Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

“Kalau aku hilang dan tidak ada yang mencariku, berarti aku memang tidak pernah ada.”

___Arsya Abiseka G.

______________________________________________________________________________________________
Suara tawa mengejek membangunkannya dari mimpi panjang.
Arsya membuka mata, kepala masih berputar karena sisa obat. Yang pertama dia lihat bukan langit-langit putih rumah sakit yang sudah familiar, tapi wajah-wajah asing yang menatapnya dengan mata penasaran. Belasan anak berkumpul melingkari ranjangnya seperti menonton pertunjukan sirkus.
"Lihat, dia bangun!" 
"Kurus banget. Botak lagi."
"Pasti anak buangan. Jelek, makanya nggak ada yang mau. Dia juga mungkin anak nakal.
"
Suara-suara itu menghantam telinganya sekaligus. Tapi yang lebih buruk—pikiran mereka ikut berdengung di kepalanya.
“Dia pasti lemah.”
“Kita apakan dia hari ini?”
“Mainan baru.”

Arsya mencoba duduk, tapi dunia bergoyang. Efek obat membuatnya mual dan pusing. Dia menutup mata rapat-rapat, berharap semua suara bisa hilang.
"Hei, kenapa diam aja?"
"Dia takut kita, ya?"

Semakin banyak anak yang datang mendekat. Ruangan yang sempit makin sesak. Napas Arsya mulai pendek.
"Pergi," bisiknya lemah.
Gelak tawa meledak. "Dia minta kita pergi! Dengar itu!"
"Dia pikir dia siapa? Raja?"
"Si Botak aneh."
"Anak buangan."

Setiap kata yang mereka ucapkan hanya berisi hinaan. Arsya menekan telapak tangan ke telinga, tapi pikiran mereka tetap mengalir masuk.
“Dia belum terima kalau dibuang makanya marah-marah.”
“Dia pasti masih berharap ada yang datang jemput.”
“Dasar bodoh!”

