Loading...
Logo TinLit
Read Story - No Longer the Same
MENU
About Us  

Sejak malam itu, ibu Anisa mendengar percakapan aku dengan ayah, sesuatu dalam diriku retak. Rumah ini, tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman, berubah menjadi ruang penuh luka. Ibu Anisa mengurung diri di kamar, tak lagi menyapa siapa pun. Ayah, yang biasanya cuek tapi tetap hadir, kini malah seperti orang asing. Mereka menjadi dua kutub dingin yang saling menjauh.

Pagi itu, adzan Subuh membangunkanku lebih dulu daripada alarm. Namun, alarm tetap berbunyi keras, mengingatkanku akan rutinitas yang kini terasa asing. Aku bangkit dari tempat tidur, duduk sejenak sambil menatap langit-langit kamar. Rumah ini... terlalu sepi.

Tak ada aroma masakan. Tak ada suara ibu memanggil. Tak ada denting piring atau sendok. Semuanya hening. Terlalu hening.

Aku melangkah keluar, berwudhu di keran belakang rumah. Airnya dingin, menusuk kulit, tapi masih lebih hangat dibanding suasana di dalam. Usai shalat Subuh, aku tak langsung beranjak. Sajadah menjadi tempatku bersandar, tubuhku merebah, dan tanpa sadar aku tertidur.

Sinar matahari pagi membangunkanku. Mataku masih berat, tapi suara Salsa membuatku terjaga sepenuhnya.

"Kak Hafa, Ibu di mana?" tanyanya sambil menguap, rambutnya masih berantakan.

Aku menatap wajah adikku yang polos. Ingin rasanya menjawab jujur. Tapi aku hanya menggeleng, "Nggak usah ke kamar Ibu dulu ya. Ibu lagi capek."

"Aku lapar, Kak. Nggak ada makanan?"

Aku menggigit bibir. Menghela napas dalam. Cuma ada dua puluh ribu di dompetku. Tapi aku tahu, Salsa harus makan.

"Ayo, kita cari bubur ayam, ya. Yang deket rumah Bu Siti, langganan kita."

Dia mengangguk semangat. Kami berjalan menyusuri perumahan yang masih sepi. Jalanan basah bekas hujan semalam. Bau tanah dan udara pagi sedikit menenangkan. Warung Bu Siti masih sama, hangat dan bersahabat. Kami duduk, makan bubur hangat dengan lahap. Salsa tertawa kecil saat buburnya terlalu panas.

"Aduh, lidahku kebakar!" katanya sambil menjulurkan lidah. Aku ikut tertawa, meski hati terasa nyeri.

Saat kami pulang, tawa itu sirna. Dari dalam rumah, terdengar suara keras.

"Kau masih berani ketemu dia? Dasar laki-laki nggak tahu diri!"

Suara Ibu. Lalu terdengar benda pecah, diikuti jeritan Ibu.

Aku menghambur masuk, menarik tangan Salsa, "Keluar dulu, ya. Ke rumah tetangga. Jangan lihat."

Matanya membesar, takut. Tapi dia menurut. Aku kembali ke dalam. Ayah mendorong Ibu hingga jatuh ke lantai. Wajah Ibu penuh memar. Aku tak tahan.

"Ayah! Stop! Kenapa Ayah kayak gini?! Kami lihat semuanya!" suaraku bergetar, mataku panas.

Ayah mematung, tapi tak berkata apa pun. Ibu menangis tersedu, dan aku hanya bisa berdiri di antara mereka, seperti pecahan kaca yang tak bisa disatukan lagi.

Malamnya, rumah kembali sunyi. Ibu keluar, entah ke mana. Ayah pergi juga. Hanya aku dan Salsa di kamar. Dia memelukku.

"Aku takut, Kak. Ibu dan Ayah kenapa?"

Aku menahan tangis. "Nggak apa-apa. Kita masih punya satu sama lain."

Tapi uangku habis. Aku nekat menelpon Abang. Saat dia datang, aku ceritakan semuanya. Wajahnya menegang, tapi tak terkejut.

"Aku udah sering lihat Ayah kayak gitu. Dari dulu. Kamu baru tahu sekarang, Haf."

Aku tercekat. Abang marah, tapi dia tetap membuka pintu rumahnya. Selama beberapa hari, aku dan Salsa bolak-balik ke rumah Abang. Di sana, kami bisa makan, bisa tidur tanpa ketakutan. Tapi aku tahu, hidup Abang pun berat. Anaknya banyak, rumah sempit, penghasilannya pas-pasan.

"Haf, bantuin jaga anak-anak, ya," katanya.

Aku mengangguk. Aku nggak minta banyak. Asal Salsa aman.

Tapi saat pulang ke rumah, keadaan sama saja. Ayah dan Ibu seperti dua patung yang saling diam. Tak ada sapa, tak ada tanya. Rumah ini... bukan rumah lagi.

