Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Bus itu bergerak perlahan meninggalkan terminal di pinggiran kota.  Hanya sekitar separuh jumlah penumpang yang mengisi kursi. Sehingga suasana cukup lengang dan tenang. Udara di dalam bus cukup dingin bercampur wangi jeruk samar yang sedikit menimbulkan mual. Namun, Vincia mampu bertahan. Ia berfokus pada deru mesin berpadu dengan gemerisik dedaunan di luar jendela.

Vincia duduk di dekat jendela, menempelkan kening ke kaca yang terasa dingin. Gadis itu menatap jalanan yang mulai dipenuhi hijaunya pepohonan di kejauhan. Wajahnya masih agak pucat, sisa demam kemarin. Ia terpaksa izin 2 hari dari kerja sambilan.

Di sebelahnya, Gohvin duduk santai, menatap lurus ke depan. Sesekali ia menoleh, memastikan gadis itu baik-baik saja.

"Masih pusing?" tanya Gohvin memperhatikan wajah Vincia yang pucat. Nada suara tetap cuek, tetapi sorot matanya jelas terlihat khawatir.

Vincia mendengkus kecil. "Sedikit.”

“Kau yakin tidak mau pulang saja? Sepertinya kau masih terlihat lemas,” tanya Gohvin pelan penuh perhatian.

Vinci menggeleng sambil merapikan masker kesehatan yang menutupi hidung hingga dagunya.

"Seharusnya kau tidak memaksakan diri," lanjut Gohvin, “waktu itu aku menyarankan berkunjung ke rumah Tante Hilma karena tidak tahu kau akan seperti ini, tapi sekarang kondisinya berbeda.”

Vincia mengangkat bahu. “Aku cuma ingin jalan-jalan.”

“Bisa kita lakukan setelah kau benar-benar sehat, Vincia.”

Perhatian Vincia kembali ke luar. Sawah dan pepohonan seolah-olah berlari di balik jendela. Gadis itu menegakkan tengkuk, lalu menoleh ke samping.

“Gohvin, terima kasih, ya. Sudah mendampingiku dan menyadarkanku untuk kembali pada diriku sendiri,” ujar Vincia, “aku tidak tahu apa jadinya tanpa dirimu di sini.”

Gohvin berpaling menatapnya. Senyum di bibir lelaki itu tidak terlihat usil atau angkuh seperti biasa. Kali ini, tampak hangat. “Aku cuma melakukan apa yang seharusnya kaulakukan untuk dirimu sendiri.”

Vincia menunduk, meremas ujung jaketnya. “Aku pelan-pelan mau coba lebih lembut pada diriku sendiri. Tidak lagi menyalahkan orang lain ataupun diri sendiri.”

Bus terus melaju, menuju rumah Tante Hilma berada. Vincia tahu, perjalanan ini bukan sekadar berkunjung. Namun, juga langkah kecil untuk dirinya yang baru.

***

Ruangan itu nyaman, didominasi warna hangat krem dan cokelat muda. Sofa-sofa empuk berjejer di ruang tunggu. Lukisan abstrak dan tanaman hijau di sudut-sudut menghiasi dinding dan sudut ruangan. Aroma lavender samar menguar di udara. Ada rak buku penuh tentang psikologi, self-healing, dan seni.

Rencana Vincia berkunjung ke rumah Tante Hilma terpaksa batal. Bisa-bisanya ia lupa kalau ini jam aktif bekerja. Beruntung, ia menyempatkan diri untuk menelepon saat masih dalam perjalanan. Jadi, ia diminta datang ke klinik terapi milik wanita itu. Petugas resepsionis memintanya menunggu karena Tante Hilma masih ada sesi terapi.

“Itu karena kau mahasiswa tingkat akhir yang tidak punya kegiatan selain bekerja sambilan,” cibir Gohvin membuat Vincia mengerucutkan bibir.

Padahal mereka datang atas saran Gohvin.

“Tapi aku juga sudah bilang untuk tidak memaksakan diri setelah demam,” protes Gohvin sambil menoleh pada Vincia.

Vincia mengatupkan bibir di balik masker, menahan diri agar tidak berdebat. Ia takut dikira sebagai pasien rumah sakit jiwa yang melarikan diri.

Tidak lama, Tante Hilma muncul. Wanita itu berambut pendek, membingkai wajah dengan senyum lembut dan teduh. Dengan ramah, ia berterima kasih pada resepsionis lalu mengajak Vincia ke ruangannya.

Vincia duduk di sofa. Sama empuk dengan yang ada di ruang tunggu tadi. Bahkan terasa lebih nyaman daripada di kamarnya sendiri.

“Terima kasih, ya, Vincia sudah berkenan ke tempat kerja tante,” ujar Hilma sambil duduk di depan Vincia.

Vincia mengangguk kemudian meletakkan sekotak chiffon keju dalam tas kertas ke atas meja. “Ini untuk, Tante.”

“Wah, kau masih ingat kalau tante suka kue ini, ya,” ujar Hilma dengan mata berbinar. Seolah-olah yang berada di dalam tas kertas itu adalah berlian. “Terima kasih, ya, Vincia.”

Terdengar ketukan lalu pintu dibuka dari luar. Perempuan yang tadi berjaga di meja resepsionis mengantarkan tiga cangkir teh hangat. Vincia dan Gohvin berpandangan.

“Eh, bukannya tadi tamunya dua orang, ya, Bu?” Petugas resepsionis itu menyadari hal yang janggal.

Hilma tertawa pelan. “Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti Vincia minum dua cangkir, ya.”

Vincia ikut tertawa canggung dan terpatah-patah. Hingga mereka kembali ditinggalkan bertiga dalam ruang kerja tantenya. Kemudian Hilma memulai obrolan seputar kabar Vincia, proses tugas akhirnya, hingga rencana setelah lulus.

“Oh iya, sebentar lagi Vincia lulus, pernahkah terpikir menggunakan media lukisan untuk membantu orang lain?” tanya Hilma lantas menyesap teh.

Vincia mengerutkan glabela. “Maksudnya bagaimana, Tante?”

“Ada bidang namanya art therapy. Kadang manusia kesulitan mengungkapkan dengan kata-kata, tapi bisa dengan mudah melalui gambar. Aku pernah menangani anak-anak dan orang dewasa yang tidak bisa cerita apa-apa, tapi lukisan mereka seolah-olah bisa bicara,” tutur Hilma, “tante rasa, kau punya kemampuan itu, Vincia.”

Vincia menunduk sebentar. “Aku tidak tahu, Tante. Sepertinya hidupku terlalu berantakan untuk bisa membantu orang lain.”

Hilma tersenyum, tatapannya hangat. “Justru karena kau pernah merasakan luka, kau bisa lebih mudah memahami mereka.”

Gohvin yang sedari tadi diam, bersandar ke sofa sambil bersuara pelan. “Sepertinya itu akan lebih berarti daripada sekadar mendengar orang memuji lukisanmu.”

Vincia melirik sekilas ke arah Gohvin. Ada sesuatu di hati yang terasa hangat sekaligus nyeri seperti disengat. “Sepertinya begitu.”

“Kalau kau mau, tante kenal beberapa teman yang bisa diajak mengobrol tentang itu lebih jauh,” lanjut Hilma, “Tidak harus sekarang, Vincia. Coba pikirkan dulu. Kadang yang kita cari bukan panggung, melainkan ruang dan kesempatan.”

“Baik, Tante,” sahut Vincia.

“Oh, ya, kebetulan kau ke sini,” ujar Hilma lantas berdiri dan menuju meja kerjanya. Wanita itu mengambil sebuah buku bersampul hijau gelap dengan gambar kura-kura, lalu memberikannya pada Vincia. “Ini jurnal. Di dalamnya ada beberapa pertanyaan untuk lebih bisa mengenali diri sendiri, ada juga mood tracker yang bisa diwarnai sesuai suasana hatimu hari itu.”

Vincia mengangguk pelan, meremas buku jurnal di tangannya. “Terima kasih, Tante.”

Setelah obrolan ringan lainnya, Vincia berpamitan pulang. Hilma sempat bertanya apa tidak sebaiknya Vincia menginap, tetapi gadis itu menolak dengan alasan besok bekerja sambilan.

Setelah memastikan Vincia naik taksi yang ia pesan, Hilma kembali ke ruang kerjanya. Begitu pintu tertutup, seorang wanita yang mirip dengannya keluar dari bawah meja kerja.

“Dia sudah pulang?” tanya wanita itu.

“Memang kenapa, sih, Alma? Kenapa kau sengaja menghindari anakmu?” balas Hilma heran sekaligus penuh pengertian. “Padahal kalian datang kemari di hari yang sama, tanpa janjian, itu bisa menjadi pertanda untuk saling bertemu kembali, kan?”

“Aku … belum siap dengan reaksi Vincia kalau bertemu dengannya,” tutur Alma sedih.

“Memang selama ini, kau ke mana saja, sih?” tanya Hilma dengan glabela berkerut khawatir. Tadi dua saudari itu belum sampat bercerita saat tiba-tiba Vincia menelepon akan berkunjung. Waktu mereka habis untuk saling berdebat tentang Alma yang harus bersembunyi atau menemui Vincia.

“Itu … cerita yang panjang,” jawab Alma dengan jemari saling bertaut gugup.

“Kebetulan, aku ahli mendengarkan cerita panjang,” sahut Hilma kemudian duduk di sofa.

***

Semua hal terjadi bukan karena kebetulan.

Vincia memulai bekerja sore itu. Bersamaan dengan lampu-lampu jalan yang menyala otomatis satu per satu. Sif terakhir memang hanya bekerja selama 3 jam di toko, tetapi bertugas merapikan barang, mengecek stok, serta mengepel lantai. Demi toko yang bersih untuk keesokan hari.

Saat Vincia sedang merapikan beberapa novel lokal di rak, terdengar dua orang rekan kerjanya mengobrol sambil menata ulang bagian rak komik.

“Sif kemarin benar-benar beruntung,” ujar rekannya yang berambut pendek.

“Iya. Valdo Kahl datang ke sini.” Rekan lain yang bertubuh lebih tinggi, menyahuti setengah menjerit. “Katanya, acara di tempat sebelumnya batal. Jadi langsung konfirmasi ke sini sore itu juga. Untung saja masih jadwal sifku. Meski dadakan, tapi toko langsung ramai. Valdo-nya ramah dan humble. Nanti waktu perilisan komik cetaknya, kau harus datang meski bukan jadwal sifmu!”

“Kau harus telepon aku, ya.”

Vincia mengerutkan glabela sekilas. Ada sesuatu yang ganjil. Biasanya, Valdo tidak pernah suka acara dadakan. Lelaki itu terlalu perfeksionis untuk jadwal acara bertemu orang banyak.

“Kemarin Valdo juga bilang, kalau dia mencari penggemarnya yang paling setia,” lanjut gadis bertubuh tinggi itu, “katanya, mau diberikan volume lengkap Paint the Rain versi cetak.”

Vincia menelan ludah, ada perasaan ngilu yang menyeruak. Namun cepat-cepat perasaan itu digantikan lega. Bisa terbayang jelas Valdo dikerubungi penggemar, senyum pura-puranya, dan entah mengapa itu semua terasa jauh. Lebih jauh dari sebelumnya.

Dalam hati, Vincia bersyukur. Bersyukur karena bukan giliran sifnya kemarin. Bersyukur tidak perlu pura-pura ramah, atau berpura-pura baik-baik saja di hadapan seseorang yang pernah jadi dunia kecilnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Perahu Jumpa
427      336     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
158      141     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
Langkah yang Tak Diizinkan
275      220     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
DocDetec
973      531     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
Main Character
3118      1577     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Time and Tears
457      341     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
4009      1239     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Winter Elegy
930      608     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
2817      649     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Di Bawah Langit Bumi
3461      1485     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...