nanti di tempat kerja kamu mau ngikutin siapa atuh? Jangan gini terus ya. Kamu harus tenang dan jangan kepikiran banyak hal."

Kalimat itu menampar Tara pelan. Ia terdiam. berpikir.

Ia bukan pekerja di kantor yang ramai, ia sering sendiri di tempat kerjanya. Besok, ia harus menghadapi semua ini sendiri.

"Aku gak bisa begini terus. Aku harus berani," batinnya.

Ia masuk kamar, menutup dan mengunci pintu. Sebagai latihan. Latihan menghadapi kesendirian yang akan ia alami esok. Tapi semakin ia mencoba bertahan, semakin kuat rasa itu menyerang.

Ketakutan yang tak masuk akal kembali datang. Ketakutan tentang hal-hal yang belum terjadi. Tangan dan kaki mulai bergerak sendiri. Getarannya bahkan merambat hingga kepala. Giginya bergemeretak, rahangnya mengencang. Tara menangis. Ia teriak. Frustrasi. Ia pukul-pukul kepalanya sendiri.

Dari luar, suara mamah terdengar:

"Ra? Buka pintunya. Kamu kenapa?"

Bentakan kedua membuat Tara membuka pintu. Mamah terkejut melihat Tara dengan wajah penuh cemas. Tara memeluknya sambil menangis lirih,

"Mah... aku ini sebenernya kenapa sih? Aku gasuka kayak gini..."

 

                                     ***

 

Malam harinya ketika Tara sedang nyenyak tidur, gejolak itu datang lagi. Kali ini, Tara tanpa pikir panjang langsung berlari ke kamar mamah. Ia tidur di tengah, memeluk mamah, menangisi dirinya sendiri. Dan, saat pagi menjelang. Tara belum sepenuhnya terbangun. Tapi samar, ia dengar suara ayah bersiap ke kantor, Sekar dan Kak Dira juga sudah bangun.

Ayah berkata pelan, "Kok Tara tidur di kamar kita terus, Mah?"

Dan, Sekar menimpali, "Iya Mah, kok kak Tara tidur di kamar mamah terus? Aku semalem pas bangun kaget, pintu kamar kebuka lebar, kak Tara gak ada."

Mamah menjawab, tanpa tahu bahwa Tara mendengarnya di balik kantuk dan rasa perih yang belum sembuh,

"Gak tau tuh. Mamah juga... Tara tuh makin ke sini makin aneh ya."

Tara menangis. Dalam tidurnya yang setengah sadar. Ia merasa seperti pecah.

"Kalau mamahku sendiri gak bisa ngerti aku... lalu siapa lagi yang bisa?"

Dan dalam keheningan yang hanya bisa dipeluk oleh kesendirian, Tara menemukan sebuah pemahaman:

Pada akhirnya, mungkin yang paling bisa mengerti diriku... hanya aku sendiri.

 

                                   ***

 

Mau tak mau Tara juga harus bersiap memulai aktivitasnya di hari itu, ia bangun dari kasur dengan mata sembab dan wajah yang lumayan kacau. Meski ketakutan itu masih menempel erat di hati dan pikirannya, tapi bekerja adalah kewajibannya, ia tak boleh bermanja-manja di kondisi yang seperti ini. 

Pagi itu, dengan tubuh yang masih terasa setengah utuh, Tara berangkat bekerja. Langkahnya pelan, ragu-ragu, seperti seseorang yang belum sepenuhnya siap untuk kembali ke dunia yang bergerak cepat. Tapi ia tahu, diam terlalu lama pun tak akan menyembuhkan.

Rumah Bu Sopia menyambutnya seperti biasanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda pagi itu, kehangatan yang lebih ramai, lebih hidup. Tidak ada kesepian ataupun kesendirian. Di sana, Bukan hanya Bu Sopia yang duduk di ruang tengah. Ada Pak Yandi yang sedang merapikan dokumen, Mbak Susi dengan senyum lebarnya, dan dua keponakan Bu Sopia yang berlarian membawa tawa ke setiap sudut rumah.

Tara diam-diam menghela napas lega.

Suara obrolan yang bersahut-sahutan, tawa-tawa kecil yang tercipta dari candaan ringan, membuat pikirannya sedikit demi sedikit teralihkan. Panik masih berbisik, tapi suaranya tak sekeras biasanya. Seperti angin lewat yang tak sempat menyentuh kulit.

Ia menyiapkan dokumen, mengetik dengan pelan, sesekali menyimak cerita Pak Yandi tentang burung yang sarangnya jatuh tertiup angin. Mbak Susi menimpali dengan lelucon tentang sepeda butut yang mogok di tengah jalan. Tawa mengisi ruangan, dan untuk sesaat, Tara merasa seperti sedang menonton hidup dari balik kaca jendela sunyi, tapi tidak sendiri.

Dan anehnya, ia merasa lebih utuh di sana. Di antara cangkir-cangkir teh, lembaran-lembaran kerja, dan tawa orang-orang yang tak tahu betapa gelap semalam yang ia lewati.

