Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Udara malam terasa dingin. Namun, Vincia merasa tetap hangat. Mungkin karena kehadiran Gohvin yang berjalan di sampingnya. Keadaan sekitar begitu tenang.

Tadi Gohvin sengaja meminta taksi berhenti di depan sebuah bangunan. Padahal tinggal berbelok sedikit di depan, mereka sudah tiba di rumah. Lelaki itu  masuk sebentar dan keluar sambil membawa buket bunga mawar putih. Jumlahnya 30 tangkai. Lebih banyak dari yang pernah Vincia terima dari Valdo.

Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di permukaan trotoar yang lembap. Vincia berjalan pelan di samping Gohvin, langkah mereka tidak tergesa di lingkungan yang tenang. Hanya suara dedaunan dan langkah kaki mereka yang terdengar. Di tangan gadis itu, buket mawar putih  dipegang erat. Wanginya samar menyatu dengan udara malam.

“Kau yakin tidak mau mampir beli es potong dulu?” tanya Gohvin seraya melangkah santai. Nada bicaranya malas seperti biasa.

Vincia menggeleng sambil tersenyum kecil. “Sepertinya, aku harus menahan uang keluar dari rekeningku selama beberapa minggu. Atau bisa-bisa kita berakhir makan mi instan setiap hari.”

“Tenang, masih ada lauk yang dibawakan Tante Hilma,” gurau Gohvin.

“Terima kasih, ya, Gohvin,” ucap Vincia, setengah berbisik. Senyumnya belum benar-benar hilang sejak makan malam tadi. “Aku tidak tahu kalau aku butuh kencan dengan diriku sendiri.”

Gohvin menoleh dengan tatapan teduh. “Kau layak lebih dari sekadar kencan, Vincia. Layak bahagia, layak dicintai, tanpa harus meminta.”

Vincia terdiam. Kata-kata itu menohok perlahan. Hatinya terasa hangat dan perih bersamaan. Detik berikutnya, pandangan gadis itu tertahan pada sosok seseorang di depan rumahnya.

Valdo.

Lelaki itu nerdiri menyandar di mobil hitam, tampak lebih rapi dari kali terakhir Vincia melihatnya. Kemeja putih bersih, rambut disisir rapi, wajahnya tampak lebih terawat.

Spontan, Vincia berhenti melangkah.

Gohvin mengikuti arah pandang Vincia.  Seketika ekspresi lelaki itu berubah dingin.

“Vincia!” panggil Valdo. Lelaki itu mendugas cepat, matanya menyipit.

Nada bicara Valdo berat dan dingin. Suara yang dulu pernah Vincia rindukan,  kini lebih mirip ancaman.

“Valdo … ada apa ke sini?” tanya Vincia.

“Harusnya aku yang bertanya. Kau dari mana saja?” Mata Valdo menajam ke arah buket di tangan Vincia, lalu memandang wajahnya. “Asyik, ya? Kencan sama laki-laki lain, sementara pacarmu menunggu di sini.”

Vincia menghela napas, mencoba tenang. “Valdo, aku bisa jelaskan.”

“Lihat ponselmu,” pinta Valdo sambil mengulurkan telapak tangannya yang terbuka.

Glabela Vincia berkerut. “Untuk apa?”

“Berikan saja, Vincia,” desak Valdo.

Denga  satu tangan, Vincia merogoh ponsel dari tas rajutnya.

Tanpa aba-aba, Valdo langsung merebut ponsel dari tangan Vincia. “Lihat, 3 panggilan dariku tidak kau jawab.”

“Aku tidak tahu,” sahut Vincia datar, “tadi sedang di jalan.”

Valdo menatapnya tajam. “Pantas saja kemarin kau hanya menjawab ‘ya. oke’ dan langsung menutup telepon. Kau pasti berselingkuh, kan?”

“Jaga ucapanmu, Valdo,” balas Vincia sambil berusaha mengambil kembali ponselnya.

Valdo mengangkat tinggi tangannya menjauh dari jangkauan Vincia. Jemari lelaki itu bergulir cepat membuka isi galeri. Di sana penuh foto Vincia di Fairy Dreamland, makan sendirian, buket bunga, pemandangan malam dari tempat yang baru saja mereka kunjungi.

Alih-alih malu dan meminta maaf karena asal tuduh, Valdo malah tersenyum separuh dengan gaya meremehkan. Ia mengembalikan ponsel Vincia. “Menyedihkan sekali, Vincia. Apa kau pergi kencan sendirian?”

