Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Ada empat hal tentang Dego yang Nura ketahui sejauh ini.

Pertama, Dego bisa sesuka hati menyentuh Nura lebih dulu, sementara tidak sebaliknya.

Kedua, Dego punya kehendak untuk memperlihatkan dirinya atau tidak di hadapan Nura.

Ketiga, Dego baru bisa memegang benda-benda di dunia ini selama ia bersentuhan dengan Nura.

Keempat, inilah yang paling Nura suka, yakni Nura bebas berkontak fisik dengan Dego selagi Dego sedang menyentuhnya.

Lantas, kemarin itu menjadi upacara kemenangan bagi Nura untuk membalas semua perbuatan Dego dengan berbagai macam siksaan: pukulan, tendangan, jitakan, bahkan bantingan setelah sebulan lebih menahan diri. Acapkali Dego mencari-cari kesempatan balik menyerang, yang tentu harus sambil menyentuhnya, secara bersamaan Nura akan menghantamnya dengan dua kali lipat lebih parah.

“Jadi, apa keputusan kamu, Nona Penulis?” tanya Dego, ada lebam sisa pertarungan semalam di bawah mata kanannya.

Nura berucap syukur sebab bel masuk baru berdering lima detik setelah ia melewati gerbang, jadilah ia tak perlu dihadiahi hukuman dari guru piket. Akan tetapi, kelegaan itu tidak bertahan lama ketika kakinya berhadapan dengan pintu kelas XI SOSIAL 1, yang tertutup rapat-rapat walau suara bising anak-anak di dalam terdengar sampai luar.

“Kejadian kemarin pasti bikin mereka mulai ngegosipin kamu lagi.” Dego mengungkit tentang Nura yang seakan-akan sengaja menumpahkan susu di hadapan Mahda sambil mengumpat sinonim kata bodoh, lalu pergi begitu saja tanpa penjelasan. “Kamu bakal tetap berusaha mengubah takdir?”

Lama Nura tertegun, memegangi gagang pintu kelas itu walau sepenuh benak bergumul oleh kekalutan. Benar bahwa sejauh ini ia baik-baik saja. Namun, kedamaian itulah yang sekilas menghadirkan rasa curiga. Katanya, setelah kesulitan selalu ada kemudahan, tetapi bukankah itu berlaku sebaliknya? Kebahagiaan pun tidak akan berlangsung selamanya.

“Baiklah, kali ini aku bakal nurutin kemauan kamu,” putus Nura kian mempererat pegangan pada gagang pintu.

“Beneran? Kenapa kamu berubah pikiran?”

“Yah, sederhana aja.” Nura sejenak melirik anak laki-laki itu sebelum melukiskan senyum samar. “Karena aku merasa kesepian saat kamu menghilang?”

Dego kontan termangu, sorotnya bergulir lebih hampa seperti sedang menyaksikan sesuatu dalam kepala. Ada sesuatu dari kata-kata Nona Penulis tadi, sesuatu yang mengusik pikiran, menggeliat dalam benak, berupaya mewujud praduga namun ia tepis segera. Manakala sebuah suara lain datang di antara mereka, pandangan anak laki-laki itu kembali jernih dengan kerutan di keningnya.

“Kenapa kagak masuk? Takut?”

Nura tipis terlonjak, refleks mundur di mana kakinya lantas menginjak sesuatu. Jelas itu bukan suara Dego. Lebih berat, ada kesan serak, dan berasal jauh menjulang di atas kepalanya. Gesit perempuan itu berbalik sesaat punggungnya menubruk sesuatu–seseorang. Ikat kepala biru-hitam khas suku Baduy menjadi sambutan pertama manik cokelat Nura begitu ia mendongak.

“Padahal gua sempat dengar kabar kalau lu udah bisa berbaur, tapi apa-apaan ini? Kenapa lu masih keliatan ragu masuk ke kelas?”

Untuk sekian waktu, Nura belum mengenali orang itu. Dia cowok, surai ikal agak kecokelatan dibiarkan tergerai hingga pundak, kelopak monoloidnya memberi kesan tatapan tajam, terlebih alisnya terukir cukup tebal, dengan bibir kering yang membentuk seperti hati. Lesung di kedua pipi yang enggan muncul tanpa senyum, menambah kesengitan dari binar legam cowok itu.

“Fikar?” tebak Nura setengah yakin.

Cowok itu terkekeh. “Baru kemarin ketemu, masih nanya?”

Astaga. Astaga. Astaga.

Nura gagal mengerti. Apa karena kemarin cowok itu mengenakan helm? Sekarang ini, cowok itu terlihat ... ia tak yakin bagaimana ia harus mengatakannya.

“Kok tampan?” celetuk Nura terperangah sendiri. “Kok sesuai harapan? Kemarin nggak gini, deh, penampakannya. Kok bisa?!”

Fikar tergelak. “Lah, ke mana aja lu baru sadar?”

Selagi Nura masih kelimpungan, cowok itu santai membuka pintu lalu mendorong pelan bahu Nura agar melewati garis batas masuk, sedangkan Dego tertinggal di belakang. Suasana kelas yang semula gaduh sontak meredam. Seluruh pasang mata tertuju pada mereka berdua.

Batin Nura telah meneguhkan tekad untuk tidak berupaya memperbaiki kekacauan sehari lalu. Pada dasarnya, karakter Dego disetel selalu terabaikan. Lebih baik Nura tidak bersikap menonjol hari ini.

Setidaknya, begitulah rencana awal Nura sampai salah seorang murid berceletuk, “Dih, kirain guru.”

Disusul oleh sorakan meledek murid-murid lain yang merasa kekhawatiran mereka sia-sia. Meskipun ini adalah hari pertama Fikar masuk di tahun ajaran baru kelas sebelas, cowok itu alami bertukar canda dan melebur bersama para murid cowok di kelas itu.

Di sisi lain, Nura terus bungkam dan memilih cepat-cepat pergi ke tempat duduknya. Tanpa direncanakan pun, ternyata peristiwa kemarin membuat Nura sulit berinteraksi dengan mereka. Dego setia berdiri di sebelahnya, memperhatikan setiap detail gerak-gerik Nura.

“Woy, Ori, gimana? Udah sembuh sembelitnya?” tegur seorang murid berkacamata.

“Katanya hari pertama datang bulan juga, ya?” Siswi lain menanggapi, duduk di barisan ketiga lalu menengok ke arahnya. “Gila, nggak karuan banget pasti itu sakitnya.”

“Kalau gue jadi elo, Ri. Bukan cuma bego, semua kata-kata kasar udah pasti gue keluarin.”

“Itu, sih, emang dasar mulut kamu aja yang kayak kebun binatang!”

“Hahaha!!!”

Nura melongo, mencoba mencerna alur pembicaraan. Gema sukacita menggaung layaknya paduan suara. Beberapa siswa bahkan ikut menimpali obrolan mereka; santai mengajak Nura berbicara meski tak kunjung mendapatkan balasan dari perempuan itu. Padahal Nura sudah siap lahir batin jika hari ini ia akan kembali menjadi sosok yang terpinggirkan. Kalau Nura menjadi Dego, sikap seperti apa yang akan anak laki-laki itu tampilkan?

“Emang ada apaan, dah? Sembelit? Datang bulan? Nggak karuan? Kata-kata kasar?” tanya Fikar sukses mengambil seluruh atensi.

“Itu … si Ori kemarin numpahin susu sambil ngatain si Mahda. Kirain sengaja, ternyata emang mendadak sembelit katanya.”

“Kata siapa?” Fikar kembali bertanya yang mewakili isi pikiran Nura.

“Mahda.”

“Mahda?” Kali ini Nura turut angkat bicara.

“Iya, Mahda. Kemarin dia sibuk ceritain soal itu ke anak-anak sampe semua pada ngetawain elo seharian.”

Dalam diam, Nura mendengus panjang.

Dasar, cewek naif itu.

Pantas saja keadaan terasa aman sentosa. Tampaknya, Nura menciptakan Mahda terlalu berpikiran positif sampai-sampai tak berkeinginan menyalahkan orang. Sampai terasa sangat tidak manusiawi. Bagi Nura, menjadi terlalu baik adalah sebuah kelainan.

“Ngomong-ngomong soal Mahda ....” Nura melempar pandangan ke sekitar. “… dia di mana?”

**

Cangkul ditaruh dalam gudang usai digunakan untuk menggemburkan tanah ladang belakang sekolah, lokasi yang biasa dijadikan pembelajaran tanam jagung untuk mata pelajaran Muatan Lokal. Beberapa siswa tampak melapor pada Pak Tono, dijuluki sebagai Pak Botak, bahwa hukuman telah selesai dilakukan. Mereka adalah para siswa yang terlambat, salah satunya Mahda.

Peluh kentara membanjiri seluruh badan gadis manis itu, seragamnya mencetak pola kaos lengan pendek bergambar kucing yang digunakan sebagai dalaman. Kering di ujung tenggorokan membuat Mahda ingin segera menenggak habis air botolan. Sayang seribu sayang, tempat minum gadis itu ditaruh bersama tas-tas murid terlambat di pos satpam. Jaraknya cukup jauh dari ladang; benar-benar ujung ke ujung.

