Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

‎"Gimana, Mas? Udah dapat kerjaannya?"

‎Gue yang sebelumnya sibuk mengeringkan rambut refleks berhenti. Padahal, banyak hal yang bisa ditanyain. Salah satunya luka di pelipis gue. Nggak yang parah sampai berubah bentuk, sih, cuma luka, tapi tetap aja bukan hal yang biasa. Sayangnya, sekali lagi hati kecil gue menertawakan. Gue berharap apa? Uang emang selalu lebih berkilau, kan?

‎"Belum, dapat, Bu. Tadi, kan, seharian aku kerja soalnya Cantika nggak masuk. Jadi, aku kerja full shift."

‎"Ya udah nggak apa-apa. Itu kamu dapat lemburan, kan? Jangan sampai nggak. Lumayan lho biarpun cuma tujuh puluh lima ribu, kita bisa nabung buat biaya PKL-nya Icel."

‎"Harusnya lembur, sih, Bu. Cuma nggak tau. Itu bukan cuti soalnya. Bisa diganti pake uang bisa ganti jaga."

‎"Maksudnya gimana, Mas?"

‎"Iya jadi tergantung Cantika nanti bayarnya mau pake apa. Mau bayar pake uang berarti seharga lemburan aku biasa, bisa juga ganti jaga. Jadi, nanti aku dapat jatah libur sehari lagi selain jatah libur mingguanku."

‎"Jangan! Jangan mau kalau dia ganti jaga. Enak aja. Tenaga orang, kan, harus dibayar."

‎Mendengar jawaban Ibu, gue menghela napas, sebelum akhirnya berkata, "Bu, ganti jaga, kan, sama aja. Aku bisa istirahat sehari lagi. Jadi, impas."

‎"Beda. Libur jaga manfaatnya apa coba? Mas, kan, udah dapat jatah libur. Lagian, Mas mau ngapain emang kalau di rumah? Paling tiduran doang. Nggak bermanfaat sama sekali."

‎Kalaupun jawab, gue pasti kalah. Jadi, gue lebih memilih diam. Tadinya gue mau minta Cantika ganti jaga, biar gue bisa ke rumah sakit karena minggu ini kebetulan gue libur Minggu jadi tetap nggak akan bisa ke rumah sakit karena dokter yang bersangkutan nggak jaga hari itu. Artinya, gue harus nunggu minggu depan dan nahan sakit ini lebih lama. Gue nggak minta apa-apa, sih, cuma minta dikuatkan sampai hari itu karena sebenarnya gue beneran udah nggak kuat.

‎Badan gue makin berasa dingin setelah mandi, menggigil. Ya, nggak heran demam gue dari tadi nggak turun sama sekali. Tekanan darah gue cuma 80/90 mmHg, suhu tubuh gue pas dicek sebelum pulang juga masih di angka 38,9°C. Sakit sama mualnya juga bikin gue tersiksa karena jadi nggak bisa makan. Nggak enak dan paranoid duluan takut muntah. Jadi, kali ini bukan Ibu nggak nawarin makan, tapi karena gue emang nggak bisa makan. Kalau dipake donor, mungkin darah yang gue muntahin bisa sampe dua labu.

‎"Ingat lho, Mas, nggak ada yang gratis di dunia ini." Suara Ibu terdengar lagi, dan gue langsung mengangguk tanpa melawan.

‎Akhirnya, karena takut Ibu marah lagi, jam sepuluh malam lebih sedikit gue keluar sebentar. Di luar dingin, agak gerimis juga, tapi jam segini biasanya banyak pemuda yang masih nongkrong di warung kopi depan. Siapa tau mereka punya info kerjaan.

‎Sayangnya, udah jalan jauh, ternyata nggak ada siapa-siapa. Mungkin karena gerimis, orang pada malas keluar. Sebenarnya, gue agak canggung juga, sih, kalau mereka ada. Nongkrong nggak pernah, tiba-tiba sok akrab terus nanya kerjaan. Aneh banget pasti kesannya.

‎Kadang gue iri. Di usia segini, biarpun ada sebagian yang kerja dan lainnya kuliah, mereka masih punya kebebasan buat main. Nggak dibebani tanggung jawab sebesar ini. Mereka main, nongkrong, sedangkan gue nggak ada waktu, uang, dan nggak punya kendaraan kayak yang lain.

‎Sempat suatu hari gue diajak main ke pantai, pas pulang dilempar-lempar mau pulang sama siapa. Nggak enak banget rasanya. Jadi, sejak hari itu gue udah nggak ngumpul sama mereka lagi. Ngukur diri. Gue tau punya banyak keterbatasan.

‎Gue menghela napas panjang setelah memilih diam sebentar di warung kopi yang uda tutup itu. Nggak ngapa-ngapain beneran cuma diam, dan pikiran aneh mulai muncul lagi di kepala.

‎Kalau gue lompat ke Citarum bakal ketemu nggak, ya?

‎Kalau gue kecelakaan yang bayar rumah sakit sama ambulans siapa?

‎Kalau gue pergi, Ibu sama Selly gimana?

‎Acak aja sebetulnya, bukan gue yang sengaja mikirin. Kayak masuk pas gue sendiri dan lagi bengong. Berasa banget kosongnya. Bagian terburuk dalam hidup adalah pas gue berdampingan sama kekosongan. Kayak senang nggak, sedih juga nggak. 

‎Setelah duduk lama dengan pikiran yang macam-macam, gue memutuskan buat pulang. Kalau Ibu nanya, seenggaknya gue udah keluar dan berusaha buat nyari, jadi ada alasan. Gue pengin banget tidur karena sakitnya udah mulai nggak manusiawi. Sakit yang sakit banget sampe gue jalan aja rasanya nggak napak tanah. Berasa cosplay jadi Mbak Kun, melayang.

‎Pelan-pelan banget gue jalan masuk rumah. Selain sakit, gue juga nggak mau ganggu Ibu sama Selly yang mungkin udah tidur. Tapi, lewat kamar Selly, gue dengar suara orang ngobrol.

‎"Gimana? Vape yang kayak gitu bukan yang kamu maksud? Aku tadinya nggak mau beliin, nggak sehat tau. Tapi, karena itu bikin kamu bahagia, jadi ya udah."

‎Tunggu, apa katanya tadi? Vape? Rokok elektrik itu?

‎"Bukan, ya? Ya udah nanti aku nabung lagi. Kalau udah ada uang baru, deh, aku beliin yang lebih bagus dan mahal. Itu aja aku sampe harus bohong sama Ibu tau. Uangnya aku bilang buat beli buku."

‎Ternyata benar, ya, cewek kalau lagi bucin musnah langsung kewarasannya. Gue nggak tau dia ngobrol sama siapa, tapi jelas bukan sama cewek lagi, dan dari bagaimana adik gue berkorban, gue yakin itu cowok dianggap spesial.

‎Perut gue makin melilit memikirkan berbagai kemungkinan. Selly masih mungkin berbuat lebih. Dia bisa aja mengorbankan segalanya, dan jujur itu bikin gue takut. Takut gagal jagain dia. Gimana gue bertanggung jawab sama Bapak? Tapi, kalau gue ngobrol sekarang dia malah makin jaga jarak dan gue nggak akan tau apa-apa akhirnya.

‎Berulang kali gue menghela napas, berusaha menenangkan diri. Pikiran gue ini bisa makin ke mana-mana kalau panik, dan dalam kondisi kayak gitu gue nggak bisa ngapa-ngapain selain membiarkan nyeri fisik menggerogoti dari dalam. Tangan gue mulai tremor, terlalu takut dengan segala kemungkinannya, padahal itu baru pikiran gue aja, belum tentu Selly benar-benar pacaran. Satu hal yang pasti di sini cuma dua, Selly nipu Ibu dan dompet Ibu pun kemungkinan dia yang ambil.

‎Gue sadar, ketika menjalin hubungan sama seseorang kita selalu pengin ngasih yang terbaik, tapi dulu pas gue sama Alisa, gue kerja keras untuk itu, bukan dengan cara menipu apalagi mencuri. Selly bisa berbuat sejauh ini aja bikin gue syok, apalagi kalau lebih? Gue nggak tau seberapa hancurnya Ibu kalau tau anak kesayangannya bisa berbuat begini.

