Loading...
Logo TinLit
Read Story - Reborn Villainess
MENU
About Us  

 

 

"BUKAN SAYA PEMBUNUHNYA!"

 

Matahari bertengger di atas kepala adalah waktu di mana wanita malang itu diseret keluar dari kediamannya dengan sebuah borgol melingkar di tangan. 

 

Apa yang sedang terjadi? 

 

Wanita itu linglung, pikirannya seperti benang kusut. Bisik-bisik para tetangga yang menonton adegan penangkapannya membuat ia diserang sakit kepala. Dilihatnya ekspresi di wajah-wajah mereka, ada yang terlihat terkejut, ada pula yang memandangnya menyedihkan. 

 

Mau bagaimana lagi. Dia sudah jadi TERSANGKA! 

 

"Tolong percaya saya! INI FITNAH! SAYA BUKAN PEMBUNUH!"

 

"Dari hasil tim penyelidikan kami, semua bukti mengarah pada anda, dan alibi anda juga tertangkap basah berada di tkp bersama korban."

 

Bungkam. Otaknya tak membenarkan kebohongan tersebut, tapi anehnya mulutnya tak mengeluarkan argumen apa-apa ketika tatapan orang-orang semakin menghakiminya.

 

"Anda punya hak untuk diam, dan mendapat pengacara selama persidangan. Untuk saat ini, anda harus ikut kami!"

 

Tak mampu memberikan perlawanan lagi, ia akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menangis dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Matanya menggulir ke arah jendela, melihat bagaimana orang-orang menatap kepergiannya seperti sampah yang berhasil diangkut dan dibuang.

 

Begitu menyedihkan. Serasa tidak ada harga dirinya. Kedua tangannya yang lecet akibat borgol itu terkepal kuat, menahan gejolak emosi dalam dada, seakan ada lava panas yang ingin diluapkan dari dalam sana.

 

Namun ... tidak bisa. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis sambil memanggil nama seseorang. 

 

"Papa." 

 

Tatkala tangisnya mengudara, bunyi sirine yang melaju membelah jalanan ibu kota layaknya lolongan yang menyambutnya ke dalam neraka. 

 

***

 

Alessandra Reverie, lajang di usianya yang sudah kepala tiga. Seorang tuna karya yang tinggal di kawasan kumuh pinggiran kota. Apa yang melekat di badannya, sama sekali tak sekeren namanya. Pakaiannya yang lusuh agaknya cerminan hidup Ale sendiri. Tidak ada bagus-bagusnya, terhina oleh dunia.

 

Sungguh, Ale tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan berakhir seperti ini; mendekam di jeruji besi, atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan sama sekali. Miris!

 

Padahal Ale masih ingat betul pernah berdiri di atas sana; di antara orang-orang berstatus sosial tinggi dan dipuja-puja. Terlahir dari keluarga kaya raya sudah jadi  privilege, tapi semuanya hilang dalam sekejap setelah benalu jahat berhasil memasuki rumahnya.

 

Ya, dari sana lah kesengsaraan Ale dimulai.

 

Dan jika diingat-ingat lagi, membuat Ale semakin merasakan ... dendam.

 

"Alessandra Reverie."

 

Panggilan itu membuyarkan Ale dari lamunan. Pandangannya lurus menatap pria berkepala plontos yang duduk di seberang meja. 

 

"Usia 37 tahun. Kegiatan sehari-hari menjadi pemulung dan sesekali mengamen di jalanan. Latar belakang pendidikan hanya lulus SMA, tidak kuliah, juga tidak bekerja dengan layak selama 20 tahun terakhir." Polisi itu meletakkan dokumen yang baru saja dibacanya seraya menghela napas, "Padahal hidupmu udah menyedihkan, tapi sekarang malah berbuat kejahatan. Saya beneran nggak habis pikir."

 

Mata Ale memanas mendengar penghinaan itu. "Sudah saya bilang berapa kali! SAYA BUKAN PEMBUNUHNYA!" teriak Ale menyanggah perkataan sang polisi.

 

Saat ini ia sedang berada di ruang interogasi. Kamar dengan penerangan minim yang hanya memiliki satu meja dan dua kursi di dalamnya.

 

Ale sudah duduk di sana hampir sejam yang lalu, tentu saja masih dengan kedua tangan diborgol. Ia berusaha dibuat untuk mengakui kejahatan yang lucunya tak pernah ia lakukan. Jelas saja, Ale tidak mau. Ia terus membantah dengan tegas. Kalau pun disodorkan bukti, Ale menyangkal kalau bukti tersebut benar-benar valid. Ketika menyampaikan alibinya, pihak polisi justru tidak mempercayainya. Sesi interogasi pun berlangsung alot hingga sang polisi keluar dari ruangan.