"HENTIKAN!" Arsya berteriak sekuat tenaga.
Tapi yang dia dapat justru tawa lebih keras.
Sesuatu dalam dada Arsya pecah. Tangannya meraih bantal dan melemparkannya ke arah anak-anak. Mereka menghindar sambil tertawa.
"Wah, dia ngamuk!"
"Ayo, ayo! Bikin dia makin marah! Biar dia tau diri."
Arsya melempar apa saja yang bisa dia raih. Gelas plastik, sandal, bahkan seprai. Tangan kecilnya bergerak tanpa kendali, didorong amarah dan frustrasi yang meluap.
"Pergi kalian! Pergi!"
Seorang anak laki-laki yang lebih besar—mungkin umur sepuluh tahun—melangkah maju dengan senyum jahat. "Kamu mau ngusir kita? Ini rumah kita, bukan rumah kamu."
"Iya, kamu yang harus pergi dari sini!"
"Tapi kemana? Kamu kan udah dibuang!" 
Suara tawa mengejek terdengar lagi.
Anak itu mendorong bahu Arsya, tidak keras tapi cukup untuk membuatnya terhuyung. Arsya mendorong balik, lebih kuat, hingga si anak terpeleset ke belakang.
Tubuh anak itu menabrak seorang bocah kecil yang sedang bermain balok di pojok. Bocah itu terjengkang, balok-baloknya berserakan, lalu menangis sejadi-jadinya.
Hati Arsya mencelos. Dia tidak ingin menyakiti siapa-siapa.
Tapi terlambat. Si anak besar bangkit dengan wajah merah. "Sekarang kamu udah bikin masalah!"
Dia menerjang Arsya. Keduanya jatuh ke lantai, bergulat. Tangan si anak mencengkeram telinga Arsya dan menjewer keras-keras.
"Argh!" Arsya membalas dengan menjambak rambut lawannya, kedua tangannya mencengkeram erat.
"Lepas! Lepasin rambutku! Sakit, lepas!" 
"Kamu duluan yang lepas!"
Mereka berguling-guling di lantai sempit. Beberapa anak mencoba memisahkan, tapi malah ikut terjatuh. Yang lain berteriak memanggil pengurus.
Arsya sudah kehabisan tenaga, tapi sesuatu membuatnya bertahan—mungkin keputusasaan, mungkin ketakutan. Saat lawannya mulai unggul, Arsya panik dan menggigit tangan yang mencengkeram telinganya.
"AAAHHH!" si anak berteriak dan refleks menendang perut Arsya.
Tendangan itu menghantam persis di tempat lukanya masih belum sembuh. Tubuh Arsya terlempar dan tergelincir masuk ke kolong ranjang.
Rasa sakit meledak di perutnya. Arsya meringkuk, lutut ditarik ke dada, napas tersengal-sengal. Tapi yang lebih mengerikan—pemandangan dari bawah kolong ini.
Kaki-kaki anak-anak berlarian. Suara teriakan. Persis seperti malam penculikan itu.
Kilatan ingatan menyerbu. Dia tiba-tiba kembali berada di bawah ranjang rumah sakit, mendengar langkah kaki asing yang datang mengambilnya. Tarikan tangan kasar. Jarum suntik. Wajah-wajah menyeramkan.
Dadanya sesak. Telinga berdengung. Keringat dingin mengalir membasahi dahi.
"Nak, kamu terluka?" Suara pengurus panti terdengar jauh, seolah dari ujung terowongan. "Keluarlah dari sana, biar kita lihat."
Arsya tidak bisa bergerak. Tubuhnya kaku ketakutan.
"Mbak, bagaimana ini?" Kania, pengurus muda, berbisik cemas. "Ibu sedang ke balai desa melaporkan anak ini."
"Ah!" Fatma, pengurus yang lebih tua, menepuk jidat. "Ada obat yang ditemukan bersamanya waktu itu. Mungkin obat rutinnya."
Mendengar kata 'obat', Arsya bergidik. Obat yang diberikan penculik bukan untuk menyembuhkan. Dia tahu itu.
"Kita tidak boleh sembarangan kasih obat," kata Kania ragu.
"Tapi dia kesakitan. Anak-anak lain juga ketakutan lihat dia begini."
Fatma berlutut dan mengulurkan tangan ke kolong. "Nak, keluar dulu. Kakak mau bantu."
"Nggak..." suara Arsya parau. "Nggak mau..."
Dengan susah payah, Fatma menarik tubuh Arsya keluar dan memangkunya. "Tenang dulu. Atur napasmu. Nanti Kakak kasih obat biar tidak sakit."
Arsya menggeleng lemah. Dadanya makin sesak, napas makin pendek. Dia merasakan bahaya—bahaya yang sama seperti malam penculikan.
"Enggak mau, tolong buang…Tolong..." bisiknya hampir tak terdengar.
Tapi siapa yang akan menolongnya di tempat asing ini?
Mata Arsya mulai buram. Tubuhnya lemas. Dalam kepanikan, dia melakukan hal yang bahkan dia sendiri tidak mengerti—dia memanggil dengan seluruh jiwa raganya.
“Tuhan... tolong aku... kirimkan siapa saja…”
“Dokter Nata…”
“Kakek…”
“Siapa saja yang bisa nolong…”
***
“Kakek….”
Pak Damar tersentak dari tidurnya. Jantungnya berdetak kencang. Suara itu… bukan mimpi. Terlalu nyata. Terlalu dekat.
Ia duduk, mendapati dirinya sendirian di ruang kerja kecil rumah kayu yang mereka sewa di pinggiran kota Tokyo. Lampu meja menyala redup. Di luar, angin malam meniup gorden tipis.
Hari itu panjang—persiapan ulang tahun dan senyum palsu. Tapi sekarang, semua terasa sunyi. Hampa.
"Arsya... kamu barusan memanggil Kakek?"
***
Di panti asuhan yang jaraknya puluhan kilometer, Arsya akhirnya kehilangan kesadaran dalam pelukan Fatma. Tapi untuk sesaat sebelum gelap menelannya, dia merasakan kehangatan—seolah ada seseorang, di suatu tempat, yang mendengar panggilannya. Seseorang yang juga memanggil namanya.
Dia terlihat tenang dalam tidurnya.
Tapi malam belum selesai. Dan takdir belum memutuskan di pihak siapa ia berpihak.
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • sabitah

    ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...

    Comment on chapter PROLOG
  • romdiyah

    Ga sabaarrrrr selanjutnya gimana?? Mendebarkan banget ceritanya. Aaa bagus bangett ,😭😍😍😍😍😍

  • limbooo

    Baru di prolog udah menarik banget cerita ini 😍

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Bisikan yang Hilang
88      79     3     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Broken Home
45      43     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
FAYENA (Menentukan Takdir)
1026      586     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
40 Hari Terakhir
1924      1137     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Yang Tertinggal dari Rika
4067      1501     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Sebab Pria Tidak Berduka
207      171     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Ruang Suara
327      238     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa β€˜bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
489      327     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
H : HATI SEMUA MAKHLUK MILIK ALLAH
59      54     0     
Romance
Rasa suka dan cinta adalah fitrah setiap manusia.Perasaan itu tidak salah.namun,ia akan salah jika kau biarkan rasa itu tumbuh sesukanya dan memetiknya sebelum kuncupnya mekar. Jadi,pesanku adalah kubur saja rasa itu dalam-dalam.Biarkan hanya Kau dan Allah yang tau.Maka,Kau akan temukan betapa indah skenario Allah.Perasaan yang Kau simpan itu bisa jadi telah merekah indah saat sabarmu Kau luaska...
Sendiri diantara kita
2737      1150     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...