Vincia menatap Valdo lama, tanpa emosi.

“Lebih baik sendiri daripada terus menunggu orang yang bahkan tidak tahu caranya menepati janji,” tutur Vinci kemudian. Suaranya tenang, tetapi terdengar lebih tajam dari makian mana pun.

Gohvin menyeringai di belakang, bersandar santai di pagar.

Valdo diam sejenak, wajahnya menegang. “Maksudnya, kau menyalahkan aku sekarang?”

Vincia menggeleng. “Aku yang salah karena selalu percaya kau akan berubah, Valdo. Jadi, aku mau kita putus.”

Sepasang netra Valdo terbelalak. Seolah-olah Vincia baru saja melempar wajahnya dengan lumpur. “Apa katamu?”

“Aku mau kita putus,” ulang Vincia dengan  dagu terangkat. “Karena aku sudah berhenti menyakiti diri sendiri cuma untuk bertahan dalam hubungan yang selama ini tidak kau anggap ada.”

“Benar. Lebih baik kita putus. Lagi pula, tadi aku memang datang untuk meminta putus.” Kasar, Valdo menyugar rambutnya. Kepalanya mendongak sebentar ke arah langit malam. “Tapi ingat, Vincia. Kau akan menyesal.”

Vincia merasakan dadanya panas, tangannya mengepal. “Silakan pergi, Valdo Kahl.”

Gohvin bersiul pelan mendengar nada tegas dari suara Vincia.

Valdo mengumpat lantas masuk ke kursi kemudi. Mobil itu melaju pergi, menyisakan asap tipis dan bau bensin yang pekat.

Sepeninggal Valdo, Vincia langsung berjongkok sambil mendekat buket. Bahunya gemetar, matanya berkaca-kaca. Pada akhirnya, ia bisa melepaskan versi dirinya yang percaya Valdo akan berubah.

Gohvin mendekat lalu menutupi bahu Vincia dengan jaketnya. Dengan lembut, ia membimbing gadis itu untuk berdiri dan masuk ke rumah.

Begitu sudah duduk di sofa ruang tamu, tangis Vincia pecah. Ternyata perpisahan yang paling melegakan adalah saat kita tidak lagi membutuhkan penjelasan.

***

 

Kala itu, Vincia masih berstatus mahasiswa baru. Meski belum lama berkuliah, gadis itu sudah menemukan tempat aman untuknya. Tempat itu sedikit tersembunyi di sisi kanan gedung fakultas, dikelilingi pohon flamboyan. Ia menemukan sebuah bangku panjang di sana saat mencari jalur tercepat menuju gerbang universitas terdekat dengan halte bus.

Sore itu usai kuliah, Vincia tidak langsung pulang. Hujan baru berhenti. Ia duduk menyendiri di bangku kayu. Di pangkuannya, sebuah buku sketsa terbuka, pensil arang menari di antara jemarinya. Garis-garis wajah yang belum selesai memenuhi halaman, bayangan seorang pemuda tanpa nama yang entah mengapa muncul di kepalanya.

Udara hangat, cahaya matahari menembus sela-sela ranting pohon, jatuh berpendar di atas rerumputan. Daun-daun kuning berguguran, ke tanah basah yang menguarkan aroma petrikor. 

Vincia menggambar tanpa suara, dunia terasa aman ketika hanya ada garis, bayangan, dan coretan-coretan tipis di kertas.

Dari kejauhan, Valdo yang tadi sempat berteduh di halte, tanpa sengaja melewati jalan itu. Lelaki itu membawa tas selempang, earphone  menjuntai tergantung di leher. Seharusnya ia bisa jalan lurus saja, tetapi langkahnya terhenti saat tatapan menangkap sosok Vincia.

Ada sesuatu di sana. Entah rambut Vincia yang diterpa angin, atau ketenangan yang terpancar dari caranya menggambar. Selama beberapa menit, Valdo hanya berdiri di sana, memandangi tanpa berani mendekat.

Ketika Vincia menyelesaikan goresan terakhir, ia mendongak. Saat itulah gadis itu baru menyadari ada seseorang yang sejak tadi berdiri memperhatikan.

‘Eh … maaf, aku … aku cuma lihat-lihat.’ Valdo buru-buru menyapa, tersenyum kaku.

Vincia menutup bukunya, sedikit kaget dan heran. ‘Eh, iya. Tidak apa-apa.’

‘Gambarmu keren,’ Valdo menunjuk buku sketsa di pangkuan Vincia. ‘Kau anak seni rupa, ya?’