 

Ale berhasil bertahan, teguh pada pendiriannya. Namun, sayangnya hal itu saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

 

Lambat laun, Ale pasti akan mendekam di penjara juga. Lebih-lebih, pengacara publik yang ditugaskan untuk mengurus kasus di persidangan juga berada di pihak yang berlawanan. Ale jadi tidak punya sekutu dan harus bertarung sendirian.

 

Itu mustahil untuk dilakukan.

 

Apalagi, sedari awal Ale memang merasa dirinya sudah ditargetkan—untuk dimusnahkan.

 

Bahkan saat prosesi di meja hijau yang disaksikan puluhan orang itu, Ale hanya berdiri sendiri. Tidak ada yang memihaknya, bahkan pengacaranya sekalipun. Semakin lama berlalu, ia semakin tersudutkan. Puluhan pasang mata telah memandangnya sebagai narapidana. Kalau begini jadinya, sudah dipastikan Ale akan kalah telak.

 

Ia akan dijatuhi hukuman. Dipenjara. Hidupnya berakhir saat ini juga.  

 

Ternyata belum cukup semesta merundungnya selama dua dekade terakhir. Setelah merenggut semua yang ia miliki, nyatanya Ale masih harus kehilangan lagi. Rumah, keluarga, teman, kekayaan, status sosial, bahkan sekarang ia tidak punya kebebasan untuk menghirup udara luar. 

 

Ale pikir, dosa apa yang sudah ia perbuat sampai dirinya berkahir tragis seperti ini? Padahal, selama ini ia sudah berusaha keras untuk mengubah nasib hidupnya, tapi semuanya tak berjalan lancar.

 

"Ssstt, eh, eh! Tau, nggak?"

 

"Apaan?"

 

"Perempuan itu kan dari keluarga Bimantara. Anaknya Pak Theo yang terlibat kasus penggelapan dana dan korupsi 20 tahun lalu."

 

"Oh ya? Wah, pantaslah. Emang udah dari bapaknya kriminal, anaknya pun ikutan jadi kriminal."

 

Kalimat tajam itu merangsek masuk ke pendengaran Ale, seperti bilah pisau yang menusuk hati dan membuat kakinya melemas. Tubuhnya pun terhuyung, jatuh duduk di lantai yang sama dinginnya dengan tatapan benci orang-orang.

 

Selang beberapa menit, beberapa petugas menggiring Ale keluar dari ruang sidang. Saat ini sesi istirahat 15 menit sedang berlangsung.  Sementara itu Ale ditempatkan di ruangan khusus dan dijaga sampai persidangan dimulai kembali.

 

Tidak ada satupun yang mengunjunginya selama berada di ruangan tersebut. Lagipula, siapa yang mau bertemu narapidana? Meski sakit hati, Ale tidak terlalu ambil pusing soal itu. Ia lebih mencemaskan tentang nasibnya di penghujung persidangan nanti.

 

Hampir seratus persen, kemungkinan dirinya akan ditetapkan sebagai tersangka, kemudian divonis hukuman penjara.

 

"Gak! Gue gak mau itu terjadi!" tukas Ale menggelengkan kepalanya, degup jantungnya terpacu cepat.

 

Meski ia tahu mengharapkan keajaiban hanyalah omong kosong belaka, separuh dirinya tetap menolak untuk berakhir di sana. Ale tidak mau pasrah begitu saja. Ia harus  mencari cara untuk kabur dari garis takdir hidupnya. 

 

Pernahkah dengar istilah bahwa ketika dalam situasi terdesak dan tersudutkan, performa otak manusia untuk berpikir jadi meningkat dua kali lipat? Inilah yang disebut : 'The power of kepepet'.

 

Berkat itu pula, andrenalin dalam diri Ale terpacu untuk menerobos para penjaga. Dan entah mengapa, lucunya, kali ini semesta seolah-olah berada di pihaknya.

 

Ale berhasil menyelinap keluar dan kabur dari sana. 

 

"Cepat tangkap narapidana itu!"

 

***

 

Di luar, langit semakin gelap. Cahaya jingga hanya tersisa di ufuk barat. Lampu-lampu jalan pun mulai dinyalakan, siap menyongsong malam penuh kedamaian seperti biasanya.

 

Namun, tidak dengan Ale. Wanita berambut acak-acakan itu kini tengah bertarung dengan nasib. Menantang takdirnya sendiri. Menyusuri labirin gang-gang kecil di kompleks pertokoan ibu kota dengan sepatu lusuh yang nyaris lepas dari solnya.

 

Napas Ale terengah-engah, badannya yang kurus kering itu mampu membawanya berlari kencang, tapi sayang kondisi tubuhnya sedang tidak fit sehingga mudah kelelahan.

 

Ia berhenti sejenak untuk melemaskan otot kaki yang keram, tapi tiba-tiba terdengar sirine mobil polisi yang mendekat.

 

"Dia buronan! KEJAAAR!"

 

Ale mengumpat dalam hati, kemudian lanjut berlari. Mengabaikan segala bentuk ancaman dan tembakan udara yang dilayangkan untuknya, Ale tak sedikitpun memelankan kecepatannya. Di depan sana, ia bisa melihat jembatan yang di bawahnya dialiri sungai besar. Melihat hal itu, Ale seperti merasakan firasat buruk. Namun, ia tetap melangkah maju.

 

Tidak ada yang lebih berisik dari degup jantungnya sendiri, juga suara napasnya memburu seperti pacuan kuda. Ia bergerak tanpa tahu arah dan tujuan, hanya ingin menjauh dari hukuman, menjauh dari kenyataan di mana antara hidup dan mati cuma berjarak satu jengkal.

 

Suara dentuman mengudara membuat Ale membeku. Dadanya sesak, sekujur tubuhnya berat seperti ditimpa batu. Kala pandangannya turun ke bawah, ia melihat timah panas telah berhasil menembus dadanya. Ale pun menyadari bahwa dirinya tak akan mendapatkan akhir yang bahagia.

 

Mau berlari sejauh apa pun tetap tidak ada yang berubah. Takdirnya memang sudah ditetapkan untuk menjadi tragis. Mati sebagai narapidana, yang berusaha melarikan kemudian jatuh ke sungai tanpa satupun orang yang menangisinya.

 

Ironis, bukan?

 

Hanya ada Ale dan dirinya sendiri. Ia memang sudah lama ditinggalkan, terlupakan, dan kini pun berakhir mengenaskan.

 

"Papa, Ale takut. Takut ...!"

 

Tenggelam dalam dinginnya air yang menjadi interpretasi dari kejamnya dunia. Menanti kedatangan malaikat maut untuk mencabut nyawanya.

 

Anehnya di satu momen itu, entah mengapa Ale justru diingatkan pada rentetan penyesalan di masa lalu. Ia menyesal karena terlalu fokus melihat dirinya sendiri dan lengah terhadap sekitar, ia menyesal karena membiarkan Ayahnya menikah lagi dengan wanita yang menghancurkan keluarganya, ia menyesal karena tak dapat berbuat apa-apa ketika badai memporak-porandakan nama 'Bimantara', ia menyesal karena terlalu polos dan naif dalam memandang dunia, ia menyesal!

 

Alessandra Reverie menyesal!

 

"Gue menyesal!"

 

Tiba-tiba seberkas cahaya muncul dari arah permukaan, kemudian bergerak perlahan menuju dasar sungai di mana Ale berada. Cahaya tersebut sangat terang dan menyilaukan. Ale pikir, mungkin itu malaikat maut yang menjemputnya.

 

Ale pun sudah siap dan mulai memejamkan mata.

 

Ia akan mati.

 

Ia akan meninggalkan dunia beserta penyesalan yang membusuk di dalamnya.

 

Namun...

 

DEGGG!

 

Apa yang terjadi?  Tahu-tahu saja, mata Ale terbuka kembali. Ia sadar masih di dalam air, sedang menahan napas, juga menggerakkan anggota tubuhnya untuk mengambang dan berenang ke permukaan.

 

Aneh!

 

Dari mana ia mendapatkan tenaga sekuat itu? Padahal beberapa detik lalu, sekujur tubuhnya sudah mati rasa. Kehilangan banyak darah atas luka tembak yang didapatnya.

 

Oh, tunggu dulu! Apa? Luka tembak?

 

Sesaat setelah meraba dadanya, Ale tak menemukan adanya luka di sana. Ia semakin tidak mengerti.

 

Terlebih ketika menatapi tubuhnya sendiri … tampak jauh berbeda!

 

Tangan yang mulus dan putih bersih, kaki yang kuat dan sehat, juga dress merah yang dikenakannya.

 

"Lho? Bukannya waktu persidangan gue pakai daster abu-abu ya?"

 

Semakin lama berpikir, semakin Ale kehabisan napas. Cepat-cepat ia berenang ke permukaan dan menyembulkan kepalanya ke udara. Ale pun bisa bernapas lega.

 

Akan tetapi, sedetik kemudian pupilnya melebar bersamaan dengan jantungnya yang berdegup kencang.

 

"Ini … di mana?"

 

 

 

>> To be continued 

 

 

 

Hai, selamat datang di cerita transmigrasi versi eru. ❤️

Makasih ya udah mampir dan kasih vote. Boleh banget baca bab keduanya sekalian, siapa tau jadi suka. Hehe... 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags