Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

“Raf, di kafe tempat lo kerja ada lowongan nggak?” tanya Rintik saat jam istirahat. Mereka berdua sekarang berada di perpustakaan.

            “Kenapa? Lo mau kerja juga?” tanya Rafa.

            “Jadi gini, Raf...” Rintik menceritakan masalah Cea dan meminta bantuan Rafa untuk mencarikan kerja part time yang waktunya fleksibel untuk anak SMA.

            Rafa angguk-angguk tanda mengerti. “Suruh temen lo itu ke kafe nanti. Biar gue urus semuanya.”

            Senyum lebar terpampang di wajah Rintik. “Lo serius kan? Tapi masalahnya Cea lagi dirawat di rumah sakit. Dia typhus.”

            “Setelah dia sembuh. Dia bisa kerja di kafe. Dan bujuk dia supaya masuk sekolah lagi,” kata Rafa.

            Rintik senang bukan main. “Makasih ya, Raf. Tapi ...” Rintik menyipitkan matanya pada Rafa, “kenapa lo dengan mudahnya bilang bisa kerja di kafe? Emang nggak ada seleksinya atau tes gitu?”

            Rafa mengibaskan tangannya. “Udah beres sama gue. Yang penting temen lo itu mau kerja di kafe buat jadi waitress. Kebetulan gue kenal deket pemiliknya,” ucap Rafa.

            “Oh gitu. Gue kira tuh kafe punya bokap lo, jadi bisa main masuk-masukkin orang,” gurau Rintik sambil tertawa kecil.

            Rafa membalasnya dengan tawa kecil.

            Ponsel Rintik bergetar. Ia mendapat pesan dari temannya di organisasi pers untuk mengikuti rapat. “Gue ke markas gue dulu ya. Mau ada rapat,” pamit Rintik.

            “Oke. Hati-hati. Entar lo kesandung,” kata Rafa.

            Rintik meninggalkan Rafa yang sekarang sedang duduk sendirian sambil membaca buku. Ia berjalan melewati lorong yang tidak terlalu ramai. Saat ia di depan gudang, Rintik mendengar percakapan dua orang yang sedang bertengkar. Karena penasaran, ia mengintip dari celah yang ada di jendela gudang tersebut.

            Cakra dan Wina sedang bertengkar. Dan tampak jelas sekali wajah Wina sangat marah. Tiba-tiba satu tamparan melayang cukup keras di pipi Cakra. Sampai membuat Rintik menutup mata karena terkejut melihat hal itu.

            Setelah menampar Cakra, Wina pergi meninggalkan gudang. Hingga menyisakan Cakra yang memegang pipinya yang tampak memerah. Ia menyeringai. Kemudian tangannya merogoh saku celananya. Rokok.

            Belum sempat Cakra memantik api, rokok yang sudah ada di mulutnya diambil Rintik yang berlari masuk ke dalam gudang.

            “Ngapain lo ke sini?” kata Cakra.

            Rintik mematung dan tidak menjawab. Ia menatap Cakra dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Ada kemarahan, kecewa, dan rasa bersalah campur menjadi satu.

            “Lo liat gue ditampar tadi? Seneng kan bisa liat hiburan gratis?” ujar Cakra yang hendak merokok. Namun Rintik mengambilnya.

            “Jangan ngerokok! Ini sekolah!” tegas Rintik.

            Cakra tertawa sarkastik. “Sekolah? Emang gue peduli. Mau dimanapun, kalau gue mau ngerokok yaudah ngerokok aja.” Ia mengambil satu batang rokok terakhir yang ada di tempatnya.

            Rintik menyaut rokok itu lalu mematahkan ketiga-tiganya. “Gue nggak suka liat orang ngerokok.” Rintik menginjak-injak rokok itu dengan penuh emosi.

            Cakra tertawa lagi. “Gue nggak ngerokok aja lo tetep nggak suka. Iya kan?”

            Rintik menghela napas sebentar. “Tapi gue pernah suka sama lo.”

            “Cuma pernah. Sekarang udah nggak. Jadi nggak ada alasan lo harus peduli sama gue,” kata Cakra.

            “Gue tetap peduli sama lo karena kita masih bisa berteman.” Rintik menatap Cakra. Laki-laki itu terlihat semakin kurus. Wajahnya semakin tirus dan sinar wajahnya tidak secerah dulu.

            “Berteman? Setelah apa yang lo lakuin? Lo sekarang pacaran sama anak baru itu? Dia adalah orang ketiga di hubungan kita?” tuduh Cakra. “Jawab jujur, Rin? Dia kan orang yang udah buat lo berubah?”

            “Ini nggak ada hubungannya sama Rafa. Gue minta putus sebelum gue kenal sama dia,” jawab Rintik. “Kenapa lo menyiksa diri lo? Lo bukan Cakra yang gue kenal.”

            Cakra mengangguk. “Iya, gue bukan orang yang lo kenal. Jadi mari kita kembali asing, sesuai keinginan lo. Jalani hidup lo dan gue akan jalani hidup gue. Ya, seperti saat ini,” ujar Cakra.

            Rintik menahan air matanya supaya tidak jatuh. Ia benar-benar tidak percaya kalau Cakra dapat mengatakan hal seperti itu pada dirinya. Hati manusia memang bisa berbolak-balik. Dulu menjadi orang yang paling pandai membuat bahagia, dan sekarang paling pandai menorehkan luka. “Gue nggak tahu harus bersikap bagaimana sama lo yang sekarang ini. Yang jelas gue tetap berharap lo menjadi Cakra yang dulu.” Rintik mengusap pipi Cakra yang tadi ditampar Wina dengan lembut. “Makasih udah pernah jadi orang yang mewarnai hidup gue.”

            Rintik pergi meninggalkan Cakra yang membeku di tempat.

            Cakra mengepalkan tangannya. Lalu ia meninju dinding gudang. Ia telah melukai orang yang dicintainya. Rasanya sangat menyakitkan lebih parah daripada diputuskan Rintik. Tangannya memerah namun ia tidak peduli. Luka di hatinya jauh lebih sakit. Perubahan sikapnya tentu memiliki alasan. Pelarian. Ia hanya ingin melarikan semua masalah yang ia hadapi dengan cara seperti ini. Tetapi ia tetap merasa hampa. Rintik memang tidak bisa digantikan oleh siapapun. Bahkan Cakra sudah berusaha untuk berkenalan dan dekat dengan banyak perempuan. Hasilnya nihil. Ia masih mencintai Rintik.

-0-

            “Lo dari tadi kenapa diem dan keliatan sedih sih?” tanya Rafa. Ia dan Rintik berjalan di lorong rumah sakit. Mereka ingin menjenguk Cea.

            Rintik menggeleng. “Gue nggak pa-pa kok. Cuma lagi males ngomong aja.”

            Rafa menepuk-nepuk bahu Rintik. “Kalau ada masalah cerita ya. Gue ini kan sekarang temen lo. Jadi jangan sungkan-sungkan buat mengeluh atau curhat ke gue.”

            Senyuman Rafa merekah. Laki-laki itu memperlakukan Rintik begitu baik. Bahkan terlalu baik bagi Rintik hingga terkadang sungkan untuk meminta bantuan apapun padanya. “Kenapa nggak pernah cerita kalau daftar di SMA gue?” tanya Rintik mengalihkan pembicaraan.

            “Karena gue juga nggak tahu lo sekolah dimana dan gue juga baru tahu tadi ketika papa nganter gue.” Rafa menarik tangan Rintik agar mendekat padanya sebab ada perawat yang membawa pasien dengan ranjang beroda dengan tergesa-gesa.

            Rintik sempat kaget karena Rafa tiba-tiba menariknya. “Mereka buru-buru amat,” gumamnya.

            “Sepertinya pasiennya kritis makanya harus cepat-cepat,” jawab Rafa. “Setelah SMA lo mau lanjut ke mana?” tanyanya pada Rintik seraya melepaskan tangan Rintik yang masih ia pegang.

            Rintik mengedikkan bahu. Ia belum memikirkan akan masa depannya. Dulu jika ditanya mengenai cita-cita ia dengan mudahnya menjawab ingin menjadi dokter. Namun sebenarnya ia belum semantap itu. “Belum yakin. Masih ragu-ragu sama kelanjutan plot hidup gue nantinya.” Rintik tertawa.

            “Ada-ada aja lo nih. Seharusnya udah lo persiapkan sejak dini. Bukannya dadakan kayak tahu bulat,” kata Rafa sambil tertawa mengikuti Rintik.

            “Gue suka menjalani hari ini tanpa berpikir tentang masa depan. Menjalani yang sekarang. Itu motto hidup gue,” ucap Rintik sambil menyengir lebar tanpa dosa.

            Rafa menjitak pelan kepala Rintik. “Mindset lo bener-bener perlu diubah, tahu nggak sih? Karena masa depan itu juga perlu ditata. Ibaratnya lo adalah adalah arsitek yang sedang membangun proyek. Tanpa sketsa, tanpa perencanaan, semuanya nggak bisa berjalan dengan lancar.”

            Rintik mencebikkan bibir. “Proyek yang udah direncanain matang-matang bisa aja mangkrak. Hasilnya zonk. Jadi sekedar impian yang nggak bisa dibangun nyata.”

            “Nah itu. Yang udah direncanain baik-baik aja bisa gagal, apalagi kalau nggak ada rencana, resiko untuk gagal jadi lebih tinggi. Setidaknya lo harus merencanakan apapun itu lalu membuat rencana lain apabila rencana awal lo itu gagal.” Rafa mencubit pipi Rintik.

            “Baik, Bos. Usulan akan dipertimbangkan lagi,” kata Rintik sambil menatap Rafa dengan tersenyum mengejek.

            Rafa mengangkat ibu jarinya. “Gitu dong. Baru anak manis,” katanya.

            “Gue udah manis dari dulu,” timpal Rintik sambil menjulurkan lidah.

            Sesampainya di depan kamar Cea dirawat keduanya masuk.

            “Halo, Ce. Gue ke sini sama temen baru kita. Satu kelas sama kita,” kata Rintik sambil menunjuk Rafa. “Namanya Rafa.”

            Rafa mengulurkan tangannya. “Gue Rafa. Satu kelas sama lo dan juga Rintik. Sebelumnya gue sama Rintik emang udah berteman saat liburan sekolah.”

            Cea ragu-ragu untuk membalas uluran tangan Rafa. Ia takut kalau Rafa juga sama seperti teman kelasnya yang lain. “G-gue Cea. Sebenarnya gue udah nggak sekolah di ...”

            “Lo tetap sekolah di situ, Ce. Udah gue bilangin lo itu harus tetap sekolah paling nggak sampai lulus SMA. Gue udah bilang sama wali kelas kita kalau lo nggak masuk beberapa hari ke depan karena sakit.” Rintik menyela ucapan Cea.

            “Tapi ...”

            “Iya, Ce. Bener kata Rintik. Lo harus tetap sekolah. Gue dan Rintik akan jadi teman yang support lo terus kok,” kata Rafa sambil melepaskan uluran tangannya.

            Cea tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia terisak. Air mata jatuh ke pipinya. “M-makasih. Udah ada buat gue ya,” ucap Cea sambil tersedu-sedu.

            Rintik merangkul Cea. “Jangan pernah merasa sendiri lagi ya. Kita akan selalu ada buat lo.”

            Tangis Cea semakin kencang. Rintik merangkul Cea sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. “Nangis aja, Ce. Biar lo lega. Asal lo janji nggak akan sedih karena masalah ini lagi. Oke?” ucap Rintik.

            Rafa memandang dua perempuan di hadapannya itu sambil tersenyum. Ia senang mendapat teman baru. Rintik si gadis ceria dan baik hati dan Cea si gadis rapuh yang mencoba tegar karena masalah hidupnya yang pelik.

            Setelah tangisan Cea mulai reda, Rintik melepas pelukannya. Ia duduk di samping Cea. “Kalau lo udah sembuh, lo bisa kerja di kafe Mocca, Ce. Rafa kenal sama pemiliknya. Lo bisa kerja jadi waitress di sana. Lo mau kan?” tanya Rintik.

            Cea mengusap air matanya. Kemudian ia mengangguk. “Iya, Rin. Makasih ya udah cariin gue solusi untuk masalah gue ini.”

            “Sama-sama, Ce. Ini juga karena Rafa yang mau bantu cari kerjaan buat lo,” kata Rintik sambil mendongak ke arah Rafa yang berdiri di samping ranjang.

            “Biasa aja kali. Gue juga senang kok bisa bantu temen.” Rafa malu-malu karena merasa dipuji.

