Loading...
Logo TinLit
Read Story - Semesta Berbicara
MENU
About Us  

Vinda melangkah segan ke dalam gedung perusahaan Naratama. Karena Fabian sedang berada di Jakarta, ia harus menggantikannya dalam urusan proyek kerja sama ini. Ia melangkah gugup sekaligus senang; setidaknya di sini dia bisa bertemu dengan Anjar, bos perusahaan ini yang telah dikenalnya. Memang belakangan ini pria itu seringkali mengiriminya pesan, hingga kini mereka terus berbalas pesan. Ia sudah lama tidak bertemu dengan pria Jawa manis itu, entah bagaimana harus bersikap di depannya nanti.

“Mau bertemu dengan siapa, ya?” seorang Resepsionis bertanya kepadanya.

“Dengan Pak Anjar, sudah janjian sebelumnya. Saya Vinda, perwakilan dari RumahWaktu,” Vinda memberitahukan.

“Oh sebentar ya,” wanita resepsionis itu bicara melalui telepon kepada seseorang, sangat singkat, sebelum menutupnya. “Silakan langsung masuk ke ruangannya, di ruang Direktur Utama, lantai 5.”

“Baik, terima kasih!” Vinda menurut. Sambil berjalan, ia mengamati kantor perusahaan yang tampak mewah dan modern ini, berbeda sekali dengan kantornya yang terkesan lebih seperti rumah dan kasual. Perusahaan Anjar maju juga. Dia Bos besar, tapi sikap tengilnya sering bikin lupa kalau dia Bos sih, pikirnya sambil mengulum senyum dalam perjalanannya ke lift.

Saat pintu lift terbuka, ia masuk. Sesampainya di lantai lima, ia mencari ruang bertuliskan Direktur Utama yang disebut resepsionis, dan menemukannya. Ia mengetuk tiga kali.

“Masuk!” sahut seseorang dari dalam.

 

Vinda mempersiapkan hatinya, menenangkan jantungnya yang berdebar. Pintu dibuka, dan ia melangkah dengan mode profesional. Anjar tampak berwibawa di balik jas kerjanya, duduk di balik meja kerjanya yang kokoh dan tampak berkelas, begitu pula kursinya.

“Pak Anjar, saya membawakan file dokumen proyek kita, serta blueprint rancangan terakhir sesuai pesan Fabian,” Vinda menjulurkan sebuah map ke tangan Anjar.

“Silakan duduk!” Anjar menunjuk bangku di depan mejanya. Vinda menurut untuk duduk, sementara Anjar membolak-balik mapnya. “Sudah lengkap semua ya,” bos muda itu mengomentari, sambil masih memerhatikan halaman demi halaman yang dibaliknya. Ia tampak sangat fokus dan serius.

Situasi hening ini membuat Vinda canggung. Anjar tampak berbeda dari pesan yang sering dikirimkannya. Di sini ia terkesan sangat berkharisma dan serius, membuatnya jengah.

“Kenapa Vin?” Anjar melirik raut wajah Vinda yang menatap lekat ke wajahnya sejak tadi.

“Oh nggak… kamu ternyata aslinya serius ya,” Vinda mencari penjelasan.

“Ya kalau mode kerja aku begini,” Anjar tersenyum manis sekali, paham keterkejutan Vinda. Ia lalu menutup mapnya untuk menatap gadis itu lekat-lekat. “Tapi kalau kerjaan udah selesai, aku bisa balik tengil lagi.”

Vinda hanya mengangguk sambil melihat ke arah lain, malu diperhatikan mata indah itu. Ia tidak berani menatap balik mata Anjar.

Sesaat, ia melihat buku tebal di rak belakang Anjar nyaris jatuh menimpa pria itu. Refleks, ia berdiri, menjadikan tubuhnya tameng, dan kepalanya pun tertimpa buku.

Anjar terkejut karena kejadiannya begitu cepat. “Vinda, are you okay?” ia menarik Vinda ke sofa di ruangan itu untuk mengecek kepalanya. Beruntung tidak ada luka di kepala gadis itu.

“Nggak apa-apa, yang penting kamu nggak kena kan?” Vinda masih tersenyum.

Anjar tertegun. Baru saja tubuh mungil itu bergerak cepat, seolah nyawanya tak berarti asal dirinya selamat.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, seseorang—perempuan—menjadi tameng untuknya.

Detik itu, Anjar tahu, ia sudah kalah telak.

“Vinda…” suaranya pelan, hampir tidak terdengar. “Nggak usah sampai begitu ke aku. Aku laki loh.”

 

Tapi matanya menatap lama, seolah ingin mengucapkan sesuatu yang belum sempat terucap.

“Ya maaf, tadi… refleks,” Vinda malu sendiri, ketahuan terlalu mengkhawatirkan Anjar yang baru dikenalnya belum lama ini.

“Terima kasih ya, tadi kamu selamatin aku,” Anjar berkata tulus, ia merasa sangat berutang pada gadis itu. “Sebenarnya ada yang cemburu ke kamu.”

“Hah, siapa?” Vinda celingak-celinguk bingung, sebab sepenglihatannya tidak ada orang lain di ruangan ini.

“Bukan orang,” jawaban Anjar yang lugas itu membuatnya teringat perbincangan Anjar dan Fabian sebelumnya di ruang rapat kantornya.

Jadi benar dia bisa lihat yang nggak terlihat? Vinda mengatupkan mulutnya yang terperangah.

 

-oOo-

 

Sementara di kantor RumahWaktu, Anya menghabiskan waktu makan siang di ruang kerja Tougo. Ia bersandar ke bahu pemuda itu sambil memainkan ponselnya.

“Hun, memang benar Suci dari keluarga yang biasa aja?” ia memerhatikan video Suci dengan seorang pria bergaya eksekutif muda yang gagah di ponselnya. Dikirim beberapa waktu lalu oleh orang yang dibayarnya untuk mengintai Suci. Keduanya tampak bercanda akrab di warung soto mi, pria itu bahkan mengelus kepala Suci dengan gestur sayang.

“Iya, orangtuanya cuma punya usaha minuman, UMKM gitu,” Tougo menjawab sepengetahuannya. Ia tidak mengetahui kabar terbaru keluarga itu, karena ia tak menaruh peduli. Padahal setelah Tougo pindah ke Bogor, perusahaan minuman keluarga Suci di Jakarta telah berkembang menjadi perusahaan raksasa dengan omset besar setiap bulannya.

Anya menyeringai. “Bagus deh!” ia segera menyebarkan video itu ke grup perusahaan, membubuhkan caption yang menggiring opini bahwa Suci adalah pemanjat sosial yang memiliki hubungan romantis dengan pria mapan. Dengan Suci dan Fabian yang belakangan tak terlihat di kantor. Anya bebas menyebar isu negatif, berharap semua memandang Suci buruk, bahkan hingga kena sanksi.

 

-oOo-

 

Suci bangun sangat pagi, hari ini ia ingin melanjutkan niatnya memperkenalkan ragam jajanan pasar kepada Fabian. Apalagi dengan kehadiran pria Belanda itu di rumahnya, ia tidak boleh terlihat malas. Ia mandi saat langit masih gelap, mengenakan pakaian yang cukup layak untuk keluar rumah, celana berwarna mustard dan kaos berlengan panjang berwarna hijau lime. Ia segera berburu kue-kue lokal yang biasa dijajakan di lapak pagi hari.

Begitu kembali, ia membawa satu kotak food container yang penuh dengan kue-kue lokal.

“Apaan tuh?” Surya sudah rapi dengan pakaian kerjanya, ia duduk di bangku depan meja makan.

“Kue jajanan pasar, buat Fabian cobain,” Suci menjelaskan. “Nih Kak, aku beliin nasi kuning juga buat sarapan,” ia menaruh satu bungkusan ke depan Surya.

“Ih baik banget Adek gue!” Surya kesenangan, ia segera berdiri mengambil piring dan alat makan.

“Tapi Kak, gue mau minta tolong dong, ceritain semua hal tentang Akasia,” Suci menyuarakan keinginannya dengan senyum tengil.

“Lu pengin kenal dia?” tebak Surya. “Gue sih nggak terlalu kenal, noh tanya aje ke Fabian yang sahabatnya, minta kenalin langsung!” ia tidak peka.

Suci menepuk jidatnya gemas; justru ia ingin mencari tahu diam-diam di belakang Fabian, sebagai amunisi untuk mendapatkan hati pria Belanda itu. Ia ingin tahu wanita seperti apa yang sangat berkesan dalam hidup Fabian sebelumnya.

“Tuh Fabian, Fabian sini! Adik gue mau kenalan sama Akasia katanya,” tanpa dinyana, Surya memanggil Fabian yang baru terlihat mendekati meja makan. Suci gelagapan, mengibas-ngibaskan tangannya, mengelak dari ucapan Surya.

 

Suci kemudian duduk dengan pasrah sambil menutup wajahnya, malu. Sementara Fabian yang awalnya bingung, duduk di sebelahnya, menatap gadis itu dengan pandangan seolah paham.

“Boleh, aku kenalin,” jawaban Fabian semakin membuat Suci panik.

“Nggak usah, Kak Surya cuma asal ngomong!” Suci membatalkan.

“Nggak apa-apa, yuk ketemuan sama orangnya hari ini!” ajak Fabian.

“Hah, hari ini?” Suci gelagapan. “Emang dia…nggak kerja? Nggak usah, ganggu nanti,” ia ingin sekali kabur dari rencana ini. Ia pasti canggung jika menemui Akasia bersama Fabian.

“Nggak masalah, kan dia yang punya kerjaan. Dia nyonya besarnya,” Fabian menjawab santai sambil mengetik pesan di ponselnya. Fabian puas setelah mendapat balasan pesan dari ponselnya. “Yup, pukul sebelas hari ini, kita ke dekat kantornya. Makan bareng.”

Suci semakin kelabakan. “Hari ini banget, Fab? Aduh…”

“Udah, nggak apa-apa. Kamu temani aku ya!” kali ini permintaan Fabian itu diiringi senyum indahnya yang melenakan.

Okay…” Suci terpikat lagi. Merasa lemah dengan senyumnya itu. “Ini, makan dulu,” ia menyodorkan food container yang sudah dipersiapkannya.

“Apa ini?” Fabian terkejut.

“Setoran kue jajanan pasar untuk hari ini. Ada kue lumpur, onde-onde, kue cucur, dan kue lapis,” Suci menerangkan malu-malu.

“Wah, terima kasih!” Fabian jadi ingat, gadis ini sebelumnya juga kerap memberi kue-kue lokal semacam ini ke mejanya. “I’ll appreciate it!” ucapnya penuh syukur.

Suci tersenyum, “I’ll be pleased if you like it,” ia spontan menutup mulutnya, baru sadar ucapannya tadi beraksen British yang sangat kental.

Ah, pasti terbawa karena kuliah online terus nih! benaknya maklum, hanya saja ia tidak ingin ketahuan ia kuliah jarak jauh di London University, tidak sekarang. Ia bisa melihat keterkejutan Fabian dari dahinya yang mengernyit dan wajahnya yang terperangah.

“Maaf, keseringan nonton serial Lockwood & Co, jadi terbawa,” ia memberi alasan yang masuk akal.

OkayI get it, no problem!” Fabian tertawa kecil melihat kepanikan Suci yang tadi sempat gelagapan. Aksen Britishnya bagus banget, kok bisa? Memang bisa ya menonton film bikin kita punya logat? pikirnya heran.

 

-oOo-

 

Maka siang ini Suci mengiringi Fabian ke sebuah restoran makanan Padang yang cukup luas. Mereka berdua memesan jus dan soto Padang sambil menunggu wanita yang membuat Suci penasaran setengah mati: Akasia.

Saat Suci dan Fabian sedang asyik melahap makan siang mereka, datang seorang gadis cantik berpenampilan anggun dengan blazer hitam dan rok khaki-nya yang terkesan eksekutif.

“Fabian, lang niet gezien (sudah lama nggak ketemu)!” sapanya sambil menawarkan high five ke arah Fabian.

Jij ziet er steeds mooier uit, maakt het huwelijk je zo gelukkig (Kamu terlihat tambah cantik, apa menikah sebahagia itu)?” Fabian membalas high five-nya.

Akasia baru menyadari keberadaan Suci yang duduk di sebelah Fabian. “Itu siapa. Fab?” ia menggoda Fabian dengan tatapan tengilnya.

“Ini Suci, kenalin. Suci, ini yang namanya Akasia,” Fabian memperkenalkan keduanya.

“Aku… rekan kerja Fabian,” Suci bicara, sedikit rendah diri melihat penampilan Akasia yang dewasa dan tampak akrab dengan Fabian, jauh melebihi dirinya.

“Hai Suci, Fabian nih nggak bilang, bawa cewek!” Akasia duduk di hadapan Fabian, menepuk sahabatnya itu.

“Aku kebetulan ke Jakarta, karena klienku ini,” Fabian menunjuk Suci.

“Oh jadi kamu kliennya juga?” Akasia mengangguk paham. “Suci, Fabian gimana kerjanya sama kamu? Kalau dia ngeselin, tabok aja ya! Aku izinin kok.”

“Enak aja, aku pekerja yang baik dan profesional tau!” Fabian membantah.

Suci memerhatikan interaksi mereka. Tatapan Fabian tidak bisa lepas dari wajah gadis itu, meskipun obrolan mereka terdengar kasual. Tampak sekali bahwa dulu Akasia adalah medan magnetik yang menariknya. Ada rasa perih di relung hatinya, nelangsa dalam diamnya yang merasa tersisih. Akasia dan Fabian terus saling meledek, hingga Akasia menyadari ekspresi gadis itu.

“Aduh maaf, Suci. Sampai lupa ajak kamu ngobrol,” Akasia merasa bersalah. Ia lalu memesan soto Padang untuknya sebelum menghadap Suci lagi. “Jadi kamu udah berapa lama kerja bareng Fabian?”

“Aku kerja di RumahWaktu sudah 3 tahun, Fabian baru masuk tahun kemarin, Kak,” Suci menginformasikan.

“Aduh pakai manggil Kakak segala, jadi senang. Kamu imut deh!” Akasia cengengesan.

“Terima kasih. Kakak yang cantik banget,” Suci tidak bisa berbohong. Gadis berambut panjang lurus di depannya memang memikat, tidak heran Fabian tidak bisa melepaskan pandangannya dari Akasia.

 

Fabian kerap mengajak Akasia bernostalgia, membicarakan pengalaman kuliah mereka di Amsterdam yang tidak dapat Suci mengerti. Seolah menegaskan garis batasan Suci sebagai orang luar. Fabian adalah orang yang cerdas; ia pasti sengaja melakukan ini dengan suatu tujuan.

Ini semacam penolakan untuk aku ya? Dia pasti ingin aku sadar posisiku, Suci menunduk, bisa mengerti makna di balik sikapnya. Meski hatinya berdenyit sakit, ia menahannya. Ia tidak ingin menyerah hanya karena ini. Lagipula Akasia sudah menikah, Fabian memang harus melangkah maju demi kebaikannya sendiri. Dan Suci bertekad akan membantunya memulihkan hatinya, meski bagaimanapun respon Fabian.

 Akasia merasa tidak enak hati dengan Suci, ia berusaha keras mengikutsertakannya dalam pembicaraan. Namun Fabian tampaknya sengaja menyingkirkan Suci dari obrolan, kembali membahas kenangan mereka di Amsterdam. Fabian tersenyum, tapi sikapnya menghujam hati Suci. Hingga kemudian Suci melihat seseorang yang ia kenal mendekat.

“Hai Kas! Sama siapa nih?” wanita itu menepuk Akasia akrab.

“Kak… Dinia.” Suci melongo. Di hadapannya adalah Dinia, programmer wanita yang populer karena sepak terjangnya di bisnis pembuatan software. Ia banyak menghasilkan perangkat lunak lokal yang menjadi kebanggaan perusahaannya, Random Walk. Aplikasi yang dihasilkannya tidak kalah kualitasnya dengan produk perangkat lunak dari luar negeri. Suci juga tahu, Dinia adalah salah satu pengembang forum programming yang diikutinya dan mempertemukannya dengan Mr. Wolf, forum NerdNode.

 

“Selamat siang, Kak Dinia! Saya Suci, penggemar Anda. Saya boleh minta foto?” Suci langsung melupakan Akasia dan Fabian dan beranjak ke arahnya dengan ponsel di tangannya.

“Oh, iya boleh,” perempuan cantik dan supel itu dengan senang hati merangkul Suci saat berfoto bersama.

“Aku IT Support Specialist di perusahaan RumahWaktu. Aku juga anggota forum NerdNode. Aku suka ngoprek sistem.”

“Oh ya?” mata Dinia berbinar menemukan gadis yang serupa minat dengannya itu, merasa satu kesatuan. “Di forum, username kamu apa?”

Pertanyaan itu membuat Suci terpaku, ia tidak mungkin bilang username-nya MidnightFox di hadapan Fabian dan Akasia. “Nanti aja aku kasih tahu,” bisik Suci.

“Oh okay,” Dinia maklum. Banyak programmer yang hidupnya misterius dan perlu privasi, ia paham itu. “Kamu keren banget, perempuan, masih muda tertarik ngoprek sistem.”

“Iya, aku terinspirasi sama Kakak. Emang udah hobi sejak SMA,” Suci menceritakan sejujurnya.

Dinia tersanjung, “Wah, cocok nih kita. Minta nomornya deh, siapa tahu bisa aku ajak ke timku.”

Suci tertegun, itu undangan kehormatan baginya mengingat perusahaan Random Walk adalah penghasil teknologi yang paling maju saat ini. “Tapi aku sudah kerja, Kak,” kemudian Suci teringat realitanya.

It’s okay, buat ngobrol aja. Boleh?” Dinia membujuk.

“Boleh banget, Kak!” Suci dengan riang segera memberitahunya.

 

Fabian menatap Suci yang berbincang seru dengan Dinia. Ia lega, gadis itu menemukan ketertarikannya sendiri. Tadi ia sengaja menunjukkan kedekatannya dengan Akasia kepada Suci, menegaskan bahwa gadis itu tidak mengetahui apa pun tentangnya dibandingkan Akasia. Ia kira Suci akan sedih dan mundur. Ia harus tega, karena ia tidak mau gadis itu tahu belakangan, atau memberinya harapan palsu. Jika setelah ini Suci menghindarinya, ia akan paham dan tidak heran; sikapnya memang terlalu kejam meskipun senyumnya senantiasa mengembang.

“Suci, udah waktunya pulang,” Fabian mencolek Suci yang larut dalam obrolannya bersama Dinia, bertukar pikiran mengenai minat mereka di bidang teknologi dan pemrograman.

Suci mengangguk dan bangkit. “Maaf Kak, kami pamit duluan ya.”

“Eh iya, waktu istirahat juga udah mau selesai nih!” Dinia pun baru tersadar akan waktu. Ia mengajak Akasia untuk kembali ke kantor mereka. Suci mengamati kebersamaan Dinia dan Akasia yang tampak begitu dekat selayaknya sahabat karib.

“Terima kasih ya sudah datang ke sini. Nanti kita ngobrol lagi ya!” Akasia melambaikan tangan.

Suci menyerahkan sebuah kertas kecil yang dilipat kepada Dinia. “Apa ini?” tanya Dinia bingung.

“Nama akunku di forum NerdNode. Tapi ini rahasia kita ya,” Suci membisikkan ke telinga seniornya itu, sebelum kembali ke sebelah Fabian.

 

Seiring Dinia dan Akasia berjalan menjauh, Dinia semakin penasaran dengan Suci dan kertas yang diberikannya.

Dinia membuka kertas kecil itu sambil berjalan. Hanya satu kata, ditulis dengan tangan yang rapi: MidnightFox

Dinia teringat dengan sepak terjang seorang hacker lokal yang hasilnya sering dibagikan di media sosial.

Langkah Dinia terhenti. “Oh my… jadi dia?”

Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menoleh ke arah Suci yang jauh. Sosok mungil itu kini terasa berbeda.

Anak ini bukan cuma berbakatdia legenda.

Dinia menyeringai kecil. “Anak nakal satu ini…” gumamnya kagum.

Banyak yang tidak mengira bahwa sebenarnya Dinia dan suaminya, Endry, sang pendiri Random Walk, juga menekuni dunia hacking. Mereka hanya ingin beroperasi dalam hening, tanpa orang tahu sisi gelap mereka. Dan kini Dinia menemukan Suci, bakat baru.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • papah.al

    Menarik
    Selalu penasaran kedepannya

    Comment on chapter Prolog
  • baba

    Ceritanya mindblowing ya ..

    Comment on chapter 6. Semut pun Bisa Menggigit
  • guardian angel

    Prolognya menarik.

    Comment on chapter Prolog
  • guardian angel

    Mulai seru... hacker perempuan keren bgt!

    Comment on chapter 1. Kekecewaan Menghentak
Similar Tags
Monologue
1506      1050     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Love: Met That Star (석진에게 별이 찾았다)
2946      1356     2     
Romance
Kim Na Byul. Perempuan yang berpegang teguh pada kata-kata "Tidak akan pacaran ataupun menikah". Dirinya sudah terlanjur memantapkan hati kalau "cinta" itu hanya sebuah omong kosong belaka. Sudah cukup baginya melihat orang disekitarnya disakiti oleh urusan percintaan. Contohnya ayahnya sendiri yang sering main perempuan, membuat ibunya dan ayahnya berpisah saking depresinya. Belum lagi teman ...
Premium
The Devil Soul of Maria [18+]
18382      4673     3     
Inspirational
Ambisi besar Meira nyaris tercapai namun halangan mengesalkan datang dan membuatnya terhenti sejenak Di saat tak berdaya itu seorang pria menawarkan kesepakatan gila padanya Melihat adanya peluang Meira pun akhirnya masuk dalam permainan menarik kehidupan
ALUSI
10179      2551     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
Cinta di Ujung Batas Negara
6      4     0     
Romance
Di antara batas dua negara, lahirlah cinta yang tak pernah diberi izin-namun juga tak bisa dicegah. Alam, nelayan muda dari Sebatik, Indonesia, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah hanya karena sepasang mata dari seberang. Siti Dzakyrah, pelajar Malaysia dari Tawau, hadir bagai cahaya kecil di tengah perbatasan yang penuh bayang. Mereka tak bertemu di tempat mewah, tak pula dalam pertemu...
Shut Up, I'm a Princess
1020      598     1     
Romance
Sesuai namanya, Putri hidup seperti seorang Putri. Sempurna adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Putri. Hidup bergelimang harta, pacar ganteng luar biasa, dan hangout bareng teman sosialita. Sayangnya Putri tidak punya perangai yang baik. Seseorang harus mengajarinya tata krama dan bagaimana cara untuk tidak menyakiti orang lain. Hanya ada satu orang yang bisa melakukannya...
Help Me to Run Away
2732      1249     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Under The Same Moon
416      279     4     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.
Sebuah Jawaban
428      308     2     
Short Story
Aku hanya seorang gadis yang terjebak dalam sebuah luka yang kuciptakan sendiri. Sayangnya perasaan ini terlalu menyenangkan sekaligus menyesakkan. "Jika kau hanya main-main, sebaiknya sudahi saja." Aku perlu jawaban untuk semua perlakuannya padaku.
Temu Yang Di Tunggu (Volume 1)
20443      4492     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...