Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

"Dia kerja keras demi kamu, Sell. Dia bahkan nggak pernah punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri, cuma kamu dan ibu kalian yang ada di pikirannya."

Itu suara Lala, sangat jelas. Gue nggak tau apa yang mereka bicarakan sebelumnya karena pas gue buka mata, cuma itu yang berhasil gue dengar. Gue nggak tau ini di mana, tapi sepertinya di rumah sakit karena interaksi orang-orang di sekitar gue juga terdengar.

"Aku nggak pernah minta." Kali ini Selly jawab.

"Wisnu melakukan itu semua karena merasa kalian tanggung jawabnya. Dia anak pertama, laki-laki, dan karena ayah kalian udah nggak ada, secara naluriah dia berusaha melanjutkan tugas dan tanggung jawab ayah kalian. Jadi, ini bukan cuma masalah minta atau nggak, Sell."

Lala terdengar marah, tapi nggak tau kenapa gue membiarkannya dan tetap pura-pura tidur. Bukan puas Selly dimarahi, tapi gue merasa butuh orang lain untuk sekadar bikin Selly sadar bahwa apa yang dia lakukan selama ini udah keterlaluan. Kita cuma memiliki satu sama lain, kalau seandainya suatu hari gue menyentuh batas dan memutuskan buat menyerah sama semuanya, bagaimana dia melanjutkan hidup dengan karakternya yang seperti itu?

Gue sedikit terkejut saat seseorang mencekal pergelangan tangan gue, kemudian mengusap luka yang belum kering sempurna.

"Kamu lihat ini? Pernah nggak kamu nanya apa masmu baik-baik aja? Pernah nggak sekali aja kamu berusaha buat tau keadaan dia? Kamu pasti kaget dengan apa yang terjadi hari ini, tapi kamu perlu tau ini bukan pertama kali. Dalam beberapa hari ini Wisnu bolak-balik ke rumah sakit cuma karena pengin tau keadaanya. Dia muntah darah, pingsan, sakit berkali-kali, tapi kalian nggak tau itu, kan? Aku nggak bermaksud ikut campur urusan keluarga kalian, tapi aku rasa kalian harus tau soal ini. Aku di sini cuma bicara sebagai temannya Wisnu."

Selly diam, nggak bantah ataupun nangis. Suasana ruangan juga berubah hening, tapi itu pasti lebih menyakitkan karena Selly ada di momen di mana dia bahkan nggak bisa membela diri seperti biasa. Lala masih memegang pergelangan tangan gue, dan sekali lagi gue membiarkannya. 

"Aku tau hati kecil kamu pun bilang sayang sama masmu, Sell. Tapi, itu aja, tuh, nggak cukup. Kamu perlu menunjukkan perasaan itu dengan cara apa pun. Jangan terlalu lama membiarkan dia sendirian dan terus berpura-pura kuat."

"Aku cuma nggak tau gimana harus bersikap, Teh. Mas Nu selalu kelihatan baik-baik aja. Aku pikir, dengan dia yang seperti itu dia memang nggak butuh aku."

"Kamu harusnya peka. Laki-laki itu punya harga diri. Pantang buat dia bilang kalau dia lemah, butuh kasih sayang, butuh dukungan atau bantuan kalian, apalagi kalian orang yang harus dia lindungi. Aku nggak minta apa-apa, Sell. Aku cuma minta tolong sayangi masmu."

Mulai terdengar suara Isak tangis, dan gue tau itu Selly. Pengin rasanya gue bangun dan bilang semuanya baik-baik aja kayak biasa, tapi untuk pertama kalinya gue pengin mereka tau kalau gue nggak kuat, gue capek. Biarpun gue nggak pernah minta ruang buat bersandar ke mereka, tapi bukan berarti gue pengin sendirian selamanya. 

Genggaman tangan Lala terlepas, nggak lama gue dengar lagi suaranya.

"Sell, aku cuma nggak mau kamu nyesel. Jadi, tolong bersikap sedikit lebih baik sama Wisnu. Percaya sama aku, dia sayang banget sama kamu. Apa pun yang dia katakan atau dia lakukan bukan tanpa pertimbangan. Dia pasti berpikir jauh ke depan demi kebaikan kalian."

Tadinya hal ini yang gue takutkan, tapi entah kenapa ... setelah Lala membuka semuanya gue justru merasa lega.

"Udah jangan nangis, ya. Masmu butuh kamu."

"Makasih banyak, ya, Teh. Teteh nggak pulang? Udah hampir jam enam."

Ah, ternyata udah pagi. Gue pingsan berapa lama? Perasaan pas kejadian masih sekitar jam setengah sembilan malam.

"Aku dijemput pagi nanti, soalnya masuk pagi. Ibumu udah dikabarin?"

"Belum. Aku bingung gimana caranya bilang sama Ibu."

"Apa ibumu nggak khawatir kalian nggak pulang tadi malam?"

"Aku cuma bilang ada lemburan di apotek sama Mas Nu. Ibu setuju-setuju aja karena berpikir uangnya bisa buat tambahan biaya PKL aku."

"Oke. Papaku udah bayar semua pemeriksaan Wisnu, dan kemungkinan hasilnya pagi ini kalau nggak siang udah keluar. Biar lebih cepat. Nanti kabarin, ya, apa pun hasilnya. Tolong jaga Wisnu. Kamu tau, kan, dia bukan pembicara yang baik? Dia nggak pernah bilang apa pun, bahkan tentang rasa sakitnya, jadi aku harap kamu nggak keberatan buat lebih aktif bertanya. Kamu kirim nama lengkap, alamat sekolah, dan nama orang tua kamu, ya. Nanti aku buatin surat izinnya."

Ternyata Lala sedetail itu orangnya. Gue bahkan nggak tau kalau dia minta papanya buat bayar biaya pemeriksaan yang gue yakin mahal banget. Biaya PKL sama kuliah Selly aja masih jadi beban besar di pundak gue, sekarang malah nambah biaya pemeriksaan.

Perlahan gue membuka mata, tadinya nggak mau sampe mereka pergi, tapi gue tau Selly selalu merasa rugi kalau nggak sekolah. Jadi, gue bangun dan minta dia pulang aja.

"Mas."

Begitu gue membuka mata, Selly langsung mendekat, begitupun Lala.

"Nu? Gimana? Apa yang sakit? Apa yang lo rasain sekarang?"

Malah Lala yang bawel banget tanya ini itu. Gue cuma menjawab dengan senyum, berusaha membuktikan kalau gue baik-baik aja walaupun kenyataannya nggak. "Bisa-bisanya gue malah dibawa ke rumah sakit, La. Kalau nggak ke-cover BPJS gimana?"

"Belum aja lo gue sepak, ya, Nu! Udah bikin panik, bangun-bangun bikin kesal. Gimana nggak gue bawa ke rumah sakit orang semalam lo tiba-tiba pingsan berlumur darah kayak orang kena santet!"

"Siapa yang bakal nyantet orang manis kayak gue, sih, La?"

Gue tau banget, kalau gue dalam keadaan normal aja pasti udah ditoyor Lala. Tangannya seenteng itu buat noyor orang atau main geplak.

Lala memberi ruang buat Selly, dan gue sadar banget itu. Selly maju dengan kepala menunduk, dan gue meraih jemari tangannya, mengusapnya, terus bilang, "Mas nggak apa-apa. Kamu pulang, gih. Hari ini sekolah, kan? Ada buat ongkosnya?"

Dia cuma diam, terus nangis lagi. Susah payah gue berusaha buat bangun dan menepuk tempat kosong di ranjang gue, minta Selly duduk di situ. Gue merasa bersalah karena udah bikin dia nangis—dari tadi. Tapi, gue juga pengin tau sebenarnya dia sayang nggak, sih, sama gue?

Dia duduk di ranjang gue, terus gue peluk. "Mas minta maaf, ya, Cell, udah bikin kamu susah. Mas janji nggak akan ngerepotin kamu lagi."

"Mas nggak ngerepotin. Aku, kan, yang bikin Mas susah selama ini?"

"Nggak. Nggak masalah. Kamu pulang, gih. Jangan bilang sama Ibu. Bilang aja Mas lembur. Kayaknya nanti siang juga udah boleh pulang. Udah seger gini."

"Mas serius?"

"Serius."

Lala melotot ke arah gue, tapi gue menjulurkan lidah, sengaja ngejek biar dia makin jengkel. Jengkelnya Lala hiburan buat gue soalnya.

"Sana pulang, sekolah. Nanti Mas kabarin kalau ada apa-apa."

Di belakang Selly, Lala udah misuh-misuh tanpa suara, tapi gue malah pengin ketawa.

Gue melepas pelukan, dan membiarkan Selly mulai beresin barang-barangnya. Entah karena gue terbiasa sendiri atau apa, tapi nggak nyaman aja ditemenin dan diperlakukan kayak orang sakit.

Dia langsung pamitan sama gue dan Lala. Lala juga harusnya pulang, sih, karena otomatis dia harus gantiin gue jaga pagi ini, tapi gue tau cewek itu merasa ada yang belum selesai. 

"Thank you. Nanti gue ganti, ya, La. Lo kasih ke gue aja rinciannya. Tapi, nyicil," kata gue sambil ketawa. "Bilang makasih juga sama orang tua lo. Makasih udah bantuin gue."

Dari situ Lala agak bengong, kayak baru sadar kalau gue udah dengar semuanya.

"Nu, sorry ...."

"Buat?"

"Maaf kalau gue udah lancang ikut campur masalah keluarga lo dengan marahin Selly. Harusnya gue nggak masuk sejauh itu, kan?"

"Nggak masalah, La. Gue juga harusnya tadi bangun dan nahan lo buat bilang semuanya, tapi karena sampai kapan pun gue nggak akan bisa melakukan itu, jadi gue membiarkan itu. Gue nggak pernah tau gimana caranya ngomong sama Ibu dan Icel tentang capeknya gue, tapi Lo melakukan itu buat gue. Makasih."

Dia menghela napas berkali-kali, keliatan ragu buat bicara, walaupun akhirnya tetap buka mulut. 

"Pengorbanan lo, tuh, udah cukup, Nu. Nggak masalah kalau dengan mereka yang seperti itu, tapi tetap ngasih perhatian yang cukup buat lo. Ini nggak. Bukan cuma fisik lo yang dibuat berantakan, mental lo juga. Gue sangat menyayangkan itu. Bahkan, orang tua gue yang jauh dan sibuk sama kerjaan masing-masing aja punya sedikit waktu buat sekadar memastikan gue udah makan atau belum."

"Gue, tuh, udah biasa sebenarnya, La. Jadi, nggak masalah kok biarpun kadang tetap ada perasaan pengin dikasih perhatian atau minimal ditanyalah gimana keadaan gue. Tapi, nggak masalah. Cowok emang di-setting buat tahan banting menghadapi segala cuaca."

Aura pengin ngamuknya kentara banget, tapi dia menahan diri.

"Nu, gue mau ngomong serius. Jangan diketawain, jangan dibecandain. Nonjok orang sakit bukan gue banget, tapi gue bisa ngelakuin itu sambil tutup mata biar nggak ngerasa bersalah."

Gimana gue nggak pengin ketawa kalau intronya aja kayak gitu coba? Gue berdeham, berusaha keras buat nggak bikin dia makin jengkel. "Iya, kenapa, La?"

"Apa pun yang terjadi, kabarin gue. Masalah uang, jangan dipikirin dulu. Kita pikirin nanti setelah lo sembuh. Lagian, Papa bukan rentenir. Lo nggak bayar sekalipun dia bakal lupa, dalam artian ikhlas. Selama bukan Mama yang ditumbalin, Papa oke-oke aja. Yang terpenting, belajar bilang nggak, Nu. Nggak semua orang harus lo bahagiakan dan apa yang mereka katakan nggak selalu harus lo iyakan. Belajar boundaries, oke? Belajar hidup untuk diri lo sendiri."

Cukup lama gue diam setelah mendengar kata-kata Lala. Ucapan dia ada benarnya, dan gue nggak membantah sama sekali.

