Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perahu Jumpa
MENU
About Us  

Musim kelulusan dua tahun lalu, Jevan dan kedua temannya--Dika dan Rama--gemar sekali menemani Pak Jaka merawat perahu besar dengan dua layar putih yang selalu ada di tepi pantai dari senin hingga jum'at karena hari sabtu Pak Jaka akan berlayar dan akan kembali pada minggu siang. 

Hari itu, mereka bertiga telah berjanji untuk langsung ke pantai setelah pulang sekolah. Tepat pukul empat sore, dengan mengendarai kedua kaki masing-masing, ketiganya menyusuri jalan menuju pantai dengan riang gembira. 

"Ujian kita, kan, sudah selesai, nih, Van. Kata ayahmu, setelah ujian selesai, kita boleh ikut beliau berlayar. Kira-kira beneran, nggak, tuh?" tanya Rama menerawang jauh ke obrolan mereka berempat saat membantu membersihkan kapal. 

Jevan menoleh. "Ayahku tidak pernah ingkar janji, Ma."

"Apa nggak sebaiknya kamu tanyakan saja? Takutnya ayahmu lupa." Rama menatap memohon. 

"Bener itu, harus ditanyakan, Van. Aku sudah sangat menunggu untuk menikmati angin laut semalam," sahut Dika antusias. 

Rama berdecak, "Awas saja nanti malah mabuk laut."

Dika mendelik, "Oh, nggak, dong. Dika Mahardika nggak pernah mabuk, apalagi mabuk laut."

"Iya ... nanti coba aku tanyakan," jawab Jevan mengiyakan. 

Lima belas menit berlalu tidak terasa oleh ocehan Rama yang berusaha mengingatkan Dika yang mabuk di dalam bus ketika satu desa melakukan jalan-jalan ke kota atas program baru Pak Kades. Saat itu, para gadis heboh ketika Dika tanpa pikir panjang mengotori lantai bus dan berakhir mereka bertiga harus membersihkannya ketika yang lain sibuk menikmati kota. 

"Itu, kan, pertama kali kita keluar dari desa ini, Rama," elak Dika bersikeras. 

Jevan tersenyum kecil.

"Kamu pikir aku dan Jevan bukan pertama kali?" Rama masih saja sinis. "Dasar, kamu saja yang tidak mau mengaku."

Dika memberengut. Kemudian mempercepat langkahnya ketika Pak Jaka sedang menyiram badan perahu--tidak ingin lagi berdebat tidak berkesudahan dengan Rama. 

"Tuh, kan, Van, lihat! Dia selalu saja menghindar seperti ini kalau sudah kalah bicara," kata Rama bernada sengit. 

Jevan lagi-lagi hanya tersenyum, seolah dia sudah sangat fasih dengan tingkah kedua temannya. Paling sebentar lagi udah cekikikan bareng lagi, tuh, katanya berulang kali di dalam hati. 

"Pak Jaka!" sapa Dika dengan semangat, lalu langsung mengambil alih ember hitam di tangan Pak Jaka, mengambil air pantai dan menyiramnya ke badan perahu. 

"Jam segini sudah pulang? Biasanya jam 5 sore. Terus, Jevan di mana?" tanya Pak Jaka setelah sadar embert di tangannya sudah menghilang. 

Dika mengangkat tangan kanannya ke arah Jevan dan Rama yang melangkah pelan menuju mereka. "Ini saja pulangnya terlalu sore padahal sudah tidak belajar lagi," ucap Dika. 

"Tidak belajar bagaimana? Kalian bolos?" 

Dika menghela napas pelan. Meletakkan ember ke atas perahu. "Kelas 12, kan, sudah tidak belajar lagi, Pak Jaka. Ujian saja sudah selesai. Datang sekolah cuma buat gangguin adik kelas dengan suara teriakan kayak hewan hutan."

"Iya, kamu salah satu hewan hutannya!" celetuk Rama. Pemuda itu berdiri sambil menyanggah tubuhnya di badan perahu. Air pantai yang tidak diam, membuat tubuhnya bergerak mengikuti gelombang. 

"Dika, mah, nggak, ya, Pak,. Rama saja, tuh, yang suka asal bicara."

"Sudah, sudah, jangan bertengkar!" Pak Jaka berusaha melerai. "Bapak tidak mau, ya, ketika ikut bapak berlayar, kalian malah bertengkar."

Rama dan Dika dengan kompak mendekat. "Jadi, benar, bapak mau ajak kita?" tanya Dika meminta penjelasan lebih jelas. 

Pak Jaka mengangguk. "Bapak tidak pernah ingkar janji, ya."

"Yes!" seru keduanya secara bersamaan, bahkan mereka nyaris berpelukan seperti biasa ketika sedang akur, tetapi tidak jadi karena sama-sama ingat kalau sedang bermusuhan. 

"Masih mau bertengkar?" tanya Pak Jaka. 

Dika menghela napas, hingga akhirnya mengulurkan tangan pada Dika. "Damai, deh, daripada nggak jadi."

Dengan sigap Rama menunjuk Dika, merasa tidak terima. "Tuh, kan, Pak, Dika ngajak damainya nggak ikhlas."

"Yasudah kalau tidak mau." Dika menarik kembali tangannya. "Tapi, ya, Pak, bagaimanapun juga, Dika udah ajak Rama untuk damai, tapi Ramanya nggak mau, jadi yang nggak ikut Rama aja," sambungnya tanpa basa-basa. 

Pak Jaka menatap Rama. "Jadi, Rama nggak ikut, ya?"

Secepat kilat, Rama melangkah mendekat pada Dika, langsung meraiih tangan temannya itu untuk berjabat. "Nih, udah damai, kok, Pak," katanya dengan senyum lebarnya. 

Jevan tidak bisa menahan senyumnya melihat tingkah laku kedua temannya itu. Jika dipikir-pikir, setiap hari, waktunya habis oleh keberagaman perilaku Rama dan Dika yang selalu saja ada perselisihan, tetapi tidak sampai sehari mereka langsung berdamai, seperti kali ini. 

******

Sabtu sore, Rama datang lebih dulu dengan tas ranselnya yang besar dan Dika pernah membahas tentang isi tas Rama yang semuanya adalah cemilan ringan untuk perbekalan berlayar. 

"Dika belum datang, kan?" tanya Rama seraya menempatkan diri di samping Jevan. 

Jevan hanya mengangguk kecil. "Berarti kali ini aku menang," lanjutnya. 

Jevan menoleh. "Menang apa?"

Rama menghadap. "Siapa yang datang duluan, harus ditraktir dua bungkus cemilan favorit."

Jevan mengangguk paham hingga akhirnya tersenyum iba. Dahi Rama mengernyit. "Ada apa dengan senyummu?" tanyanya. 

"Berarti kamu harus kehilangan dua bungkus cemilan favoritmu," jawabnya sambil membalik badan ke dalam rumah, bertepatan Dika muncul dari balik tirai sambil membawa nampan berisikan tiga cangkir, satu ketel air, dan sepiring bakwan hangat buatan ibu. 

Dika meletakkan nampan itu ke atas meja, kemudian duduk di sisi lain Jevan dan langsung mengulurkan tangan ke arah Rama. "Kamu lebih lama datang dari dugaanku," ucapnya. 

Rama menghela napas lesuh menatap uluran tangan yang mendesak untuk memiliki dua cemilan kesukaannya. Dengan berat hati, ia harus meraih tas ransel besar miliknya dan memberikan dua cemilan yang telah dijanjikan. 

Senyum mereka di wajah Dika tercetak bebas, tidak lupa dengan tangannya yang sudah siap membuka satu bungkus cemilannya. Sedangkan, Rama dengan wajah masam dan tidak rela, tetapi harus berusaha ikhlas. 

.
.
.
Bersambung .... 

Nantikan bab selanjutnya. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
706      483     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Kacamata Monita
3910      1209     3     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
2228      948     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Let me be cruel
10614      4373     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
C L U E L E S S
771      559     5     
Short Story
Clueless about your talent? Well you are not alone!
Segitiga Sama Kaki
1886      894     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Simfoni Rindu Zindy
2323      1398     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
God, why me?
353      273     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Hideaway Space
279      206     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Yang Tertinggal dari Rika
4984      1878     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...