Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unframed
MENU
About Us  

Pagi ini, aroma espresso menjadi hal pertama yang menyambut kedatangan Abimanyu. Dari balik mesin kopi, gadis itu tampak sibuk. Rambut panjangnya diikat naik menyerupai donat, dengan rambut-rambut halusnya yang jatuh mengenai pelipisnya. Ketika Abimanyu mengambil momen itu sebagai footage, ia kembali dibuat jatuh cinta. Mata Andin selalu berbinar ketika dirinya berhadapan dengan kopi.

Andin membuka Ruang Temu atas dasar kecintaannya pada kopi. Katanya, ia bahkan lebih mencintai kopi daripada hidupnya sendiri. Selama dua tahun terakhir, Andin terus menceritakan soal keinginannya untuk membuka kafe ini— lengkap dengan konsep yang ingin ia pakai hingga detail terkecil, kepada siapa saja yang dekat dengannya. Hingga ketika salah satu sepupunya telah menyelesaikan pendidikan kuliner di Le Cordon Bleu Australia, Andin memutuskan untuk mengajaknya membangun kafe ini bersama. Andin bahkan rela menjual mobil yang diberikan oleh ayahnya sebagai hadiah ulang tahun, demi terwujudnya keinginan itu. Abimanyu masih mengingat dengan jelas, bagaimana Andin pernah meneleponnya pukul satu dini hari hanya untuk mengatakan, “aku kayaknya harus jual mobil, deh, Bi. Aku nggak mau kafe ini cuma sekedar keinginan yang nggak pernah aku coba buat perjuangkan.”

Bagi Abimanyu, Ruang Temu bukan hanya sekedar kafe— ia merupakan sebuah potongan kecil dari dunia Andin. Kafe itu terdiri dari beberapa bagian yang berbeda. Ia membuat satu ruang tertutup untuk anak-anak sekolah, mahasiswa, dan para pekerja remote yang membutuhkan ketenangan untuk menyelesaikan tugas mereka. Di samping ruangan itu, ada sebuah ruangan tertutup lain yang tersedia gramophone di dalamnya. Andin membangun ruangan itu sebab ayahnya jatuh cinta pada piringan hitam sejak beliau masih sangat muda. Di ujung ruangan dekat meja barista, ada sebuah spot homie yang diisi dengan sofa-sofa nyaman dan dikelilingi oleh rak-rak yang penuh dengan buku bacaan. Tidak hanya itu, ia juga menyediakan outdoor area di bagian belakang dengan banyak tanaman hias, khusus untuk mereka yang gemar merokok.

Setiap sudut Ruang Temu mencerminkan tentang Andin, dan Abimanyu merasa tidak ada tempat di dunia yang ia kenal sebaik ini.

Abimanyu masih setia berdiri di dekat pintu sambil memegang kameranya. Dan ketika Andin akhirnya menyadari keberadaan Abimanyu, sudut-sudut bibirnya terangkat. Gadis itu berlarian kecil menuju Abimanyu yang masih setia menatapnya.

“Aku udah nemuin formula yang pas, Bi. Kamu ingat latte yang pernah aku minum  di Blok M, nggak? Yang aku bilang nggak ada tandingannya itu, loh.”

Abimanyu mengangguk sebagai jawaban, dan tersenyum sambil memperhatikan wajah Andin di layar kameranya.

“Aku udah dapet rasa yang mirip. Nggak sama persis, sih. Tapi boleh, lah, diadu,” kata Andin, sambil berjalan kembali ke meja mesin kopinya. “Kamu pasti bangga, deh, sama aku. Nggak sia-sia, kan, aku ikut kelas kopi yang harganya selangit itu? Aku bahkan sampe ngehemat skin care sama make up-ku demi ikut kelas itu, loh, Bi!”

Benar, kan? Kalau sudah soal kopi, Andin bisa berubah menjadi dua kali lebih semangat dibanding biasanya. Dan Abimanyu selalu menyukai bagaimana kekasihnya itu selalu melibatkan dirinya di setiap perjalanan yang ia tempuh.

“Kamu harus stop ngerekam, deh! Sini, cobain kopi buatanku,” protes Andin.

Abimanyu tertawa pelan, lalu mematikan kamera sebelum akhirnya ia mendekat ke salah satu meja dan duduk di sana. Ia menopang dagunya dengan punggung tangan, sambil memperhatikan Andin yang sedang menuangkan susu pada gelas yang sudah terisi espresso.