"Nu, gue bilang gini bukan berarti mencintai mereka sebesar itu adalah kesalahan, gue cuma pengin lo belajar mencintai diri lo sendiri juga supaya seimbang. Gimana lo bisa sepenuh hati membahagiakan mereka kalau diri lo sendiri aja nggak bahagia? Gue pernah ada di fase itu, Nu, dan udah bisa melewatinya. Walaupun nggak sesempurna orang lain, tapi gue mencintai diri gue yang sekarang. Kalau mau, lo juga pasti bisa."

"Makasih, La."

"Gue harap, suatu hari ... saat lo mulai menyadari semuanya dan mau berubah, bukan karena gue yang menggerakkan, tapi karena hati kecil lo yang ngasih dorongan."

Lala menunjuk dada gue dengan telunjuknya, dan lanjut bicara.

"Ingat ini, ada bagian dalam diri lo yang harus didengar."

Gue benar-benar dibuat terpana sama cara Lala bicara. Tegas dan terus terang. Dia tau semuanya karena pernah melewatinya. Jujur, ini pertama kalinya gue nggak merasa gagal cerita sama orang. Harusnya gue sadar dari awal kalau dia perempuan yang luar biasa.

"Lo mau bantu gue, kan, La?"

"With my pleasure. HP gue nyala dua puluh empat jam kalau lo butuh sesuatu, Nu."

"Iya, bawel banget. Tau, deh, yang baterainya awet."

"Becanda terus lo, ya. Lama-lama beneran gue tonjok."

"Kasar banget, sih, La, jadi cewek."

"Suka-suka gue. Emang elo rese dari tadi. Gue, tuh, sebenarnya nggak tahan pengin Jambak, minimal nendang, tapi sadar diri lo lagi sakit. Nanti masuk penganiayaan."

"Semalam aja lo nangisin gue."

"Hah?"

Gue nyengir. Ya gimana, masih ingat banget muka paniknya. Dia nangis jerit-jerit sambil manggil nama gue, gimana hati gue nggak hangat? Kalau Alisa masih ada, mungkin dia yang kayak gitu, bukan Lala. Tapi, yang bikin gue nggak ngerti sampe sekarang, kenapa Lala bisa sebaik dan seperhatian itu? Dia bahkan melibatkan papanya demi ‘kepastian’ tentang penyakit gue? Dia mau ngobrol juga sama Selly tentang apa yang terjadi. Kalau cuma takut jaga sendiri terus, gue rasa dia nggak harus bergerak sejauh itu. Atau mungkin ...?

"Nu, gue balik, ya. Udah dijemput. Nanti kabarin gue pokoknya."

"Iya, La. Sekali lagi makasih udah bantuin gue. Maaf gue ngerepotin."

"Es pisang ijo segerobak."

Spontan gue ketawa. Bayaran yang murah untuk pembelajaran berharga.

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
Fairytale Love
590      419     4     
Short Story
Peri? Kata orang cuma ada didongeng. Tapi bagi Daffa peri ada di dunia nyata. Selain itu, peri ini juga mempunyai hati yang sangat baik.
Fusion Taste
283      234     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Helling Dormitory
1417      867     3     
Mystery
Setelah kejadian kebakaran menewaskan ibu dan adik-adiknya, Isaura dikirim oleh ayahnya ke salah satu sekolah asrama di Bogor Di asrama barunya ia dan teman-teman yang lain dihadapkan dengan berbagai kejadian tak masuk akal.
Metanoia
3378      1263     2     
True Story
❝You, the one who always have a special place in my heart.❞
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
344      278     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Dalam Satu Ruang
205      145     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Aku Bilang, Aku Cinta Dia!
542      366     1     
Short Story
Aku cinta dia sebagaimana apa yang telah aku lakukan untuknya selama ini. Tapi siapa sangka? Itu bukanlah cinta yang sebenarnya.
Seharusnya Aku Yang Menyerah
202      169     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Angkara
1188      693     1     
Inspirational
Semua orang memanggilnya Angka. Kalkulator berjalan yang benci matematika. Angka. Dibanding berkutat dengan kembaran namanya, dia lebih menyukai frasa. Kahlil Gibran adalah idolanya.
Perahu Waktu
447      306     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu