Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kelana
MENU
About Us  

Setiap hari adalah kesempatan untuk memulai harapan baru, kadang-kadang dalam kegelapan yang mendalam, kita menemukan cahaya yang datang dari mereka yang berhati malaikat.

 

Kesibukan di sekolah sering kali membuat Haikal kesulitan membagi waktunya, apalagi hanya untuk sekedar membantu Pak Brata di rumah makan. Ia harus mengejar banyak ketertinggalan pelajaran, yang tak jarang membuatnya merasa penasaran. Namun, ada satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan: keberadaan Aira. Sebagai siswa baru, Haikal beruntung bisa sekelas dengan gadis itu. Aira menjadi teman yang sangat membantu, terutama saat Haikal kesulitan dengan pelajaran. Tak jarang, Aira dengan sabar mengajarkan kakak angkatnya itu, meskipun Haikal merasa sedikit canggung dengan perhatian Aira yang begitu tulus.

 

Semua teman sekelas sudah tahu bahwa Haikal adalah kakak angkat Aira, dan kadang-kadang, beberapa siswi terang-terangan mendekati Aira, mungkin sebagai cara untuk bisa dekat dengan Haikal. Walaupun mereka masih di bawah umur, zaman sekarang sepertinya anak-anak kecil pun sudah mulai mengenal istilah 'cinta-cintaan.' Namun, bagi Haikal, itu hanya sekadar dinamika yang lucu, meskipun kadang-kadang sedikit mengganggu.

 

Di perjalanan menuju rumah, saat matahari setengah tenggelam dan langit berubah menjadi oranye yang hangat, Aira mengeluhkan banyak hal pada Haikal setelah hampir tiga minggu berada di sekolah yang sama.

 

Haikal, yang berjalan mundur sambil mendengarkan ocehan gadis di depannya, hanya bisa tersenyum. Sesekali, tawa ringan keluar dari mulutnya, mendengar betapa kesalnya Aira dengan situasi yang dia hadapi.

 

"Pokoknya, nanti kalau di sekolah, Aira nggak mau lagi deket-deket sama A Haikal. Masa mereka mau temenan sama Aira, cuma buat nanya-nanya soal A Haikal doang! Ishh!" Aira menyebutnya dengan nada jengkel, tampak kesal.

 

Haikal hanya tertawa geli. "Ya, bagus kan? Karena adanya A Haikal di kelas, kamu jadi punya banyak temen. Gitu, loh," jawabnya dengan ejekan ringan, memandangi Aira yang kini tampak cemberut. Lucu sekali melihat ekspresi kesalnya.

 

Langkah Haikal akhirnya berhenti di persimpangan jalan. Tanpa sengaja, Aira ikut berhenti, bingung melihatnya.

 

"Kamu pulang duluan, ya," ujar Haikal dengan nada santai. "Aa mau ke rumah makan dulu. Ayah juga kayaknya belum pulang," tambahnya, sedikit menyiratkan bahwa ia memang punya urusan lain.

 

Aira hanya mengangguk, meskipun terlihat sedikit enggan untuk berpisah.

 

Keduanya berpisah di persimpangan. Haikal memutar langkahnya, menuju rumah makan tempat ayah angkatnya masih bekerja. Saat ia sampai, lampu rumah makan masih menyala, memberi tanda bahwa tempat itu belum sepi.

 

“Assalamu’alaikum! Loh, Ayah belum pulang?” Haikal menyapa sambil meletakkan ranselnya di salah satu meja, lalu beralih ke tempat cucian piring setelah mencium tangan Pak Brata dengan penuh hormat.

 

Melihat anak laki-lakinya yang sudah berniat mencuci piring yang menumpuk setelah seharian penuh pelanggan datang, Pak Brata hanya bisa menatapnya dengan pandangan lembut. Beliau sudah sering kali mencegah Haikal untuk membantu, terutama setelah anak itu sibuk di sekolah. Pak Brata ingin Haikal fokus pada pendidikannya, tidak ingin anak itu kelelahan dengan pekerjaan rumah makan yang tak ada habisnya. Namun, Haikal selalu bersikeras, tak peduli seberapa sering Pak Brata mencoba melarang. Pak Brata akhirnya hanya bisa memakluminya.

 

Mungkin, bagi Haikal, mencuci piring dan membantu ayah angkatnya di rumah makan ini adalah cara untuk sedikit bernapas lega, mengalihkan perasaan bersalah yang selalu menghantuinya. Setiap kali ia menerima uang saku dari Pak Brata, seringkali bayangan tentang tatapan kesal dan omongan orang-orang yang menilai dirinya buruk muncul di kepalanya.

 

Itulah sebabnya, meski lelah dengan tuntutan sekolah, Haikal selalu menyempatkan diri untuk membantu Pak Brata. Mungkin suatu saat, ketika dirinya sudah bisa bekerja dengan layak, saat itulah ia bisa membalas budi dan segala kebaikan yang telah diberikan oleh Pak Brata padanya.

 

Sekitar pukul sepuluh malam, Haikal dan Pak Brata baru saja tiba di rumah. Begitu membuka pintu, mereka menemukan Aira yang tengah asyik menyantap cemilan sembari menonton tayangan televisi. Gadis itu tampak nyaman dengan kesendiriannya, tak pernah takut meski ditinggal sendirian di rumah, baik di siang atau malam hari.

 

Setelah melepas sepatu dan masuk ke ruang tengah, Haikal tak bisa menahan senyum melihat tingkah lucu Aira. Pipinya yang tembam penuh dengan cemilan, dan matanya yang fokus pada layar televisi, sambil sesekali menggerutu kesal. Rupanya, Aira kesal karena Haikal dan Pak Brata pulang begitu larut dari rumah makan.

 

Haikal mendekat, lalu dengan lembut mengelus puncak kepala Aira, membuat gadis itu terdiam seketika. Seluruh gerutuan yang tadi keluar dari mulutnya lenyap seketika, digantikan dengan tatapan penasaran.

 

"Jangan lucu-lucu ya, Ra," ujar Haikal sambil tersenyum lebar, menggoda. Aira hanya cemberut sejenak, tapi senyum Haikal berhasil membuatnya ikut tertawa pelan.

 

٭٭٭

 

Sejak kecil, Haikal selalu memimpikan sebuah keluarga yang hangat, rumah yang penuh dengan canda tawa, serta hari-hari yang selalu dipenuhi kebahagiaan. Kini, setelah tinggal bersama Pak Brata, impian itu perlahan menjadi nyata. Terlebih lagi sejak dirinya semakin dekat dengan Aira. Gadis itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari hari-harinya, selalu hadir dengan keceriaan yang membuat segalanya terasa lebih bermakna.

 

Sore ini, Haikal dan Aira memutuskan untuk menghabiskan waktu di pantai. Setelah mendapat izin dari Pak Brata, mereka pergi berboncengan sepeda, menyusuri jalanan kecil di bawah semburat jingga langit senja. Sepanjang perjalanan, suara tawa kecil Aira membuat hati Haikal hangat. Entah kenapa, gadis itu selalu berhasil membuat senyumnya tak pernah surut. Apa sebenarnya perasaan ini? Haikal tak ingin berpikir terlalu jauh, ia hanya ingin menikmati momen ini.

 

“A Haikal, Aira boleh tanya sesuatu?” Aira berkata sembari bergeser lebih dekat di atas pasir pantai.

 

Haikal melirik sekilas, lalu mengangguk ringan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

 

“Di antara semua siswi yang sering ngasih surat ke a Haikal, apa nggak ada satu pun yang aa suka? Aira bosen tahu, tiap hari digangguin terus.” Nada Aira setengah bercanda, tetapi matanya menunjukkan rasa penasaran yang tak main-main.

 

Haikal terkekeh. Gadis ini memang selalu punya cara membuatnya geli. Mengatur napas yang sempat tersengal akibat tawa, Haikal akhirnya menjawab. “Ada, Ra.”

 

Mata Aira berbinar penuh harap. Akhirnya, setelah sekian lama menjadi kurir cinta dadakan, ia berpikir tugas itu akan segera berakhir.

 

Namun, Haikal melanjutkan, “Tapi, sekarang harus belajar dulu.”

 

Kalimat itu seperti angin yang menjanjikan bara semangat Aira. Ia senang pelan dan tiba di wajah, kecewa. Melihat perubahan ekspresi itu, Haikal mulai merasa bersalah, meski ia sendiri tak tahu apa yang salah dari ucapannya.

 

“Pulang yuk, a. Udah hampir maghrib. Nanti Ayah khawatir lagi,” ujar Aira tiba-tiba, dengan nada yang terasa lebih dingin dari biasanya.

 

Haikal hanya bisa mengangguk, lalu mengayuh sepeda mereka kembali ke rumah. Tak seperti saat pergi, perjalanan pulang diiringi kenyamanan yang aneh. Tak ada suara percakapan atau tawa riang seperti sebelumnya.

 

Setibanya di rumah, Pak Brata sudah berdiri di depan pintu, menyambut mereka dengan senyuman hangat. Hari ini, rumah makan tutup lebih awal karena Pak Brata baru saja pulang dari menjenguk kerabat jauh.

 

“Kok Aira jadi pendiem gitu, Kal?” tanya Pak Brata, memperhatikan kedua anak itu yang terlihat sedikit canggung.

 

Haikal hanya tekad kepala, bingung harus menjelaskan apa. Ia sendiri tidak mengerti apa yang membuat Aira berubah sikap.

 

Pak Brata tertawa kecil, lalu menepuk pundak Haikal pelan. "Udahlah, namanya juga anak gadis. Nanti juga baikan lagi. Ayah di sini masak soto ayam. Setelah mandi, kita makan bareng, ya."

 

Ayah. Kata itu selalu membuat Haikal tenang. Meskipun sudah terbiasa memanggil Pak Brata dengan sebutan itu, rasanya ia masih tak percaya diberi kesempatan merasakan kehangatan seorang ayah lagi. Baginya, setiap detik di rumah ini adalah anugerah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kehangatan ini... Seperti mimpi yang akhirnya menjadi nyata.

 

Di bawah atap yang bersahaja, dinding-dindingnya bercerita, tawa bergaung di setiap sudutnya, di sanalah indah menumbuhkan akarnya. 

Di ruang tamu, kenangan tersimpan, kisah sederhana, hangat dan berarti. Di dapur, aroma kasih melingkupi, masakan cinta yang tak pernah henti. 

Kamar kecil menyimpan angan, tempat mimpi-mimpi perlahan berlabuhan. Di teras, langit jadi Saksi harapan, dalam hembusan angin, doa berhembusan.

Rumah bahagia tak butuh megah, cukup hati yang tak pernah resah. Ada peluk yang tak meluruh, pun sabar kokoh tak terguguh.

Rumah kecil nan sederhana itu... 

Menjadi pelipur jiwa-jiwa pilu. Disana... Cinta bersemayam, tak pernah berbaring. Tempat dimana bahagia tak diukur harta dunia, melainkan cukup dengan hati yang dipenuhi banyak makna. 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Langkah Pulang
1195      723     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Fusion Taste
367      311     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Langkah yang Tak Diizinkan
340      283     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Metafora Dunia Djemima
238      199     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Fidelia
2686      1297     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Warisan Tak Ternilai
1008      492     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Senja di Balik Jendela Berembun
64      58     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Da Capo al Fine
655      510     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Survive in another city
305      236     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Fragmen Tanpa Titik
81      75     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...