“Nih, ambil.”

Keterkejutan terjadi dalam manik besar gadis itu, Mahda memekik tertahan kala sebuah tangan terjulur tepat ketika ia akan belok di perempatan koridor. Itu Nura, yang menyodorkan minuman kepadanya.

“Kok kamu di sini?”

“Sendirinya?” timpal Nura enteng. “Sejak kapan pernah terlambat?”

“Sejak hari ini …?”

Mereka tertawa singkat, tetapi tidak dipungkiri, masih terbersit kekakuan; membayangi keduanya tentang hal-hal yang terjadi kemarin pagi.

“Abis ini Bahasa Inggris, ‘kan?”

Nura mengangguk. “Anak-anak lain langsung ke Lab. Bahasa.”

“Tapi kamu malah nyamperin aku?”

“Yah ....” Perempuan itu tak yakin harus menanggapi apa. “Sekalian aja, sih.”

Alasan Nura mencari Mahda bukanlah karena peduli, ia hanya ingin memastikan alasan di balik keterlambatkan gadis manis itu. Sejauh ingatannya, Nura berani bertaruh bahwa ia menjadikan Mahda dinobatkan sebagai murid paling rajin dengan jumlah kehadiran sempurna. Boro-boro telat, Mahda justru selalu datang paling pagi yang terkadang mendahului satpam.

Dipikir-pikir, terlalu banyak peristiwa–yang terkesan tidak krusial–tetapi terus saja membelakangi alur cerita ini, termasuk kemunculan Fikar sore kemarin. Seharusnya, cowok itu sudah ada sejak seminggu atau dua minggu lalu. Putaran momen sebulan belakang lantas menggiring Nura pada satu pertanyaan besar.

Kalau benar takdir mengalami perubahan, akankah ada harga yang perlu ia bayar?

“Ori!” Mahda buka suara usai menaruh tasnya di kelas, kini mereka dalam perjalanan menuju Lab. Bahasa. “Soal kemarin–“

“Ah, thank you banget, ya. Aku dengar dari anak-anak tentang apa yang kamu lakuin buat ngejelasin kejadian kemarin. Aku nggak bisa bilang alasan sebenarnya, tapi aku beneran nggak bermaksud bersikap kasar ke kamu, Mahda.”

Penjelasan Nura menghadirkan lengkung terukir di sudut-sudut bibir Mahda, meneguhkan pesona manis dari mata besar yang berbinar girang.

Nura sendiri tidak yakin perihal tindakan seperti apa yang semestinya ia ambil. Dego kukuh menuntut Nura agar hidup di dunia ini mengikuti alur cerita, tetapi cowok itu tetap enggan jika Nura menyakiti Mahda. Padahal kedua poin itu takkan bisa dipisahkan; sudah menjadi satu-kesatuan. Penderitaan Dego didasari oleh prasangka-prasangka buruk yang menggerogoti sekujur benak. Prasangka itu pula yang akhirnya akan membawa beratus-ratus kesakitan untuk Mahda.

Omong-omong soal Dego, anak laki-laki itu kembali bersembunyi. Malu, katanya. Padahal wujudnya saja tidak kelihatan, apa gunanya tersipu? Jatuh cinta saat remaja memang sesuatu yang membuat orang menjadi gila.

“Tapi, Ori, kamu ternyata nggak disangka-sangka, ya, anaknya.”

“Yang ternyata asyik?” tebak Nura kelewat percaya diri.

“Itu juga, sih, tapi bukan itu maksud aku.” Mahda kepayahan menahan senyum. “Bisa dibilang, kamu agak … alay? Jujur, aku kaget banget pas baca ketikan kamu di chat kemarin.”

Nura melongo. “Ketikan? Chat?

Firasat tidak baik bertandang tanpa diminta, Nura lekas memeriksa ponselnya. Kalau diingat-ingat, ia sempat menyuruh Dego membalas pesan gadis manis itu saat menjaga konter, sementara Nura bahkan belum memeriksa ponsel sehari semalam kemarin.

Nura: Iy, M4hD@...

Nura: GaX pa2

Nura: Aq jgA mnt4 maff y

Nura: Kmu jgn ngr@s4 g4x enk gtu

Nura: Emx aqU yg slAhh

Telinga Nura perlahan memerah bersama satu alis bergoyang-goyang tidak nyaman, rahangnya mengeras, sedangkan bibirnya terkatup rapat-rapat namun agak bergetar–mirip orang tengah menahan umpatan yang sudah tiba di ujung tenggorokan–sebelum akhirnya tersenyum; senyum yang sarat akan ancaman.