Hingga beberapa saat kemudian, Andin mendatangi meja Abimanyu dengan dua gelas kopi latte di tangannya. Setelah menghirup aroma kopi yang ada di tangannya, Abimanyu mulai mencicipinya. Ia mengangguk beberapa kali, sebelum akhirnya mengulas senyum.

Abimanyu menyukai kopi buatan Andin.
Abimanyu menyukai segala hal tentang Andin.

Mereka menikmati kopi masing-masing dalam hening yang nyaman, dengan alunan musik jazz lirih yang terdengar dari pengeras suara di ujung ruangan.

“Din,” panggil Abimanyu memecah keheningan. “Aku baru sadar, deh. Aku belum pernah tanya soal alasan kamu masuk psikologi, ya?”

Untuk beberapa saat, Andin sempat terdiam. Ia menghela napas sebelum akhirnya mengulas senyum tipis.

“Mau nyalain kamera, nggak?” tanya Andin tiba-tiba, hingga membuat Abimanyu kebingungan. “Kamu butuh pembuka dokumenter itu, kan? Kayaknya perkenalan singkat dan cerita soal kenapa aku pilih jurusan ini bakal jadi opening yang oke, nggak, sih?”

“Kamu nggak keberatan?” Abimanyu mencoba untuk meyakinkan Andin sekali lagi. Dan di hadapannya, Andin mengendikkan bahu.

“Kenapa harus keberatan? I’m totally fine,” katanya kemudian.

“Oke.” Abimanyu mengangguk.

Sementara Abimanyu sedang menyalakan kamera, Andin merapikan penampilannya. Ia membuka ikatan pada rambutnya, dan membiarkan rambut kecoklatan itu tergerai panjang.

"Aku mulai, ya," kata Abimanyu, yang kemudian dijawab anggukan singkat oleh Andin.

“Kamera, rolling. Dokumen empat belas mei, wawancara pertama.” Abimanyu menyorot Andin yang duduk manis sambil tersenyum menatap kamera. “Udah siap?” katanya, yang lagi-lagi dijawab anggukan singkat.

“Oke. Pertama, kamu bisa perkenalkan diri dulu.”

“Santai kan ini, Bi? Nggak perlu formal?” tanya Andin. Entah mengapa, begitu ia tahu bahwa Abimanyu sedang merekamnya, Andin merasa gugup secara tiba-tiba.

Sementara di balik kamera, Abimanyu terkekeh sebentar. “Santai aja, Din.”

“Oke,” kata Andin, sambil sekali lagi merapikan rambutnya. Ia berdehem sebentar, sebelum akhirnya mulai bersuara, “Hai! Aku Andin, mahasiswi psikologi. Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi mari kita mulai dari hal sederhana dulu. Aku suka kopi. Bahkan kalau ditanya hal apa yang paling aku suka dalam hidup, kayaknya jawabannya bakalan kopi. Aku suka baca-baca buku sambil minum segelas latte dingin."

Sekali lagi, Andin terkekeh. “Aneh nggak, sih, Bi?”

Dan dari balik kameranya, Abimanyu menggeleng. Ia mengangkat ibu jarinya sambil tersenyum. “Buku apa yang belakangan ini lagi kamu baca?”

A Man Called Ove, karya Fredrick Backman. Sebenarnya, buku ini udah aku baca berkali-kali. Aku banyak nangis waktu baca buku itu. Kali kedua dan ketiga aku baca ulang buku itu, aku tetep nangis. Jadi kalau ada orang yang minta aku untuk merekomendasikan satu judul buku, aku bakalan langsung jawab A Man Called Ove.

“Emang, isinya soal apa?”

“Hmmm …” Andin tampak berpikir sejenak. “Soal laki-laki berusia 59 tahun yang terkenal galak, menyebalkan, perfeksionis, pokoknya isi hidupnya banyak marah-marah, deh. Namanya Ove. Tapi orang-orang nggak tahu, kalau Ove tuh sebenernya laki-laki yang lagi kesepian. Dia lagi berjuang melanjutkan hidup setelah kehilangan isrinya. Eh, ini kenapa jadi ngomongin buku?”

Abimanyu dan Andin tertawa bersamaan.

“Oke. Kalau gitu, kenapa kamu milih untuk ambil jurusan psikologi?”

“Karena aku butuh pertolongan.” Andin tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan. “Banyak yang bilang kalau mahasiswa psikologi tuh justru lagi mencari pertolongan untuk dirinya sendiri. Sambil menyelam minum air. Sambil belajar, sambil menyembuhkan diri.”