            Setelah menjenguk Cea, Rintik dan Rafa pulang dengan mengendarai motor Rintik. “Lo mau daftar ekskul apa?” tanya Rintik yang ada di belakang Rafa. Ia memakai helm sedangkan Rafa tidak. Karena Rafa tidak membawa kendaraan di hari pertamanya sekolah.

            “Gue masih mikir-mikir dulu. Lo emang ikut ekskul?” tanya Rafa.

            Rintik tertawa. “Gue yakin kalau gue ngomong ini pasti lo nggak akan percaya. Gue ini ketua redaksi majalah sekolah.”

            “Sumpah lo ketua redaksinya? Nggak nyangka gue. Lo suka nulis?” ucap Rafa.

            “Gue suka nulis. Cerpen, puisi, senandika, atau quote-quote gitu. Karena gue merasa dengan menulis bisa membuat gue menjadi lebih hidup. Pikiran-pikiran gue bisa dicurahkan dalam bentuk karya yang mungkin dibaca orang lain,” terang Rintik. “Kalau lo? Hobi ngapain?”

            “Hmm, hobi gue ...” Rafa menggantung kalimatnya, “tidur mungkin.” Rafa tergelak.

            Rintik menepuk punggung Rafa. “Hobi lo nggak guna banget. Lagian itu bukan hobi. Semua orang ngelakuin itu karena kebutuhan.”

            Rafa tertawa lebih kencang. “Gue suka apa aja. Tapi dari semua yang gue suka, tidur adalah yang paling gue suka.”

            “Pasti hobi lo balap liar. Atau kalau nggak hobi main kartu. Hmm, atau hobi ...”

            “Sadis amat lo menuduh hobi gue yang nggak-nggak. Cowok sekeren dan semanis gue nggak mungkin punya hobi yang begitu,” kata Rafa.

            “Terus apa?” kata Rintik.

            “Melukis. Itu hobi gue. Hobi paling rahasia.”

-0-

            Rintik sedang berjalan menuju kelasnya. Ia baru saja kumpul di ruang rapat. Ketika lewat lorong dekat kamp anak basket, ia melihat anak-anak basket sedang ribut. Ada Cakra juga di sana. Sebenarnya ia berusaha untuk mengabaikannya namun Cakra seperti sedang berdebat dengan teman-temannya. Dan sepertinya ada masalah yang cukup serius.

            “Nggak bisa gitu dong, Cak. Lo nggak bisa ngundurin diri gitu aja,” ucap Dion. Ia salah satu anggota tim basket inti. “Lo baru aja diangkat jadi ketua tim dan masa akhir jabatan lo masih bulan Oktober.”

            Rintik mendengar kata-kata Dion ketika ia berjalan mendekati gerombolan anak basket itu. Ia terkejut mendengarnya. Cakra mengundurkan diri dari jabatan ketua tim basket. Padahal setahu Rintik, hal itu merupakan impian Cakra.

            “Gue tahu. Tapi gue ingin keluar dari ekskul ini.” Cakra tetap bersikeras untuk mengundurkan diri.

            Dion mendorong Cakra. “Maksud lo apa?! Lo sama sekali nggak konsisten sih?! Lo lagi ada masalah? Hah?!” ucapnya yang sudah kesal.

            Anggota yang lain berusaha melerai keduanya yang terlihat sudah sangat panas. Hingga saat tangan Dion ingin meninju Cakra, Rintik segera berlari dan melindungi Cakra. Alhasil, dirinyalah yang terkena tinju itu.

            Rintik tersungkur ke lantai. Semua terkejut karena kedatangan Rintik yang tiba-tiba. Dion merasa sangat bersalah karena salah sasaran dan mengenai seorang perempuan.

            “Maaf, Rin. Gue nggak maksud ngenain lo,” ucap Dion.

            Cakra mengepalkan tangannya dan satu tangannya menarik kerah Dion.

            “Cak, antar gue ke UKS,” pinta Rintik. Ia berusaha untuk melerai keduanya. “Sekarang!” ucapnya dengan tegas. Hingga Cakra melepaskan tangannya dari kerah Dion.

            Sesampainya di UKS. Rintik duduk di atas ranjang UKS. “Lo duduk aja di kursi.”

            Cakra masih terdiam. Dia bingung harus bersikap bagaimana. “Lo nggak pa-pa kan?” tanyanya kemudian. Ia melihat pipi Rintik kemerahan.

            Rintik tertawa. “Gue nggak pa-pa kok. Buktinya gue bisa ketawa.”

            “Seharusnya lo nggak ikut campur urusan gue tadi.” Cakra menatap Rintik dengan intens. Sorot matanya yang tajam, alisnya yang tebal, dan bulu matanya yang lentik, membuat Rintik bergidik ngeri saat ditatap seperti itu.

            “Gue cuma nggak mau liat orang berkelahi. Bukan untuk ikut campur urusan lo,” kilah Rintik. “Kenapa lo mengundurkan diri dari ketua basket? Itu kan impian lo dari dulu,” lanjutnya.

            “Itu bukan impian gue lagi. Basket udah bukan hobi gue lagi,” jawab Cakra dengan entengnya.

            Rintik tidak percaya dengan pernyataan Cakra. Ia memegang bahu Cakra. “Gue kenal lo, Cak. Meskipun lo berubah sekarang. Nggak mungkin drastis yang mengubah semuanya. Lo sangat suka main basket. Kenapa lo harus membohongi diri lo sendiri?”

            Cakra menepis tangan Rintik. “Gue nggak membohongi diri gue. Kenapa lo tiba-tiba pergi dan tiba-tiba kembali? Kenapa lo sekarang peduli sama apa yang gue lakuin? Bisa kasih gue alasannya?” kata Cakra.

            “Karena gue ...” Rintik gugup, “gue selalu peduli sama lo. Meskipun gue bukan siapa-siapa lo lagi. Gue selalu peduli sama lo.”

            Pengakuan Rintik membuat Cakra diam tak bergeming. Ia merasa seperti sedang dipermainkan.

            “Gue tahu lo pasti marah sama gue, lo bingung dengan sikap gue, lo merasa gue ini sangat aneh. Tapi gue bener-bener peduli.” Rintik menelan salivanya. “Seandainya lo dapet pacar yang baik dan menjalani hubungan yang baik, gue nggak akan ganggu lo. Dan gue seneng kalau lo mendapatkan yang jauh lebih baik daripada gue yang aneh ini. Tapi gue sedih ketika mendengar kabar lo sekarang berubah menjadi badboy yang gonta-ganti pacar.”

            “Kalau lo peduli sama gue, kenapa kita harus pisah, Rin? Lo semakin membuat gue bingung!” Cakra mengepalkan tangannya dan meninju tembok UKS. Tangannya memerah.

            Melihat tindakan Cakra, Rintik segera beranjak dari duduknya. Ia memegang tangan Cakra yang memerah itu. “Lo suka banget sih nyakitin diri sendiri! Bagaimana lo bisa mencintai orang lain kalau mencintai diri sendiri aja nggak becus!” seru Rintik yang marah karena Cakra melukai tangannya sendiri.

            Cakra tersenyum. “Kalau dengan cara begini lo akan peduli sama gue. Gue rela melakukan hal ini setiap hari, Rin.”

            Ritme detak jantung Rintik menjadi kian cepat akibat perkataan Cakra. Namun sebisa mungkin ia menutupi semua sensasi aneh yang hinggap pada dirinya. Ini semua untuk kebaikannya dan juga Cakra.

-0-

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
2026      1050     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Love Warning
1402      669     3     
Romance
Pacar1/pa·car/ n teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Meskipun tercantum dalam KBBI, nyatanya kata itu tidak pernah tertulis di Kamus Besar Bahasa Tasha. Dia tidak tahu kenapa hal itu seperti wajib dimiliki oleh para remaja. But, the more she looks at him, the more she's annoyed every time. Untungnya, dia bukan tipe cewek yang mudah baper alias...
The First 6, 810 Day
1980      1200     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Ilona : My Spotted Skin
1197      800     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Alfazair Dan Alkana
301      248     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
Help Me Help You
3955      1854     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Renata Keyla
7056      1699     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Senja di Balik Jendela Berembun
67      59     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Fidelia
2720      1327     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Isi Hati
517      370     4     
Short Story
Berawal dari sebuah mimpi, hingga proses berubahnya dua orang yang ingin menjadi lebih baik. Akankah mereka bertemu?