Si Bego ini ....

“Aish!” maki Nura nyaris membanting ponselnya.

Memangnya ini tahun 2000-an awal? Nura dapat menjamin ia sendiri tidak se-jamet itu saat pertama kali memiliki ponsel. Maksudnya, please, Dego? Bagaimana bisa nama seorang Nura justru tercemar dengan cara konyol seperti ini?

“Pfffttt, nggak papa, Ori.” Lihat saja, saking memalukannya, orang sekalem Mahda sampai tak kuasa membendung tawa. “Aku juga pernah begitu, kok ….”

Nura mengigit bibir bawahnya, masih mengendalikan gejolak batin dalam dada.

“... meski nggak separah itu, sih, hihihi.”

Satu pukulan ringan Nura daratkan di lengan Mahda. Alih-alih protes, Mahda malah semakin tergelak hingga Nura bersungut-sunggut tidak terima. Atmosfer hangat itu menyebar luas, menggulirkan gersang sengat mentari menjadi lebih bersahabat.

“Mahda, kamu bisa ikut Bapak sebentar?”

Belum lima menit mereka masuk Lab. Bahasa, salah seorang guru sekaligus wali kelas XI SOSIAL 1 mengetuk ruangan. Suaranya rendah namun tetap ramah, senyum formalitas dilayangkan untuk guru pengampu Bahasa Inggris sebelum pamit bersama Mahda. Entah Nura terlalu sensitif atau semacamnya, tetapi seperti ada kehati-hatian dalam intonasi sang guru saat memanggil Mahda barusan.

Lab. Bahasa disetel dengan sekat-sekat layaknya ruang komputer. Deretan headphone dan mikrofon menggantung rapi di tiap meja. Serupa urutan duduk di kelas, Nura mengambil tempat persis di belakang Mahda sementara Fikar di sampingnya.

“Sejak kapan lu akrab sama si Mahda?” tanya cowok itu sembari merapatkan kursi pada Nura.

Sekadar mengangkat bahu, Nura lanjut menuruti arahan guru untuk menyalakan monitor. Ruang kedap suara tersebut semakin hening usai satu per satu anak mulai menutupi telinga dengan headphone, larut dalam suara-suara latihan yang hanya bisa didengar oleh mereka sendiri. Tiada lagi perbincangan, buku catatan mulai dibubuhi tulisan bersama wajah-wajah serius para siswa.

Masing-masing memusatkan seluruh konsentrasi pada indra pendengaran, harap-harap minim kesalahan atas apa pun yang mereka simak.

Lalu–BRUK!

Bunyi keras terdengar dari ujung ruangan. Bukan jatuh, lebih seperti benda sengaja dibanting secara beringas. Semua kepala kontan menoleh, beberapa mengelus dada seolah jantungnya jatuh mengikuti suara tadi, sebagian lagi refleks mencabut headphone, sedangkan sisanya terlonjak kecil dari kursi.

Ketegangan mengoyak sepi, terutama bagi Nura, yang kini membelalak tak percaya. Perih menjalar ke telinga setelah Dego, sekonyong-konyong datang dan melepas paksa headphone dari kepalanya, lalu mengakibatkan ujung kabel membeset pipi di bawah mata kiri perempuan itu.

“Nona Penulis!” Nada bicara Dego menyimpan jutaan murka, lalu meluap bersama cengkeraman pada kedua pundak Nura. “Rumah Mahda kebakaran!”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • nazladinaditya

    aduh, siapapun gigit cantika tolong 😭 aku pernah bgt punya temen kerja begitu, pengen jambak:(

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Sumpah udh gedeg banget sama atasannya. Sikapnya kya org yg gak berpendidikan mentang² punya power. Maen tuduh, rendahin org, nginjek² org mulu tanpa nyari tau dulu kenyataannya. Klo tau ternyata si Jelek -males banget manggil Cantika- yg lagi² bikin kesalahan yakin sikapnya gak sama dgn sikap dia k Wisnu mentang² dia cewek cantik😔 lagian tu cewek gak becus knp masih d pertahanin mulu sih d situ, gak guna cuma bikin masalah bisanya. Tapi malah jadi kesayangan heranšŸ˜‘

    Comment on chapter Chapter 8 - Lebih dari hancur
  • serelan

    Nu Wisnuuu semoga jalan untuk menemukan kebahagian dalam hidupmu dimudahkan ya jalannya

