Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Pagi datang dengan cahaya yang lembut menyusup ke sela tirai jendela. Tara menggeliat perlahan di atas ranjang, tubuhnya masih terasa sedikit pegal setelah beberapa hari ini ia cukup disibukan oleh pekerjaannya. Tapi begitu Tara ingat hari ini adalah hari pertamanya menghadiri OSPEK dari calon kampusnya, semangatnya langsung bangkit.

Ia bangkit dari tempat tidur, menyambar handuk, dan masuk ke kamar mandi dengan wajah setengah mengantuk, setengah bersemangat. Setelah bersih dan segar, Tara mengenakan kemeja putih polos dan celana kain hitam, sesuai arahan dari email panitia kampus. Rambutnya ia kepang satu bermodel kepangan daun kebelakang, sederhana tapi tetap rapi.

Sambil menyantap roti dan telur orak-arik buatan sang Mamah, Tara memandangi pesan undangan yang kembali ia buka di ponsel. OSPEK untuk mahasiswi kelas mingguan, kelas yang diadakan setiap Sabtu dan Minggu, khusus untuk mereka yang bekerja atau memiliki jadwal fleksibel. Tara merasa ini langkah besar, dan ia ingin menjalaninya dengan sebaik mungkin.

Setelah berpamitan, Tara berangkat menggunakan ojek online. Sepanjang perjalanan, ia menyibukkan diri dengan membaca ulang brosur kampus dan mencoba mengingat nama-nama dosen yang disebut. Ia ingin tampil siap, meski dalam hatinya ada sedikit rasa gugup.

Begitu tiba di kampus, suasana sudah ramai. Aula tengah dipenuhi oleh ratusan calon mahasiswa dari berbagai latar belakang usia dan profesi. Ada yang datang dengan seragam kerja, ada juga yang seperti Tara, berpenampilan kasual dan rapi.

Tara melangkah masuk dengan sedikit ragu, namun tak lama seseorang menepuk bahunya dari samping.

"Hai, kamu juga kelas mingguan?"

Tara menoleh. Seorang perempuan berkacamata dengan jilbab berwarna sage green menyapanya dengan ramah.

"Iya," jawab Tara sambil tersenyum.

"Aku Nisa," ujarnya memperkenalkan diri.

"Tara."

Tak lama, dua orang lagi bergabung. Seorang pria bertubuh kurus tinggi bernama Aldi, dan seorang perempuan cerewet tapi lucu bernama Dita. Mereka saling memperkenalkan diri, membicarakan alasan memilih kelas mingguan, dan ternyata hampir semuanya sambil bekerja.

Dalam hitungan menit, Tara sudah merasa seperti menemukan tempat barunya. Ada yang bekerja sebagai barista, ada yang freelance desain, bahkan ada juga yang ibu rumah tangga tapi ingin kembali kuliah.

Selama OSPEK, mereka diajak berkeliling kampus, diberi pengarahan akademik, dan mengikuti beberapa sesi pengenalan. Tara sesekali mencatat poin penting, sesekali tertawa karena celotehan Dita yang tidak ada habisnya.

Ketika jam makan siang tiba, keempatnya duduk bersama di kantin kecil kampus, berbagi cerita sambil menyantap nasi kotak yang dibagikan panitia. Tara merasa hangat—meski ini baru hari pertama, tapi suasananya sudah begitu akrab.

Hari itu ditutup dengan foto bersama dan sesi berbagi harapan. Tara menuliskan satu kalimat kecil di secarik kertas yang diminta dikumpulkan:

"Semoga ini jadi awal yang baik, untuk belajar, bertumbuh, dan menemukan versi terbaik dari diriku."

Namun saat ia menyerahkan kertas itu, matanya sempat melirik tulisan dari mahasiswa lain di barisan sebelah. Ada yang menulis, "Akhirnya kuliah di jurusan impian: Sastra!" dan yang lain, "Bismillah jadi penulis profesional dari jurusan Sastra."

Tara menelan ludah. Sejenak ia terdiam.

Ia memutar pandangannya ke sekeliling aula. Semua wajah tampak bersemangat, begitu yakin berada di tempat yang mereka pilih. Dan di sanalah ia berdiri, seorang mahasiswi Manajemen, jurusan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Bukan karena ia tak suka. Tapi bukan itu yang membuat hatinya menyala.

Tara menarik napas pelan. Ada yang terasa seperti kosong dalam dadanya, seperti ia berdiri di tempat yang seharusnya bukan miliknya. Ia memperhatikan sekali lagi mahasiswa dan mahasiswi sastra berkumpul di gedung sebelah. 

