Pohon mangga itu masih berdiri tegak di halaman belakang rumah, meski kulit batangnya mulai berkeriput seperti tangan kakek yang gemar membelah kayu. Dedaunannya tak serimbun dulu, dan buahnya tak lagi semanis masa kecil. Tapi entah mengapa, setiap kali pulang ke rumah ini, aku selalu berjalan pelan ke belakang, berdiri di bawah pohon itu, seakan menunggu seseorang memanggil namaku dari balik dahan. Hari ini langit cerah, angin sejuk menggoyangkan daun-daun mangga yang menua. Aku menjejakkan kaki di atas tanah merah yang masih lembap sisa hujan semalam. Di bawah pohon itu, ada bangku kayu tua yang dulu dibuat Ayah. Bangku yang pernah jadi markas rahasia kami: aku, Damar, dan Wira.
Tiba-tiba aku ingin menggali kembali serpihan masa lalu yang pernah kami kubur bersama di bawah akar pohon ini. Sebuah kaleng bekas biskuit, berisi surat-surat dan kenangan yang kami cap sebagai "rahasia paling penting dalam hidup"—meskipun waktu itu kami masih kelas lima SD dan belum tahu benar arti rahasia.
Aku jongkok, menyibak rerumputan yang tumbuh liar. Tanganku menyentuh tanah, dan rasanya seperti menyentuh nadi sendiri. Aku menggali perlahan dengan tangan kosong, membiarkan kukuku kotor, membiarkan debu masa lalu menempel di jemari. Lalu—klik!—tanganku mengenai sesuatu yang keras dan familiar. Kaleng biru itu masih di sana. Penyok, karatan, tapi utuh. Jantungku berdebar tak karuan, seperti pertama kali aku menyimpan surat cinta pertama untuk Wira—yang, tentu saja, tidak pernah aku akui hingga sekarang.
Aku membuka tutup kaleng dengan hati-hati. Isinya? Sebuah boneka kecil dari kain flanel yang dulu dibuat Damar. Sepotong pita merah dengan huruf "D" yang kami curi dari baju seragam sekolah. Dan tiga gulungan kertas yang kami ikat dengan benang.
Surat pertama, tulisan Wira: "Kalau kita udah gede, jangan lupa main di bawah pohon ini lagi ya. Jangan jadi orang dewasa yang sibuk dan lupa temennya. Aku pengin kita tetap temenan, selamanya."
Surat kedua, tulisan Damar:"Aku pengin jadi astronot. Tapi kalau nggak bisa, aku cukup seneng bisa naik motor keliling kampung sama kalian. Jangan lupa aku ya. Aku orangnya emang nggak banyak ngomong, tapi aku sayang kalian."
Surat ketiga, tulisanku sendiri: "Kalau nanti kita pisah, dan nggak ketemu lagi, aku harap kalian baca surat ini dan inget: kita pernah ketawa sampai nangis di bawah pohon ini. Kalian dua orang paling penting dalam hidupku. Aku janji, aku akan kembali ke pohon ini. Nanti."
Mataku berkaca-kaca. Aku bahkan lupa pernah menulis itu. Tapi di sinilah aku, kembali. Meski Wira sekarang tinggal di kota lain dan tak pernah lagi mengangkat teleponku. Meski Damar... Damar sudah tiada. Tangisku tumpah. Bukan hanya karena rindu, tapi karena rasa bersalah yang tak pernah selesai. Karena aku tak ada di sini waktu Damar sakit. Karena aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Langkah kaki membuatku menoleh. Ibu berdiri di ujung halaman, tersenyum samar. "Masih ingat rahasia kalian?" katanya pelan.
Aku mengangguk, mencoba tersenyum. "Masih, Bu. Dan aku baru sadar... yang paling menyakitkan dari rahasia itu bukan karena ia disembunyikan, tapi karena kita nggak pernah sempat membicarakannya lagi." Ibu duduk di sebelahku, memandangi kaleng karat yang kini terbuka. "Damar dulu sering duduk di sini. Waktu kamu pergi merantau, dia yang paling sering nanya kapan kamu pulang."
Aku terdiam. Kalimat itu menghujam lebih dalam daripada yang bisa kulukiskan. "Kenapa dia nggak pernah bilang?"
"Karena dia tahu kamu sedang mengejar sesuatu yang penting. Dan dia nggak mau jadi alasan kamu berhenti. Tapi dia menunggumu, tiap hari. Kadang duduk di bangku ini sampai malam. Kadang cuma menatap pohon mangga ini seperti sedang ngobrol sama kamu." Aku menutup kaleng itu kembali. Tapi kali ini, bukan untuk menyembunyikan, melainkan untuk menyimpan lagi—dengan cara yang berbeda. Dengan rasa yang lebih dalam.
"Aku pengin bikin surat baru," kataku.
Ibu tersenyum. "Tulis saja. Biar pohon ini yang jaga rahasia kalian." Aku merobek halaman dari buku catatan yang selalu kubawa, menulis pelan.
"Damar,
Maaf karena terlalu lama pergi. Maaf karena tidak kembali saat kamu masih menunggu. Tapi aku di sini sekarang. Dan aku akan menjaga apa yang pernah kita janjikan di bawah pohon ini. Aku nggak akan lupa tawa kita. Nggak akan lupa kamu. Terima kasih sudah tetap percaya, bahkan waktu aku sendiri hampir lupa.
Temanmu, selamanya,
Anya."
Aku melipat kertas itu, memasukkannya ke dalam kaleng. Lalu menguburnya kembali dengan perlahan. Tanah itu kini menjadi tempat beristirahat, bukan sekadar tempat persembunyian rahasia masa kecil. Pohon mangga itu, meski tua, tetap berdiri. Seperti kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. Dan kadang, rahasia yang tersimpan di bawah tanah bisa lebih jujur daripada kata-kata yang kita ucapkan di permukaan. Sore itu, langit menguning pelan. Aku menatap langit, mencoba mencari bayangan Damar di sela-sela awan. Tak ada. Tapi ada sesuatu yang hangat di dada. Bukan karena kehilangan, tapi karena aku merasa ditemukan kembali. Dan mungkin, itulah arti pulang yang sebenarnya.
Pulang ke pohon tempat segalanya bermula. Pulang ke janji yang belum selesai. Pulang untuk membuka kembali rahasia yang sebetulnya hanya ingin didengar. Pulang untuk memberi tahu seseorang yang telah pergi, bahwa ia tak pernah dilupakan. Dan di bawah pohon mangga itu, aku berjanji untuk tidak pergi terlalu lama lagi.