Hening. Untuk beberapa saat, Abimanyu kehilangan kata-kata. Hingga ketika Andin memanggil namanya, Abimanyu berdehem dan menegakkan punggungnya.

“Oke, sorry,” katanya. “Terus, pertolongan yang kamu maksud itu, apa udah berhasil kamu dapetin?”

Andin mengangguk. “Setelah berkali-kali studi kasus, aku akhirnya mulai belajar kalau nggak ada manusia yang bisa terlepas dari luka. Entah dari keluarga, lingkungan pertemanan, atau mungkin dari hubungan asmaranya. Satu-satunya pilihan yang kita punya, ya, menerima luka itu. Menerima kalau semua luka itu layak dirawat, bukannya dipendam dan berakhir membusuk.”

“Jadi,” lanjut Andin. “Sebelum aku menyarankan untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan luka ke orang lain, aku harus mulai menerima lukaku sendiri, kan?”

"Luka yang ada di dalam sini, tuh," Andin menunjuk dadanya. "Akan semakin terasa kalau kamu coba untuk menyangkal. Time will heal cuma berlaku kalau kamu mau berdamai dengan keadaan yang terlanjur nggak bisa kamu ubah. Sambil memperbaiki diri, sambil belajar, dan sambil terus mencari hal-hal baik, pada akhirnya kamu akan menemukan penyembuhan itu."

“Kamu bahagia, nggak, menjalani pendidikan yang lagi kamu tempuh ini?”

Andin mengangguk. “Aku seneng bisa menyelami isi pikiran orang, dan bantu menguraikan kekhawatiran mereka satu-satu. Aku bahagia bisa lihat orang yang akhirnya bisa berdamai dengan hidupnya.”

“Terlepas dari pelajaran-pelajaran di kampus yang udah kamu dapetin, apa yang akhirnya mengubah cara pandangmu soal hidup?”

“Ini mungkin nggak masuk akal dan terdengar mengada-ada,” sahut Andin sambil terkekeh. “Tapi jawabannya adalah buku yang aku sebutkan tadi. A Man Called Ove. Buku itu ngajarin aku kalau setiap orang yang kelihatan nyebelin, galak, anti sosial, atau keras kepala tuh mungkin sebenarnya cuma seseorang yang lagi kesepian, atau lagi berduka. Kadang kita terlalu cepat nge-judge orang dari luar, tanpa tahu luka apa yang mati-matian lagi mereka pendam dalam-dalam.”

“Ove misalnya,” kata Andin lagi. “Di awal, dia kelihatan kayak bapak-bapak keras kepala, nggak bisa move on dari masa lalunya, dan ogah menerima perubahan. Dia udah kayak orang paling menyebalkan di dunia." Andin tertawa pelan. "Tapi, semakin aku baca, semakin aku mengenal dia, aku sadar kalau sikap dia semacam mekanisme pertahanan, karena dia lagi struggle untuk keluar dari dukanya.”

“Pertama kali aku menyelesaikan buku itu aku juga sadar, kalau kadang hadir untuk orang lain, tuh, udah cukup untuk bikin mereka bertahan satu hari lagi. Jadi kalau kamu, aku, kita— lagi ngerasa hidup nggak berarti atau nggak penting, coba lihat dari kacamata Ove. Mungkin kamu juga sama kayak dia, nggak sadar kalau kehadiranmu justru bisa jadi penyelamat buat orang lain.”

Kini Abimanyu benar-benar telah kehilangan seluruh kata-katanya. Alih-alih menanyakan beberapa hal lain yang sempat terpikir, Abimanyu justru tersenyum dan mengangkat ibu jarinya. Ia lalu menghentikan rekaman dan mematikan kamera.

Hari ini, Abimanyu akhirnya menyadari bahwa ia tidak cukup mengenal kekasih yang telah bersamanya tiga tahun terakhir ….

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tumbuh Layu
698      433     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
1633      684     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
The Best Gift
52      49     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Mimpi & Co.
1963      1131     3     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Ruman Tengah Jalan
761      455     3     
Horror
SURAT CINTA KASIH
601      435     6     
Short Story
Kisah ini menceritakan bahwa hak kita adalah mencintai, bukan memiliki
Under a Falling Star
1134      653     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
Warna Untuk Pelangi
8780      1852     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Kelana
1238      788     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
Pasal 17: Tentang Kita
157      73     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....