Kenapa aku di sini? Kenapa bukan ikut mereka ke gedung Sastra? Kenapa bukan belajar tentang puisi, novel, dan kata-kata?

Ia kembali duduk bersama teman-temannya. Nisa sedang bercerita tentang pengalaman kerjanya di kantor pemasaran. Aldi sedang membahas teori bisnis yang pernah ia baca. Dita malah sibuk membagikan camilan. Tara tersenyum, ikut tertawa, tapi hatinya menggantung.

Tiba-tiba bayangan tulisan indah yang semalam ia kerjakan terlintas di pikirannya. Karakter-karakter di novel itu terasa lebih nyata daripada grafik SWOT dan laporan keuangan yang akan ia pelajari nanti.

Namun di tengah kegundahan itu, ia juga ingat satu hal: ia bisa tetap menulis. Ia masih bisa menciptakan dunia imajinasinya sendiri, walau ia sedang berjalan di jalur yang tak sepenuhnya ia pilih.

Ia menghembuskan napas pelan, lalu berkata dalam hati:

"Mungkin jalan menuju mimpi itu enggak selalu lurus. Tapi kalau aku terus jalan, siapa tahu bisa sampai juga."

 

                                    ***

 

Langit mulai berubah menjadi abu, dan senja menggantung malu-malu di antara gedung-gedung tinggi. Tara berjalan menyusuri trotoar, melangkah pelan sambil menenteng totebag berisi modul OSPEK. Kepalanya terasa sedikit berat, mungkin karena seharian beradaptasi dengan suasana baru.

Ia menatap ke arah ujung jalan, berharap angkot jurusan rumahnya segera datang.

Namun tiba-tiba, langkahnya goyah.

Napasnya mendadak sesak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Pandangannya berkunang. Dunia seolah bergerak lebih cepat dari biasanya. Tangannya bergetar, kakinya melemas. Ia mencari tempat duduk atau pegangan, tapi trotoar itu kosong.

Serangan panik itu datang begitu saja. Membekuknya di tengah keramaian jalan.

"Tolong, jangan di sini…," batinnya lirih.

Namun ia teringat sesuatu. Artikel yang pernah ia baca, sebuah pemahaman tentang anxiety dan panic attack di tengah malam saat tak bisa tidur. Tentang teknik sederhana bernama grounding. Ia mencoba menerapkannya, perlahan.

Yang pertama. Lihat: Ia membuka mata, meski buram, dan menyebut lima benda yang bisa ia lihat dalam hati, Tiang listrik di pinggir jalan, becak kosong yang terparkir, payung biru di tangan ibu-ibu, lampu toko kelontong, dan daun kering di dekat kakinya.

Lalu yang kedua. Rasa: Ia menyentuh permukaan tasnya—tebal dan sedikit kasar. Ia meraba celana jeans yang ia kenakan, kaku dan agak hangat karena matahari sore. Ia menekan jemari ke permukaan trotoar yang kasar dan dingin. Ia merasa ujung kuku yang sedikit menggigit telapak tangan saat menggenggam terlalu erat.

Lalu ia juga masih mengingat poin ketiga. Dengar: Ia mulai fokus mendengar: suara klakson bersahutan, suara penjual minum memanggil pembeli, deru mesin mobil, langkah sepatu orang yang melintas, dan suara anak kecil menangis dari kejauhan.

Dan poin terakhir. Hirup: Tara membuka resleting kecil di tasnya, mengeluarkan sebotol kecil aromaterapi beraroma lavender yang biasa ia bawa. Ia membuka tutupnya, menghirup dalam-dalam… sekali, dua kali, tiga kali.

Perlahan, detaknya melambat. Napasnya mulai teratur kembali.

Panik itu surut. Ia tak menang, tapi juga tak kalah.

Tara menghapus sudut matanya yang basah, berdiri kembali, dan menatap ke jalanan yang mulai terang oleh lampu-lampu kendaraan.

Angkotnya datang. Ia naik dengan langkah lebih tenang dari sebelumnya.

Hari ini, ia berhasil melewati satu badai kecil yang tak terlihat siapa pun tapi baginya, artinya sangat besar.

 

                                    ***

 

Di dalam angkot yang bergoyang pelan, Tara duduk di sudut dekat jendela. Sisa rasa panik tadi masih membekas, seperti riak kecil di permukaan air yang baru saja dilempar batu. Tapi setidaknya kini ia bisa bernapas lebih lega.

Di luar jendela, malam mulai turun perlahan. Cahaya lampu jalan memantul samar di kaca, membentuk bayangan wajahnya sendiri yang lelah namun tetap mencoba kuat.

Tara menyandarkan kepala di kaca, dan membiarkan pikirannya melayang. Tentang hari ini. Tentang rasa gugup, perkenalan baru, tentang kenyataan bahwa ia bukan berada di kelas sastra seperti yang selalu ia impikan… dan tentang dirinya sendiri yang masih terus belajar menerima.

Ia sadar, dunia ini tidak selalu memberi jalan yang lurus dan terang. Kadang berbelok tajam, kadang gelap sebentar. Tapi tidak apa-apa, pikir Tara. Karena toh, ia masih bisa melangkah, meski tertatih. Masih bisa bertahan, meski sesak.

Dan hari ini, ia belajar satu hal penting: bahwa rasa takut tidak akan membunuhmu, selama kamu tidak menyerah melawannya.

Angkot berhenti. Tara turun perlahan, membayar ongkos, dan melangkah pulang dengan kaki yang mulai terasa lebih ringan. Malam ini, langit tampak lebih jujur. Gelap, tapi tidak menakutkan. Seperti dirinya.

"Kadang yang paling sunyi dan mencekam bukanlah tempat menyeramkan…tapi pertempuran di kepala sendiri. Dan aku belajar, bahwa menyelamatkan diri, adalah bentuk cinta yang paling diam-diam namun berarti."

Tara mengetik kalimat-kalimat itu di aplikasi twitternya yang di gembok. 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • yuliaa07

    real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii

    Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik
  • pradiftaaw

    part damai tapi terjleb ke hati

    Comment on chapter Bagian 18: Teman yang Bernama Cemas
  • langitkelabu

    tidak terang tapi juga tidak redup:)

    Comment on chapter PROLOG
  • jinggadaraa

    gak cuman diceritain capeknya anak tengah ya, tapi juga ada selip2an anak sulung dan bungsunya:) the best cerita ini adil

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    makasih Tara sudah kuat, makasih juga aku

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    gimana gak ngalamin trauma digunjang gempa sendirian:('(

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rayanaaa

    seruu banget

    Comment on chapter EPILOG
  • rayanaaa

    Oke, jadi Tara itu nulis kisahnya sendiri ya huhuu

    Comment on chapter EPILOG
  • auroramine

    ENDING YANG SANGAT MEMUASKAN DAN KEREN

    Comment on chapter EPILOG
  • jisungaa0

    nangis banget scene inii

    Comment on chapter Bagian 30: Renungan
Similar Tags
Until The Last Second Before Your Death
519      377     4     
Short Story
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
Dark Fantasia
5434      1673     2     
Fantasy
Suatu hari Robert, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai pengusaha besar di bidang jasa dan dagang tiba-tiba jatuh sakit, dan dalam waktu yang singkat segala apa yang telah ia kumpulkan lenyap seketika untuk biaya pengobatannya. Robert yang jatuh miskin ditinggalkan istrinya, anaknya, kolega, dan semua orang terdekatnya karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Harta dan koneksi yang...
RUANGKASA
56      51     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
The Story of Fairro
3106      1396     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Cincin dan Cinta
1433      855     22     
Short Story
Ada yang meyakini, jika sama-sama memiliki cincin tersebut, kisah cinta mereka akan seperti Vesya dan Zami. Lalu, bagaimanakah kisah cinta mereka?
Mendadak Pacar
9729      2049     1     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
(not) the last sunset
618      432     0     
Short Story
Deburan ombak memecah keheningan.diatas batu karang aku duduk bersila menikmati indahnya pemandangan sore ini,matahari yang mulai kembali keperaduannya dan sebentar lagi akan digantikan oleh sinar rembulan.aku menggulung rambutku dan memejamkan mata perlahan,merasakan setiap sentuhan lembut angin pantai. “excusme.. may I sit down?” seseorang bertanya padaku,aku membuka mataku dan untuk bebera...
Naskah Novelku
7      4     1     
Inspirational
Ini cerita kita, penulis kecil yang nulis tanpa suara. Naskah dikirim, tanpa balasan. Postingan sepi, tanpa perhatian. Kadang bertanya, “Apakah aku cukup baik?” Aku juga pernah di sana. Hingga suatu malam, bermimpi berada di perpustakaan raksasa, dan menemukan buku berjudul: “Naskah Novelku.” Saat bangun, aku sadar: Menulis bukan soal dibaca banyak orang, Tapi soal terus berka...
REMEMBER
4971      1605     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
MANITO
3279      1915     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....