Panik itu datang, tetap. Tapi hanya seperti bayangan awan lewat di siang hari. Tak membasahi, tak menakutkan. Ia biarkan saja lewat.

Hari itu, Tara pulang dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Tidak sepenuhnya sembuh, tidak pula sepenuhnya kuat. Tapi ada satu hal yang ia yakini:

Ternyata, suara-suara hangat bisa menjadi pelindung.

Dan rumah yang ramai bisa mengusir sunyi, walau hanya sebentar.

Senja menjingga saat Tara berjalan menjauh dari rumahnya Bu Sopia. Langit seakan melukis dirinya sendiri dengan warna lembut yang menenangkan, seolah tahu bahwa seseorang baru saja melewati hari yang berat namun berhasil.

Langkahnya menyusuri jalan setapak menuju rumah seperti biasa, tapi hatinya tak lagi sepenuhnya sesak. Ada ruang kecil yang terbuka, tempat napas bisa mengalir tanpa tertahan oleh air mata. Ia pulang, membawa sisa-sisa tawa dari orang-orang yang tak sadar sedang menyelamatkannya perlahan.

Sesampainya di rumah, Tara tak langsung masuk ke kamar. Ia duduk di tangga depan rumah, memandangi langit yang terus berubah warna. Ada desir angin yang menyentuh pipinya, dingin, tapi tidak menakutkan.

Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.

Dalam diam itu, ia menyadari satu hal:

Bahwa rasa panik dan cemas memang tak bisa sepenuhnya dihapus dalam sehari. Tapi ia bisa dinetralisir, bahkan oleh hal-hal yang sederhana seperti suara orang lain, percakapan ringan, aroma kue yang baru matang, atau tawa anak kecil yang berlari tak peduli dunia.

Dan untuk pertama kalinya menghadapi panik, Tara tidak menangis.

Bukan karena semua rasa itu lenyap, tapi karena hari ini ia tak merasa sendiri.

Ia masuk ke kamarnya. Menaruh tas dengan pelan, duduk di tepi ranjang, menatap dinding yang bisu.

Lalu ia mengetik sebuah kalimat di aplikasi twitternya, seperti yang biasa ia lakukan saat malam mulai meluruh:

"Aku belum sembuh, tapi hari ini aku tak patah. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk sekarang."

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • kyungsoo12

    relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    anxiety emang semenakutkan itu ya:)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    suka banget iiiii

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    Baru prolog dah menggambarkan anak tengah wkwk

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    tos dulu anak tengah

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    ceritanya sederhana, konfliknya gak berat, tapi ngena di hati

    Comment on chapter PROLOG
  • kuinchi_

    Seruuu bingitssss, ditunggu chapter selanjutnya ka intannaw😁

    Comment on chapter Bagian 23: Laut Biru Di Atas Sampul
Similar Tags
Dead Time
0      0     0     
Action
Tak ada yang tahu kapan waktu mulai berhenti. Semuanya tampak normal—sampai detik itu datang. Jam tak lagi berdetak, suara menghilang, dan dunia terasa membeku di antara hidup dan mati. Di tempat yang sunyi itu, hanya ada bayangan masa lalu yang terus berulang, seolah waktu sendiri menolak untuk bergerak maju. Setiap langkah membawa pertanyaan baru, tapi tak pernah ada jawaban yang benar-be...
Shut Up, I'm a Princess
1020      598     1     
Romance
Sesuai namanya, Putri hidup seperti seorang Putri. Sempurna adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Putri. Hidup bergelimang harta, pacar ganteng luar biasa, dan hangout bareng teman sosialita. Sayangnya Putri tidak punya perangai yang baik. Seseorang harus mengajarinya tata krama dan bagaimana cara untuk tidak menyakiti orang lain. Hanya ada satu orang yang bisa melakukannya...
Edelweiss: The One That Stays
2725      1196     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
I'il Find You, LOVE
6483      1846     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
Aldi: Suara Hati untuk Aldi
420      311     1     
Short Story
Suara hati Raina untuk pembaca yang lebih ditujukan untuk Aldi, cowok yang telah lama pergi dari kehidupannya
Aku Benci Hujan
8062      2328     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
In the Name of Love
749      462     1     
Short Story
Kita saling mencintai dan kita terjebak akan lingkaran cinta menyakitkan. Semua yang kita lakukan tentu saja atas nama cinta
Iblis Merah
10324      2836     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
SarangHaerang
2327      970     9     
Romance
(Sudah Terbit, sebentar lagi ada di toko buku dekat rumahmu) Kecelakaan yang menimpa saudara kembarnya membuat Hae-rang harus menyamar menjadi cewek. Awalnya dia hanya ingin memastikan Sa-rang menerima beasiswanya, akan tetapi buku harian milik Sa-rang serta teror bunga yang terjadi memberikan petunjuk lain kalau apa yang menimpa adiknya bukan kecelakaan. Kecurigaan mengarah pada Da-ra. Berb...
Bisakah Kita Bersatu?
646      377     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...