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Buat atasannya Wisnu jangan mentang² berpendidikan tinggi, berprofesi sebagai seorang dokter anda bisa merendahkan orang lain ya.. yang gak punya etika itu anda hey coba ngaca... ada kaca kan d rumah??
    Buat si Cantika yang sifatnya gak mencerminkan namanya anda d kantor polisi ya? Gara² apa kah? Jangan balik lg ya klo bisaaaa

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Khawatirnya si ibu cuma karena mikirin masa depan si Selly mulu, takut banget klo mas Wisnu d pecat. Padahal jelas² tau mas Wisnu lg sakit tapi nyuruh buru² kerja jgn sampe d pecat. Semangat pula nyiapin bekal dan jadi tiba² perhatian cuma karena mas Wisnu bilang mau nyari kerja part time. Biar dapet tambahan duit buat si Selly ya bu yašŸ˜‘.

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • nazladinaditya

    baru baca bab 3, speechless si.. cantika kata gue lo asu šŸ˜­šŸ™šŸ» maaf kasar tp kamu kayak babi, kamu tau gak? semoga panjang umur cantika, sampe kiamat

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • serelan

    Curiga Selly yg ngambil dompet ibunya terus uangnya d pake CO Shopee, karena takut ketauan belanja sesuatu makanya pulang dulu buat ambil paketnya... Atasannya mas Wisnu cunihin ya sepertinyašŸ˜‚ ke cewe² aja baik, ke cowo² galak bener... gak adakah org yg bener² baik di sekitaran Wisnu? Ngenes banget idupnya..

    Comment on chapter Chapter 6 - K25.4
  • nazladinaditya

    siapa yang menyakitimuu wahai authoorrr 😭😭 tolong musnahkan ibu itu, singkirkan dia dari wisnu jebal

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Kesel banget sama ibunya. Selalu banding²in. Negative thinking terus lagi sama Wisnu. Awas aja klo ternyata anak yg d bangga²kan selama ini justru malah anak yg durhaka yg gak tau diri, rusak gara² cara didik yg gak bener.

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Nu, udh parah itu Nu🄺
    Nu, coba bilang aja dulu sama atasan klo si Selly mau coba bantu² biar liat gimana kakaknya diperlakukan di tempat kerjanya. Biar bisa mikir tu anak kakaknya nyari duit susah payah.

    Comment on chapter Chapter 4 - Namanya juga hidup
Similar Tags
Ikhlas Berbuah Cinta
2855      1448     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
85      76     1     
True Story
Harsa untuk Amerta
463      378     0     
Fantasy
Sepenggal kisah tak biasa berlatar waktu tahun 2056 dari pemuda bernama Harsa sang kebahagiaan dan gadis bernama Amerta sang keabadian. Kisah yang membawamu untuk menyelam lebih dalam saat dunia telah dikuasai oleh robot manusia, keserakahan manusia, dan peristiwa lain yang perlahan melenyapkan manusia dari muka bumi. Sang keabadian yang menginginkan kebahagiaan, yang memeluk kesedihan, yan...
Ibu
559      336     5     
Inspirational
Aku tau ibu menyayangiku, tapi aku yakin Ayahku jauh lebih menyayangiku. tapi, sejak Ayah meninggal, aku merasa dia tak lagi menyayangiku. dia selalu memarahiku. Ya bukan memarahi sih, lebih tepatnya 'terlalu sering menasihati' sampai2 ingin tuli saja rasanya. yaa walaupun tidak menyakiti secara fisik, tapi tetap saja itu membuatku jengkel padanya. Dan perlahan mendatangkan kebencian dalam dirik...
Yakini Hatiku
71      63     1     
Romance
Setelah kecelakaan yang menimpa Fathur dan dinyatakan mengidap amnesia pasca trauma, Fathur mulai mencoba untuk mengingat segala hal seperti semula. Dalam proses mengingatnya, Fathur yang kembali mengajar di pesantren Al-Ikhlas... hatinya tertambat oleh rasa kagum terhadap putri dari pemilik pesantren tersebut yang bernama Tsania. Namun, Tsania begitu membenci Fathur karena suatu alasan dan...
My Private Driver Is My Ex
1005      679     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Ruang Suara
395      291     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ā€˜bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Switch Career, Switch Life
885      673     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Penerang Dalam Duka
2990      1307     5     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Annyeong Jimin
30919      4357     27     
Fan Fiction
Aku menyukaimu Jimin, bukan Jungkook... Bisakah kita bersama... Bisakah kau tinggal lebih lama... Bagaimana nanti jika kau pergi? Jimin...Pikirkan aku. cerita tentang rahasia cinta dan rahasia kehidupan seorang Jimin Annyeong Jimin and Good Bye Jimin