Aku sering berlama-lama duduk di depan jendela. Menatap pohon jambu yang daunnya mulai menguning. Suara motor ayah pulang kerja terdengar setiap sore, tapi tak lagi membuat jantungku tenang.

Salsa tetap ceria, walau matanya sering menatapku lama. "Kak, kita bakal selalu bareng, kan?"

Aku peluk dia erat. "Iya. Selalu."

Seminggu libur semester ini bukan tentang istirahat. Tapi tentang bertahan. Menahan luka-luka yang terus menganga. Mencoba tetap waras meski rumah ini seperti penjara. Aku bolak-balik ke rumah Abang, bantu jaga keponakan, bantu cuci piring, masak, bersih-bersih. Aku nggak mau jadi beban. Tapi tetap saja, malam datang dengan perasaan sesak.

Suatu malam, saat Ibu duduk di ruang tengah, aku dekati dia. Matanya sembab, bibirnya pucat.

"Bu... Hafa sayang Ibu. Tapi jangan diem terus. Salsa butuh Ibu juga."

Dia menoleh, menyentuh tanganku. "Ibu bingung, Nak. Ibu sakit hati. Tapi Ibu juga nggak bisa pergi ninggalin kalian."

Aku menahan air mata. "Kalau Ibu nggak kuat, biar Hafa yang kuat. Tapi tolong, jangan berhenti jadi Ibu."

Dia menangis pelan. Dan untuk pertama kalinya, kami berpelukan.

Tapi pelukan itu tak menyembuhkan semuanya. Rumah ini tetap dingin. Ayah tetap tak bicara. Setiap malam, aku masih mendengar bisikan pertengkaran. Kadang keras. Kadang hanya tangisan.

Aku belajar menyembunyikan luka. Di hadapan Salsa, aku tersenyum. Di hadapan Ibu, aku kuat. Di hadapan Ayah, aku diam.

Dan di hadapan diriku sendiri? Aku cuma ingin bertahan. Sebab, saat semua orang menyerah, aku harus tetap hidup. Untuk Salsa. Untuk diriku sendiri.

Meski rumah ini tak lagi sama.

---

Aku kembali ke rumah Abang sore itu, dengan langkah pelan dan hati yang masih sesak. Udara panas menyengat kulit, debu-debu dari jalanan beterbangan, dan mataku lelah menatap jalanan panjang yang seperti tak kunjung habis. Di tanganku, plastik hitam berisi beberapa potong roti dan dua botol air mineral yang kubeli dari uang sisa abang kemarin. Sementara di belakangku, Salsa mengekor sambil menggandeng bajuku.

Setibanya di rumah Abang, suara anak-anak kecil menyambut kami. Suara tangis, tawa, dan teriakan saling bertumpuk. Rumah abang tidak luas, hanya rumah petak dua kamar dengan ruang tengah kecil yang dijadikan tempat tidur tambahan. Tapi suasananya terasa lebih hidup meski sederhana.

"Udah pulang, Fa?" suara kakak iparku menyambut dari dapur. Matanya tampak sembab, mungkin karena begadang atau kelelahan mengurus empat anak.

"Iya, Kak. Tadi sempet mampir beli roti buat anak-anak juga," jawabku sambil tersenyum. Aku tahu, kakak iparku pasti memikirkan banyak hal. Hidup di tengah keterbatasan, dengan anak-anak yang masih kecil dan suami yang kerja serabutan.

Aku masuk ke kamar sempit tempat aku dan Salsa tidur bersama anak perempuan mereka. Tikar sudah digelar, bantal tipis tergeletak sembarangan. Salsa langsung merebahkan diri, tampak lelah. Aku duduk di sudut, meletakkan plastik belanja dan mengusap wajahku yang basah oleh peluh.

Malam itu, abang pulang lebih larut. Wajahnya terlihat kusam, jaket lusuhnya terlipat di tangan. Ia hanya duduk sebentar, membuka kaos kakinya, lalu berkata pelan, “Besok pagi lo bantuin gue ya, Fa. Ngantar barang ke gudang belakang pasar. Ada yang butuh tenaga bantu.”

Aku mengangguk pelan. "Iya, Bang."

Abang menatapku sesaat. Matanya menyorotkan sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran lelah, iba, dan marah yang belum selesai.

"Aku masih kepikiran sama ibuk nisa. Sama bapak juga. Kamu kuat, Fa?"

Aku terdiam sejenak. Menatap lantai yang dingin dan kosong. "Aku nggak tahu harus jawab apa, Bang. Yang jelas... Aku cuma pengen Salsa jangan sampai ngeliat hal kayak tadi lagi."

Abang menghela napas panjang. Ia tak menjawab. Hanya mengusap wajah dengan tangan kasarnya dan masuk ke kamar.

---

Beberapa hari berlalu di rumah abang, dan aku mulai terbiasa dengan rutinitas barunya. Bangun pagi sebelum Subuh, bantu bersih-bersih rumah, belanja ke warung, mengasuh keponakan, dan sesekali ikut abang bekerja sebagai kuli angkut barang. Tubuhku mulai letih, tapi pikiranku jauh lebih lelah.

Ada malam-malam saat aku duduk di beranda rumah abang, sendirian, menatap langit yang kelabu. Aku berpikir, apakah ini yang namanya bertahan? Apakah semua luka akan hilang seiring waktu, atau justru makin menumpuk dan jadi karang di dada?

Salsa kadang menangis di malam hari. Katanya ia mimpi buruk—mimpi tentang ibu dan ayah yang saling berteriak, saling memukul. Aku hanya bisa memeluknya, mengelus rambutnya, dan berkata, “Salsa aman di sini. Sama Kakak.”

Di balik semua itu, aku mulai kehilangan arah. Di rumah Abang, aku punya tempat untuk tidur dan makan, tapi tidak ada ruang untuk mimpi. Uang jajan sudah tak ada, kebutuhan pribadi seperti pembalut atau sabun mandi hanya bisa dibeli kalau kakak ipar memberi sisa belanja. Aku mulai terbiasa menahan.

Suatu sore, saat aku dan Salsa baru pulang dari musala, kami duduk di depan rumah. Sinar matahari senja menyapu jalanan, dan suara azan berkumandang dari kejauhan. Tiba-tiba, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Sarah.

"Fa, gimana kabarnya? Gue kangen" 

Aku membaca pesan itu dengan dada menghangat. Rasanya seperti diingatkan bahwa aku masih punya dunia di luar rumah yang berantakan ini. Tapi bagaimana bisa aku kembali ke sekolah dengan pikiran dan tubuh yang hancur begini?

"Gue kangen juga, Rah. Tapi keadaan rumah lagi gak baik-baik aja." 

---

Keesokan harinya, aku pulang sebentar ke rumah. Rumah itu tak banyak berubah. Sepi, dingin, dan penuh bayang luka. Ibu Anisa tidak menyapaku saat aku masuk. Ia hanya duduk di kursi ruang tamu dengan pandangan kosong ke arah jendela. Ayah pun tak ada. Mungkin bekerja atau mungkin menghindar.

Aku berjalan ke dapur. Kosong. Tidak ada aroma masakan, tidak ada suara kompor menyala seperti dulu. Aku membuka lemari makanan, hanya ada beberapa mi instan dan satu kantong beras kecil.

"Ibu..." aku mencoba bersuara.

Tak ada jawaban.

Aku mendekat, duduk di sebelahnya. “Aku cuma mau ambil beberapa baju, Bu. Sama buku pelajaran. Aku masih bolak-balik ke rumah Abang.”

Ibu mengangguk pelan. Tapi tak ada kata keluar dari mulutnya.

Aku ingin memeluknya. Tapi ada jurang yang belum bisa kupijak. Seolah tubuh ibu berubah jadi dinding dingin yang tak bisa kutembus.

Salsa menarik bajuku dari belakang. "Kak, ayo. Udah ambil bajunya?"

Aku mengangguk. Kami kembali ke kamar, dan aku memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas. Kutatap kamar itu. Dindingnya yang pudar, lemari tua, dan kasur tipis yang dulu kami tiduri bertiga. Rasanya, rumah ini bukan lagi rumah. Ia hanya bangunan yang menyimpan terlalu banyak suara luka.

---

Malam itu, di rumah abang, aku duduk bersama kakak iparku. Ia sedang melipat baju anak-anak, dan aku hanya duduk sambil memandangi piring kosong.

"Fa," katanya pelan, "kamu harus tetap sekolah, ya. Jangan sampai kejadian ini bikin kamu berhenti mimpi."

Aku mengangguk, tapi tak ada suara dari mulutku.

"Aku tahu, mungkin di rumah ini juga kamu merasa sempit. Tapi aku harap kamu tahu, kami sayang sama kamu. Meski kami nggak bisa kasih semuanya."

Aku tersenyum kecil. "Aku tahu, Kak. Makasih..."

Kami diam. Hanya suara anak-anak dari kamar sebelah dan nyanyian jangkrik yang terdengar.

Aku tahu hidup takkan mudah. Tapi mungkin, dari rumah sempit ini, aku bisa mulai membangun kembali jiwaku yang hancur. Aku akan tetap bolak-balik—dari rumah yang dingin ke rumah yang hangat tapi sempit. Dan di antara dua dunia itu, aku akan bertahan, setidaknya... untuk Salsa.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warisan Tak Ternilai
988      477     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Kainga
2836      1445     13     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
JUST RIGHT
202      174     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Let Me be a Star for You During the Day
1625      926     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Pasal 17: Tentang Kita
181      94     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Je te Vois
2164      1201     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Segitiga Sama Kaki
1888      895     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
82      73     1     
True Story
Sweet Like Bubble Gum
2644      1553     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Trust Me
102      93     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...