Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Malam itu, langit menggantungkan bulan purnama di atas halaman rumah. Tara duduk di bangku kayu, ditemani semilir angin yang membelai rambutnya perlahan. Di sudut halaman, lampu taman temaram menyinari langkah Mamah yang mendekat dengan kehangatan yang khas: kehangatan seorang ibu yang mengerti, meski tak selalu dimengerti.

"Ra," suara Mamah memecah keheningan, lembut tapi mantap, "kamu kan sekarang udah punya gaji yang lebih besar dari sebelumnya. Apa gak mau gunain uang kamu untuk terapi yang disarankan dokter Arini waktu itu, supaya kecemasan kamu membaik?"

Tara tak langsung menjawab. Hatinya sempat tergetar oleh kalimat itu. Ada sebagian dari dirinya yang bersyukur atas pencapaiannya, tapi ada juga bagian lain yang langsung menghitung: kuliah, kebutuhan sehari-hari, tabungan kecil untuk masa depan. Ia menarik napas pelan, mencoba menyusun jawaban.

"Makin hari makin membaik kok, Mah," ucapnya dengan senyum tipis, "aku bisa atasin ini sendiri."

Mamah memiringkan kepala, masih menatap anak gadisnya yang dulu pernah menangis diam-diam di balik pintu kamar.

"Kamu yakin? Kata kamu, kamu masih sering diserang panik sewaktu-waktu," tanyanya, memastikan.

Tara mengangguk. "Iya Mah, tapi setidaknya aku sudah tahu cara ngatasinnya. Dan itu… tanpa bantuan siapapun."

Mamah menatap Tara beberapa detik lebih lama dari biasanya, lalu tersenyum, "Yasudah deh, Alhamdulillah. Mamah seneng dengernya, kalau kamu bisa sembuh karena diri kamu sendiri."

Tara membalas senyum itu. Senyum yang mengandung banyak rasa: syukur, lega, dan sedikit diam yang tak bisa dijelaskan.

Begitu Mamah beranjak masuk ke dalam rumah, Tara masih tetap duduk di sana. Ia menatap bulan, seakan cahaya pucat itu sedang bicara padanya. Malam begitu tenang, tapi dadanya menyimpan jejak-jejak badai lama yang mulai bisa ia jinakkan.

Anxiety, panik, psikosomatis, semuanya pernah menjadi monster besar dalam hidupnya. Tapi sekarang, mereka bukan lagi musuh. Mereka adalah bagian dari dirinya. Dan yang paling penting, Tara mulai berani menatap mereka tanpa takut.

Ia meletakkan telapak tangan di dada, merasakan degup yang dulu sering membuatnya panik, tapi kini justru mengingatkannya bahwa ia masih hidup, masih bertahan, masih berjuang.

Ia menutup mata, membiarkan udara malam masuk perlahan ke dalam paru-parunya, dan menghembuskannya pelan.

Dalam diam, ia berbisik pada dirinya sendiri,

"Anxiety, ayo kita berteman mulai sekarang. Aku janji, gak akan anggap kamu musuh lagi."

Itu bukan kata-kata penyembuhan instan. Tapi itu adalah janji kecil dari seorang perempuan yang sudah cukup kuat untuk bertahan, dan lebih kuat lagi untuk menerima.

 

                                     ***

 

Malam merayap pelan, membawa keheningan yang pekat ke dalam kamar kecil itu. Hanya terdengar suara napas Sekar yang teratur, lembut seperti nyanyian malam yang menenangkan. Tara duduk bersandar di atas ranjang, cahaya biru yang berkedip samar dari layar laptop menyinari wajahnya yang tampak tenang namun penuh isi.

Di layar, hanya ada satu kalimat:

"Lukisan Tanpa Warna"

dan di sampingnya, sebuah sampul berwarna coklat tua, sederhana tapi menyimpan pesona yang dalam. Tara menatapnya beberapa detik, seperti seseorang menatap pintu yang belum ia buka, namun tahu di baliknya ada semesta yang belum pernah ia jelajahi.

Ia menghela napas, lalu jemarinya mulai menari di atas keyboard. Di pikirannya, imajinasi tumbuh seperti benih yang disiram bulan. Akarnya bercabang ke segala arah. Mencari cahaya, mencari suara, mencari makna.

"Akan kuceritakan sebuah keluarga," bisiknya lirih, "keluarga yang hangat, namun menyimpan rahasia yang bisa membakar ingatan siapa pun yang menyentuhnya."

Lalu ia menambahkan dalam hati,

"Dan akan ada seorang pelukis,yang mencintai warna lebih dari dirinya sendiri, namun pada akhirnya harus melukis dengan kenangan, bukan cat."

Tara tersenyum. Senyum seorang pencipta yang baru saja menemukan celah cahaya dalam kepalanya yang riuh. Ia tahu betul, cerita ini tak akan mudah. Tapi satu hal yang ia yakini:

cerita ini akan berbeda.

Bukan sekadar tentang cinta. Bukan sekadar tentang rahasia. Tapi tentang bagaimana satu garis bisa menyimpan sejarah, dan satu warna yang hilang bisa menyuarakan luka yang tak pernah dikatakan.

Jari-jarinya kembali menari, menuliskan kalimat pertama dan di sanalah malam memeluknya, membiarkan Tara larut dalam dunia yang hanya bisa lahir dari seorang penulis yang pernah hidup dalam sunyi, dan berdamai dengan gelisahnya.

 

                                    ***

 

Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat menyelimuti ruang makan kecil mereka. Suasana akrab mengisi sela-sela keheningan, sampai suara deham Kak Dira memecah segalanya. Seperti pertanda bahwa pagi itu akan berbeda.

Tara sempat mendongak, lalu kembali memandangi piringnya. Tapi telinganya tajam menangkap setiap nada dalam suara sang kakak.

"Aku mau kasih tahu kabar mengejutkan," kata Kak Dira sambil menahan senyum.

Mamah otomatis menghentikan gerakan sendok. "Kabar apa? Penasaran nih?"

Semua mata perlahan menoleh. Bahkan Sekar, yang biasanya paling cuek saat sarapan, kini memperhatikan penuh minat.

"Mah, Yah. Alhamdulillah aku naik jabatan di kantor. Karena kuliahku jurusan akuntansi, aku dipercaya menempati posisi head of finance."

Ayah spontan mengangkat alis, senyumnya merekah. "Wah, hebat banget anak Ayah!"

Pujian itu meluncur hangat, seolah tak perlu dipertanyakan lagi nilainya. Mamah ikut bersinar, bangga bukan main.

"Gimana ceritanya bisa naik jabatan gitu, Kak?"

"Iya, jadi para senior dipindahkan ke cabang. Kita-kita yang junior ini ditunjuk isi posisi kosong. Dan aku salah satunya."

"Wah, keren banget. Gajinya naik pasti itu," Ayah menggoda disusul gelak kecil dari Dira.

"Iya naik kok, alhamdulillah," jawabnya singkat tapi penuh rasa syukur.

Obrolan terus mengalir. Pujian demi pujian seperti aliran sungai yang tak habis-habisnya mengalir ke arah Dira. Tara hanya diam, tapi ia menyimak dengan saksama. Ada senyum di bibirnya, ikut bahagia untuk sang kakak. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang lain. Bukan iri, bukan cemburu. Hanya… keinginan kecil yang ia simpan dalam-dalam.

Ia berharap suatu hari nanti, ketika semua ini telah berjalan cukup jauh, akan ada pagi seperti ini untuknya. Bukan untuk gelar atau jabatan besar. Tapi untuk sesuatu yang ia bangun sendiri, dengan seluruh imajinasi dan air mata yang kadang hanya ditampung kertas kosong.

Tara ingin, suatu hari nanti, Ayah dan Mamah akan memandangi layar ponselnya, membaca namanya di sampul buku, lalu berkata dengan mata berbinar, "Hebat banget anak Mamah dan Ayah."

Dan saat itu tiba, Tara tahu, tak ada yang akan ia syukuri selain kalimat sederhana, barangkali:

"Terima kasih, sudah percaya padaku yang memilih jalan sunyi ini." 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • yuliaa07

    real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii

    Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik
  • pradiftaaw

    part damai tapi terjleb ke hati

    Comment on chapter Bagian 18: Teman yang Bernama Cemas
  • langitkelabu

    tidak terang tapi juga tidak redup:)

    Comment on chapter PROLOG
  • jinggadaraa

    gak cuman diceritain capeknya anak tengah ya, tapi juga ada selip2an anak sulung dan bungsunya:) the best cerita ini adil

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    makasih Tara sudah kuat, makasih juga aku

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    gimana gak ngalamin trauma digunjang gempa sendirian:('(

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rayanaaa

    seruu banget

    Comment on chapter EPILOG
  • rayanaaa

    Oke, jadi Tara itu nulis kisahnya sendiri ya huhuu

    Comment on chapter EPILOG
  • auroramine

    ENDING YANG SANGAT MEMUASKAN DAN KEREN

    Comment on chapter EPILOG
  • jisungaa0

    nangis banget scene inii

    Comment on chapter Bagian 30: Renungan
Similar Tags
PROMISES [RE-WRITE]
6219      1810     13     
Fantasy
Aku kehilangan segalanya, bertepatan dengan padamnya lilin ulang tahunku, kehidupan baruku dimulai saat aku membuat perjanjian dengan dirinya,
Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
675      476     1     
Short Story
Aku bukan langit, matahari, dan unsur alam lainnya yang selalu kuat menjalani tugas Tuhan. Tapi aku akan sekuat Ayahku.
Kaca yang Berdebu
168      136     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Arsya (Proses Refisi)
1727      906     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
Untuk Reina
26448      4056     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
10 Reasons Why
2652      1163     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...
When I Met You
650      375     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Teman Berbagi
4044      1430     0     
Romance
Sebingung apapun Indri dalam menghadapi sifatnya sendiri, tetap saja ia tidak bisa pergi dari keramaian ataupun manjauh dari orang-orang. Sesekali walau ia tidak ingin, Indri juga perlu bantuan orang lain karena memang hakikat ia diciptakan sebagai manusia yang saling membutuhkan satu sama lain Lalu, jika sebelumnya orang-orang hanya ingin mengenalnya sekilas, justru pria yang bernama Delta in...
Because I Love You
1608      891     2     
Romance
The Ocean Cafe napak ramai seperti biasanya. Tempat itu selalu dijadikan tongkrongan oleh para muda mudi untuk melepas lelah atau bahkan untuk menghabiskan waktu bersama sang kekasih. Termasuk pasangan yang sudah duduk saling berhadapan selama lima belas menit disana, namun tak satupun membuka suara. Hingga kemudian seorang lelaki dari pasangan itu memulai pembicaraan sepuluh menit kemudian. "K...
The Sunset is Beautiful Isn't It?
2353      745     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...