‎Mungkin gue bisa ngobrol lagi besok sama dia, dengan pendekatan yang lain. Gue memilih ke dapur, masak air panas buat kompres perut yang nyerinya ampun-ampunan. Hal normal yang selalu gue lakuin tiap sakit ini datang tapi nggak punya uang. Air nggak bayar, asal jangan ... tiba-tiba aja hal yang baru gue pikirin terjadi. Gasnya habis. Kompor mati gitu aja. Gue jengkel setengah mati karena malam ini artinya gue bakal tidur dengan rasa sakit, tapi di sisi lain gue juga takut, takut Ibu ngamuk karena gas yang habis.

‎Gue pikir di kalender cuma ada satu hari hokinya dan satu hari apesnya. Kok di kalender gue apesnya hampir satu bulan, hokinya cuma kayak hari raya Idul Fitri setahun sekali?

‎***

‎Gue bilang juga apa. Pagi buta Ibu ngomel karena gas habis. Gue kunci pintu dan pura-pura nggak dengar, sementara Selly balik ngomel karena tidurnya keganggu.

‎Sesekali memutuskan buat nggak terlibat, nggak apa-apa, kan, walaupun gue penyebabnya? Agak capek soalnya setelah semalaman nggak tidur. Jangankan bangun, gerak aja nggak sanggup. Pandangan gue bukan cuma berkunang-kunang, tapi hampir gelap.

‎Seprai yang nggak sengaja kena semburan darah segar juga masih ada di pojok kamar cuma gue lihatin sambil berusaha buat tetap sadar. Gue napas, tutup mulut karena mual, napas lagi, merem, napas lagi, buka mata, napas, napas, dan napas. Kayak, nggak ada hal yang bisa gue lakuin lagi selain itu. Karena sakitnya benar-benar bikin panik. Ada bahan lupa napas kalau terus merasa sepanik ini.

‎Gue benar-benar takut, gimana kalau setelah ini gue mati? Tanggung jawab gue sama Ibu dan Selly belum selesai. Bapak bakal kecewa nggak, ya?

‎Kalau misal gue masuk IGD, bakal keluar duit berapa? Pendaftaran, obat, tindakan, rawat inap kalau ternyata harus, gimana gue bayar itu semua? Kalau pake BPJS bisa nggak, ya? Tercover nggak, ya, urusan lambung begini? Nanti siapa yang ngangkat gue? Di rumah ini—minus gue—cuma ada cewek. Naik apa ke rumah sakitnya? Kita nggak punya kendaraan sama sekali.

‎Dengan pikiran seberisik itu suara Ibu makin lama makin menghilang. Gue nggak tau apakah karena Ibu yang udah mulai sadar terlalu ribut pagi-pagi atau justru karena kesadaran gue yang mulai hilang? Bukan cuma suara Ibu yang perlahan hilang, gue juga nyaris nggak bisa ngerasain apa-apa setelahnya. Jantung gue berdebar cepat, ulu hati sampe dada gue kayak diinjak raksasa di cerita Timun Mas, sesak, nggak bisa napas, sampai akhirnya semua berubah gelap. Gelap dan hening. Sangat hening sampai gue ngerasa pengin kayak gini lebih lama.

How do you feel about this chapter?

2 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
Matahari untuk Kita
2262      832     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Is it Your Diary?
269      221     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Time and Tears
457      341     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Metanoia
71      61     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Fidelia
2471      1129     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Senja di Balik Jendela Berembun
48      42     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
LARA
9020      2179     3     
Romance
Kau membuat ku sembuh dari luka, semata-mata hanya untuk membuat ku lebih terluka lagi. Cover by @radicaelly (on wattpad) copyright 2018 all rights reserved.
Imajinasi si Anak Tengah
3617      1924     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
202      169     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Teacher's Love Story
3301      1125     11     
Romance
"Dia terlihat bahagia ketika sedang bersamaku, tapi ternyata ia memikirkan hal lainnya." "Dia memberi tahu apa yang tidak kuketahui, namun sesungguhnya ia hanya menjalankan kewajibannya." Jika semua orang berkata bahwa Mr. James guru idaman, yeah... Byanca pun berpikir seperti itu. Mr. James, guru yang baru saja menjadi wali kelas Byanca sekaligus guru fisikanya, adalah gu...