Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Call(er)
MENU
About Us  

Ada yang tetap hidup, meski namanya telah hilang dari ingatan. Ada yang terus mencintai, meski tak lagi diingat.

Hening. Itu yang pertama kali terasa ketika Freya membuka jendela kelas siang itu, ketika jam pelajaran telah usai beberapa menit yang lalu. Angin musim gugur membawa aroma tanah basah dan daun-daun kering yang berjatuhan perlahan dari pepohonan di halaman belakang sekolah. Sekilas, sekolah itu terlihat seperti kebanyakan sekolah umum biasa. Dengan dinding-dinding dan sejumlah meja yang dipenuhi coretan siswa dengan menggunakan tip ex, papan tulis berdebu, dan aroma kertas dari lembar tugas yang dikumpulkan di meja guru. Namun, bagi Freya, tempat ini menyimpan banyak memori terdalam, pengalaman aneh, tak masuk akal, serta menakjubkan yang lebih dari sekadar kenangan masa muda remaja biasa. Tempat ini menyimpan potongan-potongan kisahnya yang luar biasa menguras perasaan.

Sudah lima tahun sejak "Hari Tanpa Nama" itu berlalu. Lima tahun sejak dunia kembali tenang. Lima tahun sejak perpisahan yang tak pernah benar-benar terucap dan terlupakan begitu saja, serta lima tahun, sejak ia kembali dapat mengingat sebuah nama.

Kini Freya menjadi pengajar di sekolah yang dulu menjadi saksi bisu, begitu banyak keanehan, luka, dan juga keajaiban yang tak masuk akal. Ia mengajar mata pelajaran baru yang ia rancang sendiri—"Identitas dan Waktu." Untung saja, pihak sekolah mengizinkannya. Sebuah pelajaran yang tak hanya menyentuh persoalan sejarah atau filsafat, melainkan juga menggali pertanyaan paling mendasar dalam hidup, siapa kita sebenarnya jika semua yang kita ingat bisa hilang dan terlupakan?

"Bu Freya, mengapa kita belajar 'identitas dan waktu'? Ini seperti mata pelajaran aneh," tanya seorang siswa laki-laki di kelas tadi pagi, ketika Freya masuk di jam pertama. Namanya Maxwell, murid kelas dua belas yang selalu duduk paling belakang, tetapi sering mengajukan banyak pertanyaan.

Senyum Freya terkembang, ketika mengingat dengan jelas, isi kalimat pertanyaan itu. Bayangan tentang aktivitas mengajarnya sepanjang pagi tadi, kembali berkelebatan dalam ingatan. "Karena terkadang, masa depan bukan tentang ke mana kamu akan pergi ..., tapi tentang dirimu yang kelak akan menjadi seperti apa. Dan untuk menjawabnya, kamu harus tahu siapa kamu sekarang, dan seperti apa kamu di masa lalu."

Para siswa tertawa kecil. Beberapa di antaranya menunjukkan raut bingung, beberapa yang lainnya hanya manggut-manggut. Namun, satu hal Freya saksikan dari sorot mata mereka. Hampir semua siswa di kelas itu, menunjukkan ekspresi penasaran serta rasa ingin tahu.

"Bagaimana kalau identitas kita... berubah?" tanya seorang siswi bernama Xaviera, dengan suara lirih. Tampak sedikit keraguan dari nada bicara serta raut wajahnya. Namun, dia adalah salah satu siswi yang sangat berprestasi di sekolah ini.

Freya memandangnya lama, kemudian menghela napas sebelum menjawabnya. "Maka kamu akan belajar menerima. Karena perubahan bukan musuh. Ia hanya bagian dari waktu yang berjalan." Freya kembali menghela napas berat, berusaha sekuat tenaga menahan perasaan sesak yang tiba-tiba saja menyeruak. Ia mencoba menahan air matanya agar tak jatuh.

Di tangannya, Freya memegang buku bersampul kulit yang tampak lusuh tergerus waktu. 

"Jika kalian kehilangan semua kenangan kalian ..., siapa yang tersisa dalam diri kalian?" lanjutnya seraya mengedarkan pandangan, menatap satu-persatu ke wajah para siswanya yang masih tampak antusias menyimak serta memusatkan perhatian penuh pada Freya.

Seorang siswa berkacamata minus bernama Axel, memberanikan diri menjawab, seraya mengangkat tangan. Namun, nada bicaranya sedikit ragu, terdengar seperti sedang bertanya balik.. "Mungkin... tidak ada, Bu?" 

Freya tersenyum lembut. "Atau mungkin, yang tersisa adalah bagian yang paling sejati dari diri kita. Yang tak bisa dihapus oleh waktu."

Kelas itu sunyi sejenak. Hanya denting jam dinding yang terdengar. Sementara di luar, angin sepoi-sepoi menggoyangkan ranting pohon beringin yang usianya sudah semakin tua.

Hari itu adalah hari terakhir Freya mengajar sebelum libur panjang. Sore harinya, ia memutuskan berjalan ke taman belakang sekolah, tempat yang dulu sering dikunjungi bersama teman-temannya. Tempat itu kini lebih sepi. Ayunan kayu sudah mulai lapuk. Meja batu dipenuhi lumut. Namun, di bawah pohon yang paling besar, bangku tua itu masih ada. Masih berdiri dengan kokoh.

Freya duduk perlahan di sana, membuka buku bersampul cokelat yang selalu ia bawa. Buku itu tak berjudul. Tak punya nama penulis. Namun, di dalamnya, penuh puisi dan gambar-gambar yang begitu akrab, seolah-olah semuanya adalah coretan yang berasal dari tangan yang dulu sangat ia kenal.

Jemari Freya bergetar saat membuka halaman terakhir yang pernah ia baca. Di sana, sebuah puisi tertulis dengan tinta hitam yang hampir pudar termakan usia.

Biarlah dunia berputar tanpaku,
Tapi biarkan bayanganku tetap melindungimu.
Jika kau lupa, itu bukan kesalahanmu,
Karena aku memilih untuk tidak diingat.

Tangis yang telah lama tertahan akhirnya runtuh. Tanpa suara, hanya air mata yang mengalir pelan di pipinya. Seakan-akan benak Freya kini bisa menebak apa yang selama terlupakan dalam hidupnya. Seolah-olah kini hatinya mengenali seseorang yang sudah tak ada.

Ia menyentuh tulisan itu dengan ujung jarinya. Kali ini, ada getaran hangat yang menjalari kulitnya. Sebuah kehadiran yang tidak bisa dijelaskan oleh logika, tapi cukup kuat untuk membuatnya merasa ..., utuh kembali.

"Raka..." gumam Freya, meski ia tak tahu mengapa nama itu tiba-tiba muncul dalam pikirannya.

Seolah semesta mendengar bisikannya, angin berhembus lebih kencang. Halaman-halaman buku berputar sendiri. Lalu berhenti pada satu lembar halaman yang sebelumnya tak pernah ia lihat.

Pada lembaran itu, tertera tulisan tangan yang berbeda. Lebih halus. Lebih dalam. Pada halaman yang ia buka, hanya tertera sebuah kalimat yang semakin membuat dadanya sesak akibat luapan tangis yang sejak tadi tertahan.

Aku pernah ada untuk melindungimu. Dan itu cukup bagiku.

Freya terdiam. Dunia di sekitarnya membeku sesaat. Suara-suara pun seakan-akan lenyap. Seolah-olah hanya dirinya dan halaman dalam buku itu yang nyata.

Ia menutup buku perlahan-lahan. Memeluknya erat seperti tengah merengkuh seseorang yang baru saja kembali dari perjalanan panjang yang tak berujung.

"Terima kasih ...," ucap Freya lirih. Kali ini dengan senyum di bibir dan air mata yang masih terasa hangat membanjiri kedua pipi.

Waktu telah berlalu, dan tahun pun berganti sejak peristiwa yang bahkan dirinya pun tak bisa menjelaskannya. Namun, satu hal yang pasti, dunia kini telah berputar dengan stabil. Sekarang, waktu pun telah berjalan sebagaimana mestinya. Tak ada lagi distorsi, tidak ada lagi ruang pemisah, tidak ada lagi perang batin di dimensi rahasia. Namun sayangnya, tak ada yang mengingat Raka. Karena itu adalah pilihannya sendiri. Mungkin, segala hal yang ingin berjalan dengan baik, memang membutuhkan pengorbanan yang tiada tara.

Meskipun dunia tak lagi mengingat Raka dengan segala jerih payahnya, Freya adalah satu-satunya yang menyisakan ruang kosong dalam jiwanya. Ruang yang tak bisa diisi ulang oleh apa pun dan juga siapa pun.

"Kamu seperti mimpi yang hampir kuingat setiap bangun tidur," gumamnya seraya tersenyum kecil.

Freya mengusap air mata yang hendak berhamburan dengan punggung telunjuknya. Ia lantas berdiri pelan-pelan sembari menggenggam buku itu. Freya berjalan melintasi koridor sekolah. Langkah kakinya membawa ia menuju ruang seni yang kini sangat jarang digunakan. Entah mengapa, hati kecil Freya, menuntunnya ke ruangan itu. Pelan-pelan, ia membuka lebar-lebar pintunya. Suara berderit, terdengar menggema memenuhi ruangan.

Bau cat kering dan kayu tua yang memenuhi udara menyambut kedatangan Freya di sana. Pada salah satu sudut, terdapat rak berisi kanvas-kanvas yang ditumpuk tak beraturan, hingga kelihatan berantakan. Di antara tumpukan kanvas, satu di antaranya cukup menarik perhatian Freya. Entah mengapa, ia merasa cukup akrab dan terikat dengan kanvas itu. Freya menarik dan mengeluarkannya dari dalam rak perlahan-lahan. Debu tampak beterbangan memenuhi udara sekitar, membuat Freya terbatuk-batuk untuk sesaat. Namun, lukisan di atasnya masih tampak jelas, tak pudar sedikit pun meski kanvas itu terlihat sudah tersimpan dalam waktu yang cukup lama di ruangan itu.

Freya menatap takjub ke lukisan seorang gadis dengan rambut panjang yang tengah duduk di bawah pohon flamboyan yang memiliki bunga warna ungu. Di bibir mungil sang gadis, terukir seulas senyuman manis. Di sampingnya, duduk pula seorang laki-laki yang wajahnya tampak tak terlalu jelas. Namun, sorot mata lelaki itu menatap sang gadis dengan penuh kelembutan.

Freya terdiam cukup lama, seperti merasakan dejavu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Rasanya, ia seperti sangat mengenal kedua sosok dalam lukisan tersebut.

"Siapa ..., mereka?" Jemari Freya mengelus lembut permukaan kanvas, menelusuri gambar gadis dan lelaki dalam lukisan. 

Kedua matanya kini menyapu semua sudut kanvas, mencari-cari sesuatu. Tak ada tanda tangan atau nama sang pelukis yang biasanya tersemat di sudut bawah lukisan. Penasaran, Freya membalik lukisan itu. Di bagian belakang kanvas hanya terdapat petunjuk sebuah huruf, tertulis kecil di baliknya. "R."

Jemari lentiknya menyentuh gambar itu. Seketika saja, fragmen-fragmen kenangan kembali menyelinap ke dalam pikirannya seperti hujan yang jatuh pelan-pelan, kemudian semakin lama kian deras. Air mata Freya kembali berjatuhan, namun kali ini tanpa suara atau pun isakan. Ia menggenggam lukisan itu seolah-olah takut tiba-tiba saja gambarnya lenyap disapu angin. Freya mendekap lukisan itu dalam dadanya. Satu per satu kenangan yang awalnya serupa bayangan pudar, kini kembali berhamburan dan tampak lebih jelas. Bukan dalam bentuk cerita atau dialog, tetapi sebuah rasa. Rasa kehilangan tanpa nama. Rasa sayang yang tak bisa dijelaskan. Rasa bahwa ada sesuatu yang begitu penting ..., telah terenggut dari sisinya, lenyap begitu saja.

Kilatan senyuman ....
Suara yang menenangkan ....
Tangan yang pernah menggenggamnya, bersama-sama menyusuri kegelapan .... Freya kini telah sepenuhnya mengingat semua kisah panjang dan berliku yang dilalui bersama Raka.

"Raka," gumamnya lirih. Hati Freya berdesir saat bibirnya mengucap nama itu berkali-kali. Bukan hanya sekadar nama yang terucap, tetapi seluruh cerita bersamanya telah kembali merangsek dalam ingatannya.

Gadis itu jatuh berlutut, menggenggam sisi kanvas. "Kamu ..., kamu nyata. Kamu memang pernah ada .... Kita nyatanya pernah mengukir kenangan bersama ...."

Ia tertawa di sela isaknya. "Kaulah pahlawan sesungguhnya, pahlawan sejati yang rela mengorbankan diri demi menyelamatkan dunia agar berjalan dengan stabil kembali ...."

Perasaan bahagia dan duka bercampur menjadi satu. Bagai pelangi yang muncul setelah badai. Seperti menemukan rumah yang telah lama hilang. Lalu, tangisnya berganti dengan senyuman. Bukan karena telah menemukan kembali sesuatu. Namun, karena kini Freya mulai menyadari satu hal. Sesuatu yang lenyap itu, tak pernah benar-benar pergi. 

Freya kembali memandangi lukisan itu lekat-lekat. Hatinya berdetak pelan, lembut, serta penuh kedamaian. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Freya tak lagi merasa sendirian dalam menjalani sunyi, meski di dunia yang ramai. Karena kini, ia telah benar-benar mampu mengingat dengan jelas, seluruh peristiwa dan kenangan yang dilaluinya bersama Raka selama ini, seutuhnya, tanpa ada yang terlewat.

Tentang match breaker, markas Callindra, dan Raja Vergana yang konon katanya akan menghukum dan melenyapkan Freya bila ia kembali gagal menjalankan misi. Namun, Raka yang memilih untuk berkorban, telah menyelamatkan Freya dari kutukan. Ia yang semula hanya sesosok iblis pemisah jalinan cinta, kini berubah menjadi manusia seutuhnya yang memiliki rasa serta belas kasih, layaknya orang-orang yang mendiami bumi.

"Terima kasih, Raka. Aku harap, kita bisa bersama lagi di kehidupan selanjutnya atau di versi dunia lainnya ...."

Freya kembali tersenyum, bukan lagi karena meratapi kesedihan. Namun, karena akhirnya ia menyadari, meski waktu bisa menghapus jejak, cinta yang tulus akan menemukan jalannya kembali. Fragmen terakhir telah tersimpan. Dan dalam diam, cinta itu tetap hidup, melintasi waktu, kenangan, memori, serta dunia, meski pun tak lagi sama.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • baskarasoebrata

    Menarik sekali

    Comment on chapter World Building dan Penokohan
  • warna senja

    Sepertinya Freya sedang mengalami quarter life crisise

    Comment on chapter Prolog
  • azrilgg

    Wah, seru, nih

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
995      662     1     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
3141      1699     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Ellipsis
2454      1045     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
Special
1725      927     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Di Antara Luka dan Mimpi
1668      946     70     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Kreole
165      148     1     
Romance
Apa harus ada kata pisah jika itu satusatunya cara agar kau menoleh padaku Kalau begitu semoga perpisahan kita menjadi ladang subur untuk benih cinta lain bertunas
Rain
602      437     4     
Short Story
Hujan mengubah segalanya dan Hujan menjadi saksi cinta mereka yang akhirnya mereka sadari.
Aria's Faraway Neverland
4056      1397     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...
Bintang, Jatuh
4229      1750     0     
Romance
"Jangan ke mana mana gue capek kejar kejar lo," - Zayan "Zay, lo beneran nggak sadar kalau gue udah meninggal" - Bintang *** Zayan cowok yang nggak suka dengan cewek bodoh justru malah harus masuk ke kehidupan Bintang cewek yang tidak naik kelas karena segala kekonyolannya Bintang bahkan selalu mengatakan suka pada Zayan. Namun Zayan malah meminta Bintang untuk melupakan perasaan itu dan me...
The Skylarked Fate
7994      2475     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.