Vincia mengangguk. ‘Iya, semester satu.’

‘Wah … aku Valdo. Jurusan ekonomi. Semester tiga.’ Valdo menyodorkan tangan.

Vincia sempat ragu, tapi akhirnya membalas. ‘Vincia.’

Ada jeda canggung di antara mereka. Namun, Valdo dengan cara khasnya, berhasil mencairkan suasana.

‘Sering menggambar di sini?’

‘Kadang-kadang.’

‘Boleh lihat gambarmu yang lain?’ tanya Valdo dengan senyum tipis sambil ikut duduk di bangku panjang.

Vincia mengangguk pelan. Entah mengapa, hari itu ia membiarkan seorang asing duduk di sampingnya. Bahkan orang itu membuka halaman demi halaman sketsa yang jarang ia tunjukkan pada orang lain.

Di titik itulah semuanya dimulai. Saat itu, Valdo meninggalkan kesan yang hangat di hati Vincia. Atau setidaknya, begitulah ia mengingatnya dahulu.

Sejak hari itu, mereka sering bertemu dan membicarakan banyak hal. Terkadang Valdo hanya duduk diam sekadar menonton Vincia menggambar. Rasanya ringan, tanpa beban. Seolah-olah mereka berdua ada di dunia kecil yang cuma mereka pahami.

Namun, terkadang, kenangan seperti itu perlu diingat sesekali. Supaya tidak terjebak di tempat yang sama dua kali.

***

Udara pagi masih dingin. Sisa embun menempel di kaca jendela, sementara aroma cokelat panas masih memenuhi ruang makan. Vincia baru selesai mencuci piring yang tadi dipakai sarapan.

“Serius? Kau sudah mau kembali bekerja?” tanya Gohvin dengan alis terangkat.

Vincia  mengangguk lantas mengeringkan tangan dengan handuk kecil yang tergantung. “Ya. Hidup harus tetap berjalan, lagi pula putus cinta ternyata tidak semenyakitkan itu.”

Gohvin menggeleng pelan. Senyum sinis muncul di sudut bibirnya. “Aku kira kau bakal drama seminggu, tutup tirai, menonton film sedih, makan mi instan sambil mendengarkan lagu patah hati.”

Vincia  tertawa kecil. Tangannya memainkan ujung lengan bajunya.

Gohvin ikut tergelak. “Kaget, ya? Ternyata kau lebih kuat dari yang kaupikir.”

“Gohvin, aku ingat waktu itu kau pernah bilang, kalau aku berani marah saat diperlakukan tidak adil, orang-orang tidak akan meninggalkanku seenaknya.” Vincia  menghela napas. “Tapi Valdo tetap pergi.”

Vincia terdiam sejenak. Sorot matanya melembut. “Bukan salahmu, Vincia. Orang yang tidak bisa menghargai batasan, memang tidak pantas untuk tinggal dalam hidupmu. Terkadang, kehilangan itu cara dunia memberi tahu siapa yang layak ada dalam hidup kita.”

Vincia  menunduk. “Benarkah bukan karena aku tidak cukup baik?”

“Kau terbiasa menilai dirimu dari siapa yang bertahan,” jawab Gohvin pelan, “padahal nilai dirimu tidak pernah ditentukan dari situ.”

Vincia  tersenyum getir. “Aku tidak mau kehilanganmu.”

“Tidak akan,” bisik Gohvin.

Perlahan, perasaan Vincia  mulai sedikit lebih ringan. Luka itu memang belum sembuh. Namun, untuk pertama kalinya, ia tidak lagi takut sendirian.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • juliartidewi

    Kalau minat baca penduduk Indonesia sudah tinggi, semua penulis pasti diapresiasi sehingga tidak ada lagi persaingan yang sangat ketat seperti sekarang. Setiap penulis akan memiliki karya2nya sendiri yang sudah diterbitkan karena setiap penulis akan memiliki penggemar2nya sendiri. Semoga karya Kakak sukses!

    Comment on chapter Epilog
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak 🤩

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt 😭

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier 🤩

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh 😍

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih 😭

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu 🤩

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya 🤔

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa 😂

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Diary of Rana
434      368     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Fragmen Tanpa Titik
91      84     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Senja di Balik Jendela Berembun
68      59     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Finding the Star
2673      1634     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
677      486     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Sebab Pria Tidak Berduka
264      222     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
XIII-A
1941      1263     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Metafora Dunia Djemima
250      208     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
The Unbreakable Love
116      109     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
To the Bone S2
1779      955     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...