Bukan pagi yang menyambut mereka, melainkan kerja. Suara panci beradu di dapur, kain jemuran dipukul angin, dan sandal seret ibu-ibu yang lewat depan vila jadi penanda bahwa hari sudah punya daftar sendiri.
Roni duduk di serambi, membuka buku agenda lusuh milik almarhum ayahnya. Halaman “Kelas Sabtu: Mengenal Daun” ditandai dengan daun jambu yang sudah mengering. Ia menulis jadwal kecil dengan tulisan miring-miring: gelas bekas—sudah; bibit jambu—minta ke Pak Saman; pagar hidup—rapat ulang.
“Mas kota sudah jadi pegawai desa,” suara Ahyi datang dari halaman, setengah menggoda, setengah menilai. Rambutnya diikat seadanya, ada bekas tanah di telapak tangannya—bukti pagi bukan untuk kosmetik.
“Pegawai yang gajinya dibayar nasi uduk,” sahut Roni, tak menoleh. “Tapi kita mulai dari kecil. Sabtu ini, kalau ibu-ibu setuju.”
Ahyi mengangkat dua gulung rafia dari bakul. “Setuju gampang. Yang susah jamnya. Jangan ganggu hari pasar.”
Roni mengacungkan buku agenda. “Sudah kutulis. Sabtu jam delapan, selesai sebelum setengah sebelas. Habis itu anak-anak boleh magang jadi penawar cabe di pasar.”
Ahyi hanya tersenyum seujung bibir—jenis senyum yang tidak ingin dipuji. Ia meletakkan rafia di meja, menepuknya dua kali, lalu menoleh ke dalam rumah.
Dari ambang pintu, Ridhan muncul. Kemejanya digulung ke siku, buku catatan hitam di tangan, kamera tergantung tanpa lensa di bahu. Wajahnya bersih tidur, tapi matanya seperti baru saja berdebat dengan sesuatu yang tidak mau kalah.
“Pagi,” kata Roni, pura-pura ringan. “Ada rapat kecil di balai. Aku berangkat sebentar lagi.”
Ridhan mengangguk, menatap agenda lusuh ayah sekilas—garis rahangnya menegang sejenak, seolah ada pengakuan yang tidak siap diucapkan. “Aku di sini,” katanya pendek. “Cocokkan peta kontur dengan foto udara lama.”
“Jangan terlalu lama di belakang kertas,” sela Ahyi, datar. “Jalan tanah tidak suka ditunggu.”
Ridhan menoleh sepersekian detik, tatapannya dingin tapi jernih. “Aku tidak menunggu.”
Ridhan melangkah ke meja, membuka peta kontur lama, lalu menghamparkan lembar transparan tipis di atasnya. Pensilnya menari tanpa musik; garis-garis kecil, tanda silang, anak panah.
Ahyi berdiri, menyandarkan bahu di kusen pintu. “Kalau kamu sibuk dengan garis, jangan salahkan tanah kalau tidak ikut bicara.”
Ridhan tidak menoleh. “Tanah bicara dengan tanda retak, bukan dengan kalimat.”
“Kalau kamu cuma mau retak,” Ahyi menukas, suaranya meninggi, “kau tidak akan pernah dengar peringatan sebelum retakan muncul.”
Ridhan menutup spidol, menepuk peta sekali. “Peringatan tanpa bukti hanyalah gosip.”
Hening yang berat jatuh. Ahyi menurunkan caping ke dahinya, menatap lurus. “Kamu tidak belajar apapun dari kemarin.”
Ridhan mengangkat alis, datar. “Aku belajar: kalau aku tidak tarik lenganmu, kau sudah jatuh.”
Kalimat itu membuat udara di serambi menegang. Roni yang dari tadi menunduk, mengetuk halaman agendanya dengan ujung pensil—pertanda ia ingin masuk tapi urung. “Hei, kalau kalian mau debat, tolong tunggu aku balik. Aku mau rapat damai di balai desa, bukan di sini.”
Ahyi menoleh ke Roni, tersenyum tipis tapi kaku. Ridhan hanya menghela nafas, kembali menunduk pada petanya.
Tapi keheningan itu hanya sebentar—jenis diam yang bukannya meredam, malah menyulut ulang bara. Seperti api di tungku yang tampak padam, padahal arang masih menyala di bawah abu.
Mata Ahyi kembali ke Ridhan, tatapannya mengeras. Banter makin meninggi. Ia maju setapak, lantai bambu merespons dengan krek lirih, seakan ikut tegang. Ridhan berdiri tegak, tidak memberi inci pun untuk mundur.
“Selalu saja kau sembunyikan diri di balik angka,” suara Ahyi menekan, nyaris seperti tuduhan. “Padahal tanah ini bukan lembar ujian.”
Ridhan menahan tatap, dingin. “Dan kau sembunyikan diri di balik naluri. Padahal naluri tidak bisa melindungi desa di rapat keluarga.”
“Rapat keluarga?” Ahyi mendengus pendek, langkahnya mendekat lagi. “Orang di sini tidak duduk di kursi rapatmu, Ridhan. Mereka duduk di tanah. Tanah yang retak, yang kau ukur tapi tak kau dengar.”
Tatapan Ridhan tajam, matanya memantul bayangan caping Ahyi. “Aku dengar, Ahyi. Tapi aku tidak cukup bodoh untuk hanya berhenti di dengar. Aku harus bawa bukti—atau semua ini hanya jadi obrolan warung kopi.”
Kata-kata itu menghantam. Bahu hampir bersinggungan, udara terasa berat, nafas mereka saling bentur.
Roni di ujung meja merasakan dadanya ikut sesak. Ia menutup bukunya keras, berharap suara kertas bisa memutus arus. Tapi dua orang itu tetap berdiri, mata saling mengunci seperti pedang belum dihunus.
Roni yang duduk di ujung meja menggigit bibir, matanya bolak-balik ke dua orang itu. Ujung pensilnya patah tanpa ia sadari.
Roni mencoba menengahi. “Eh, kalau begitu aku catat saja, ya. Angka dan firasat, dua-duanya penting. Biar nanti waktu rapat desa nggak ada yang bilang kita berat sebelah.”
Ridhan menoleh sekilas, nadanya dingin. “Kalau semua hal ditaruh dalam satu catatan, nanti tidak ada yang dianggap serius.”
Ahyi langsung menimpali, nada tajam. “Kalau semua hal cuma angka, nanti tanah ini hanya jadi tabel. Kau pikir desa ini bisa bertahan di Excel?”
Roni menoleh kanan-kiri, merasa udara jadi lebih berat. “Ehm… maksudku—”
Ridhan mengangkat alis, menatap Ahyi lurus. “Kalau tidak ada angka, mereka di kota tidak dengar.”
“Kalau tidak ada telinga untuk tanah, orang di sini tidak selamat,” balas Ahyi, cepat, suaranya meninggi.
Suasana jadi senyap. Roni menutup bukunya pelan, nafasnya keluar panjang. Ia berdiri, pura-pura meregangkan bahu. “Oke… sepertinya waktuku ke balai sudah tepat.” Senyumnya kaku, matanya menatap ke lantai. “Aku titip rumah, ya. Jangan… bunuh-bunuhan dulu sebelum aku balik.”
Ia melangkah cepat ke pintu, sengaja menghela nafas panjang saat melewati ambang, seolah ingin mengeluarkan sisa ketegangan dari paru-parunya. Dari luar, suara sandal seretnya memudar, meninggalkan dua orang yang jelas-jelas belum selesai bicara.
Baru saja sandal Roni benar-benar hilang di tikungan jalan, suara langkah ringan lain masuk dari luar. Nadia muncul di serambi, membawa dus kecil bekas kue dengan botol-botol plastik di dalamnya.
“Pagi,” sapa Nadia, suaranya bening, agak serak habis lari kecil. “Ini dari posyandu. Bu Endah bilang Roni butuh gelas bekas buat bibit.”
Ia berhenti sebentar, matanya bergeser, menyadari hawa yang masih tebal di udara. Ridhan berdiri tegak dengan rahang keras, Ahyi menyilangkan tangan seperti orang menjaga pagar yang tidak kelihatan.
“Oh…” Nadia menunduk sebentar, lalu tersenyum tipis, mencoba mencairkan. “Aku taruh sini aja, ya?”
Ahyi hanya mengangguk singkat, lebih cepat daripada biasanya, seolah takut kalau mulutnya keburu menembak kalimat lain.
Ridhan yang biasanya dingin justru melangkah setengah, suaranya sopan tapi pendek. “Nadia, ya? Aku Ridhan.”
Nada formal itu terdengar asing di rumah yang biasanya penuh sindiran.
Nadia tersenyum ramah. “Ya, Mas. Saya sering bantu di mushola, mungkin Roni sudah cerita.”
“Sedikit,” jawab Ridhan singkat. Tatapannya lembut sepersekian detik—berbeda dari cara ia menatap Ahyi.
Ahyi menyelipkan komentar, nadanya kaku: “Kalau Roni yang cerita, bisa jadi panjang. Jangan percaya semua.”
Nadia tertawa kecil, tidak menyadari bahwa kalimat itu sebenarnya bukan lelucon, melainkan sengatan. “Hehe… saya percaya yang baik-baik saja, Kak.”
Dus itu mendarat di meja. Nadia pamit sebentar kemudian, langkahnya ringan tapi terasa seperti pintu darurat yang baru saja dibuka. Begitu ia hilang, hening kembali jatuh—hening yang bukan kosong, tapi terlalu penuh dengan sisa banter yang belum selesai.
Serambi vila kembali sepi, tapi sepi yang berbeda: sepi yang menunggu apa yang akan pecah, bukan sepi yang damai.
Ahyi meraih bakul anyaman berisi tali rafia dan palu, lalu melangkah ke halaman belakang. “Pancang sisa di belakang belum dipakai,” katanya datar, seperti sekadar alasan untuk bergerak.
Ridhan ikut, kamera masih menggantung di bahu, catatan hitam diselipkan di ketiak. “Aku bantu,” ucapnya singkat.
Halaman belakang vila bukan gudang tertutup, tapi setengah terbuka. Tanahnya padat tapi mulai retak-retak kering, sisa hujan dua hari lalu. Di sudut, beberapa pancang bambu disandarkan, sebagian sudah bengkok, sebagian masih lurus.
Ahyi jongkok, mencoba menarik salah satu pancang. “Yang lurus, jangan yang malas,” gumamnya, nada seolah bicara ke benda, tapi jelas ditujukan juga ke Ridhan.
Ridhan menaruh catatannya di bangku kayu, mendekat, lalu ikut menarik dari sisi lain. “Bambu tidak malas. Orang yang tidak tahu simpul yang malas.”
Ahyi mendongak, senyum setengah mengejek. “Oh, jadi sekarang bambu bisa salah kalau simpulnya tidak lulus rapat?”
“Kalau simpul salah, orang bisa jatuh,” balas Ridhan cepat, nada tenang tapi tajam.
Banter mulai menegang. Pancang bambu terlepas mendadak dari tumpukan, hampir membuat Ahyi kehilangan keseimbangan. Ridhan refleks menahan ujungnya, tangan mereka bersentuhan sekilas.
Ahyi segera menarik tangannya, berdiri tegak. “Kamu terlalu cepat menyentuh.”
Ridhan memegang pancang dengan mantap, matanya lurus. “Kamu terlalu lambat mengaku butuh ditahan.”
Suasana halaman terasa lebih padat daripada udara gudang. Rafia di tangan Ahyi bergetar sedikit sebelum ia memotongnya, lalu mengikat simpul kuat di ujung pancang.
Ahyi menekan ujung pancang ke tanah, menoleh setengah. “Kamu bisa saja tinggal di kota, kirim orang suruhan untuk ukur. Kenapa repot turun sendiri?”
Ridhan tidak langsung jawab. Ia merapikan simpul, baru bicara. “Karena orang suruhan tidak ingat bau gudang vila ini. Tidak ingat cap jempol kakek di kusen pintu. Mereka hanya bawa data, pulang, lupa.”
Ahyi memiringkan kepala. “Jadi kamu di council itu… apa? Orang lapangan, atau orang kota?”
Ridhan berdiri tegak, suaranya berat. “Keduanya. Council bisa memutuskan banyak hal tanpa pernah melihat tanah. Tapi kalau aku diam, desa ini jadi angka murni di spreadsheet. Jadi aku turun. Bukan karena perintah, tapi karena aku bagian dari sini.”
“Bagian dari sini?” Ahyi mengulang, nadanya datar tapi matanya mencari celah. “Sejak kapan?”
“Sejak kecil,” jawab Ridhan singkat. “Aku pernah tinggal di vila ini. Main di parit, jatuh di jalan jati, dengar kentongan malam. Itu tidak ada di rapat keluarga. Itu hanya ada di kepalaku.”
Ahyi menatapnya lama, tidak menyela. Jemarinya mengetuk rafia di tiang. “Kalau begitu, kenapa aku masih merasa kamu lebih dengar meja rapat ketimbang tanah?”
Ridhan menahan sejenak, lalu menunduk sedikit. “Karena kalau aku kalah di meja rapat, semua kenangan itu tidak selamat.”
Ahyi menegakkan punggung, matanya tidak lepas dari Ridhan. “Kalau kamu memang bagian dari sini, kenapa nadamu selalu seperti orang yang bawa mandat? Seolah-olah ada kursi kosong menunggu jawabanmu di kota.”
Ridhan tidak langsung menjawab. Ia meraih palu, mengetuk kepala pancang sekali—bunyi kayu dan besi menggema pendek. “Karena memang ada kursi itu. Dan setiap kursi butuh suara. Kalau aku diam, yang bicara adalah orang yang tidak pernah menginjak tanah ini.”
Ahyi mengetuk rafia di tiang, tajam. “Berarti sebenarnya kamu tidak sendirian. Ada orang-orang lain di balik semua angka itu.”
“Banyak,” sahut Ridhan singkat. Ia menoleh sebentar, menimbang kata berikutnya. “Dan tidak semuanya peduli apakah desa ini tetap hidup atau hanya jadi foto brosur. Itulah kenapa aku turun.”
“Dan kau percaya mereka mau dengar cuma karena kamu tulis angka?” Ahyi mengangkat alis. “Kalau mereka sudah pasang niat, angka hanya jadi cat warna yang dipilih sesuai selera.”
Ridhan menahan diri, lalu menghela nafas pendek. “Mungkin. Tapi kalau aku bawa tanah ini hanya dengan cerita, mereka akan tertawa. Kalau aku bawa dengan data, mereka paling tidak berhenti sebentar. Itu jeda yang kucari—cukup untuk membuat pilihan lain masuk ke meja.”
Ahyi menatapnya lama. Ada sesuatu di balik ketegasan itu—campuran kelelahan dan keyakinan yang terlalu keras kepala untuk dimatikan. “Jadi kamu datang bukan sekadar surveyor,” gumamnya. “Kamu… perisai.”
Ridhan tidak membenarkan, tidak membantah. Ia hanya menaruh palu ke lantai, berdiri tegak. “Kalau aku gagal, desa ini hanya jadi halaman lampiran di laporan tahunan keluarga. Aku tidak mau itu.”
Ahyi menyeringai tipis—bukan mengejek, tapi seolah baru mengerti sedikit potongan puzzle. “Keras kepala sekali.”
“Begitu juga tanah ini,” jawab Ridhan.
Udara halaman belakang terasa lebih padat daripada seharusnya. Malam masih jauh, tapi cahaya siang sudah menyimpan bayangan berat. Rafia di tangan Ahyi gemetar sedikit ketika ia mencoba merapikan simpul di tiang bambu. Ridhan berdiri tidak jauh, bahunya masih tegang dari percakapan barusan.
“Kalau kau terus sembunyikan diri di balik marah,” suara Ridhan rendah, “tak ada bedanya dengan aku yang sembunyi di balik angka.”
Ahyi menoleh cepat, matanya menyala. “Setidaknya marahku lahir dari tanah yang kupijak. Angkamu lahir dari meja yang jauh.”
“Marahmu bisa menghanguskan rumah,” Ridhan menatap lurus. “Angkaku bisa jadi alasan rumah ini tidak dijual.”
Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada pukulan palu. Ahyi maju setapak, lantai bambu berderit di bawah telapaknya. “Kalau alasanmu cuma angka, berarti kau tidak pernah benar-benar percaya pada tanah ini.”
“Kalau aku tidak percaya, aku tidak akan kembali ke sini,” balas Ridhan cepat, dingin. “Aku bisa tinggal di kota, duduk manis, dan biarkan investor datang dengan brosur. Tapi aku di sini, Ahyi.”
Mereka berdiri terlalu dekat sekarang, bahu hampir bersinggungan. Nafas mereka saling bentur, seperti dua angin yang dipaksa masuk ke lorong sempit.
Ahyi mengangkat capingnya, menaruh di meja begitu saja, lalu menatap Ridhan tanpa kedip. “Kalau begitu, jangan bertingkah seperti orang asing yang cuma bawa mandat. Desa ini bukan laporan tahunan.”
Ridhan mencondongkan tubuh sepersekian, mata tajam. “Dan kau jangan bertingkah seperti semua jawaban bisa datang dari firasat. Desa ini butuh bukti untuk bertahan.”
“Firasatku sudah menyelamatkanmu sekali,” suara Ahyi pecah, nyaris bergetar. “Kau pikir kalau bukan aku yang menahan, tanah itu tidak akan menelanmu?”
“Dan tanganku yang menarikmu kemarin, apa itu tidak menyelamatkanmu juga?” balas Ridhan, nadanya meninggi, nada yang jarang ia pakai.
Seketika hening.
Udara seperti berhenti, hanya menyisakan detak jantung yang terlalu keras untuk didengar sendirian. Ahyi ingin mundur, tapi kakinya terpaku. Ridhan ingin menahan kata, tapi lidahnya menolak diam.
Ahyi akhirnya bicara lagi, pelan tapi penuh bara. “Masalahnya, Ridhan, kau tidak tahu kapan harus berhenti menarik.”
Ridhan merapat satu langkah, cukup untuk membuat udara di antara mereka hilang. “Masalahnya, kau tidak tahu kapan harus berhenti menolak.”
Kedua mata mereka bertemu, tidak ada lagi tempat untuk berlindung.
Tiba-tiba, seekor cicak jatuh dari langit-langit bambu, menimpa gulungan rafia di tangan Ahyi. Ia terlonjak kecil, tangannya refleks bergerak ke belakang—dan di situ, Ridhan menangkap pergelangan tangannya sebelum sempat membentur tiang.
Kontak itu seperti percikan api di ruang sempit. Ahyi menahan nafas, matanya melebar. Ridhan tidak melepas, genggamannya mantap tapi tidak keras.
“Lepaskan,” desis Ahyi, suaranya setengah marah, setengah bingung.
Ridhan menunduk sedikit, nadanya dalam. “Kalau kulepas, kau jatuh.”
Detik itu panjang, terlalu panjang. Ahyi merasa darahnya mendesak sampai ke wajah; bukan merah malu, tapi panas marah bercampur sesuatu yang tidak mau ia sebut. Ridhan juga merasakan tubuhnya tegang, tapi tatapannya tidak lari.
Akhirnya Ahyi menarik tangannya sendiri dengan kasar, membuat rafia terlepas dan jatuh ke lantai. Ia mundur dua langkah, bahunya naik-turun. “Kamu… selalu saja begitu. Seolah-olah semua orang ini beban yang harus kau tahan.”
Ridhan tetap berdiri tegak, suaranya berat. “Kalau aku tidak menahan, siapa yang akan?”
Ahyi memalingkan wajah, giginya menggertak. “Tanah bisa menahan dirinya sendiri. Kau yang terlalu ingin jadi penyelamat.”
“Kalau aku tidak ingin jadi penyelamat, aku tidak akan kembali ke sini.”
Mata mereka bertemu lagi, tapi kali ini tidak ada kata. Hanya arus deras yang saling dorong, menunggu siapa yang pertama tenggelam.
Lalu, dari kejauhan, suara kentongan terdengar: dua kali.
Bukannya tanda biasa—kemarin hanya satu kali “ingat.” Kali ini berbeda. Suara kayu beradu itu membawa getaran yang membuat bulu kuduk meremang.
Ahyi menoleh, wajahnya berubah serius. “Dua kali… itu bukan main-main.”
Ridhan mendengarkan, matanya ikut menajam. “Apa artinya?”
“Bukan hanya air,” jawab Ahyi pelan, hampir seperti berbisik. “Danau toska itu menyimpan arang. Arang yang tak kelihatan.”
Ridhan terdiam. Kata-kata itu seperti pintu yang dibuka tiba-tiba—membawa bau rahasia yang lebih tua dari mereka berdua.
Hening. Bahkan serangga pun seperti berhenti bersuara.
Ridhan akhirnya mengangguk tipis, menelan dalam-dalam kalimat itu. “Besok aku catat. Kalau benar ada arang di bawah sana, council harus tahu.”
Ahyi menatapnya tajam. “Catatlah. Tapi jangan lupa: catatan tidak bisa menahan siapa pun kalau tanah sudah memilih menelan.”
Tatapan mereka bertahan sebentar lagi, sebelum akhirnya sama-sama memilih mundur. Ahyi menunduk, mengambil rafia yang jatuh. Ridhan menoleh ke arah vila, matanya berat.
Seolah sepakat tanpa bicara, keduanya berbalik arah. Jalan menuju ruang tengah menunggu—dan dari sana, Ridhan tahu, rapat keluarga Amarfi akan segera memanggil.
Halaman belakang villa perlahan sepi dari suara desa. Hanya dedaunan pisang bergesek, dan ketukan palu di bambu yang berhenti. Pancang terakhir berdiri tegak; tali rafia menegang seperti garis nasib. Ahyi dan Ridhan sama-sama terdiam, nafas mereka terdengar lebih jelas daripada suara angin.
Mereka berbalik menuju gudang. Lorong pisang menutup tubuh mereka dengan bayang teduh, cahaya matahari pecah jadi serpihan kecil di kulit tangan. Gudang menyambut lagi—ruang sempit dengan dinding kayu yang menyimpan bau besi, bambu, dan tanah basah.
Mereka menaruh alat: palu di tempat palu, bambu di sudut, rafia di paku dinding. Hal-hal rapi selalu menggoda orang untuk merapikan hal-hal lain—sayang, tidak semua bisa dirapikan dengan simpul dan paku.
“Ridhan,” suara Ahyi pelan tapi tegas.
Ia menoleh. “Ya.”
“Kemarin di tebing,” Ahyi menatap lurus, capingnya condong ke depan, “kalau kau menarikku lagi tanpa izin, aku marah sungguhan.”
Ridhan tidak mundur, suaranya menurun, padat, bergaung di dinding kecil. “Aku sudah jawab kemarin. Kalau kau salah pijak lagi, aku tetap tarik.”
“Dan kalau aku tidak salah pijak?” Ahyi melangkah setapak, jarak kini diukur bukan lagi meter, tapi degup.
“Takkan kutarik,” Ridhan membalas cepat.
“Masalahnya…” suara Ahyi menekan, nafasnya hangat, “…kau yang selalu memutuskan kapan pijakanku salah.”
Ridhan maju sepersekian, mata menancap. “Dan kau yang selalu memutuskan kapan aku berlebihan. Seimbang.”
Hening. Bukan damai—tapi hening yang bisa memutuskan siapa jatuh duluan.
Ahyi mendekat setapak lagi. Gudang mengecil, udara berubah jadi benda padat yang bisa digenggam. “Kau tidak sopan,” katanya rendah, tapi bergetar di tepi.
Ridhan menahan napas, rahangnya kaku. “Tidak sopan menyelamatkanmu?”
“Tidak sopan memegang siapa pun seolah semua orang barang bukti,” balas Ahyi. Suaranya getir—campuran marah dan takut pada sesuatu yang ia sendiri tak mau beri nama.
Ridhan menunduk sedikit, nadanya berubah jadi permohonan aneh yang dibungkus dingin. “Kalau begitu… ajari aku sopan versi jalan tanah.”
Ahyi menatapnya lama. “Versinya begini. Kalau ingin sentuh, tanya dulu. Kalau ingin menahan, sebut namaku. Kalau ingin menarik, pastikan aku tidak berdiri.”
Itu terlalu dekat dengan pengakuan, terlalu jauh dari prosedur. Mereka sama-sama bergerak—bukannya mundur, justru menuju titik yang sama: menaruh alat di rak. Tangan mereka bersentuhan, tidak sempat menarik diri. Caping Ahyi menyentuh rahang Ridhan. Kamera di bahu Ridhan tergeser, jatuh.
Refleks, Ridhan menahan kamera dengan satu tangan—tangan lain masih memegang pergelangan Ahyi agar ia tidak ikut tertarik ke bawah rak. Gerakan cepat, ruang sempit, tubuh saling seret. Kepala mereka berpapasan terlalu dekat.
Dan di sana—bibir mereka bersentuh. Singkat, kaku, tanpa niat manis. Bukan kecelakaan penuh, bukan pula keputusan. Lebih mirip dua arus keras yang bertemu di belokan sempit, tak bisa saling menghindar.
Ahyi membeku sedetik—shock, bukan suka. Ridhan berhenti di sana—tidak menekan, tidak kabur—seolah mengakui bahwa ruang sempit bisa menaruh manusia pada garis yang tak bisa dijelaskan.
Ada rasa logam dari kamera, tanah basah dari rambut Ahyi, asin keringat di bibir. Tekanan itu terlalu nyata untuk diingkari, terlalu singkat untuk disebut milik siapa pun. Ahyi menahan, matanya terbuka separuh; Ridhan membeku, tak bergerak, seperti sadar ruang sudah memberi jawaban yang tak mereka rencanakan.
Detik itu panjang.
Lalu dorongan pecah. Ahyi menolak dengan bahu, kamera menghantam meja—duk—lensa longgar, talinya terpelintir. Nafas mereka masih kasar, tubuh sama-sama bergetar. Ahyi memegangi caping dengan genggaman keras, wajahnya panas—antara marah, takut, dan sesuatu yang ia tak berani beri nama.
Ridhan tetap tegak, matanya gelap, tangan gemetar saat merapikan lensa. Klik kecil dari ring kamera terdengar seperti pengakuan bersalah.
“Jangan pernah—” suara Ahyi pecah, separuh marah, separuh takut pada dirinya sendiri, “—JANGAN PERNAH lakukan itu lagi.”
Ridhan tidak mundur dua langkah, hanya satu. Matanya tajam, menahan kata yang terlalu banyak. Maaf berdiri di lidahnya, tapi ia telan. Karena maaf yang salah tempat lebih buruk daripada tidak sopan.
“Itu… tidak direncanakan,” ucapnya rendah.
“Semua yang merusak jarang direncanakan,” Ahyi menatapnya tajam, wajahnya merah bukan karena malu, “tapi tetap menghancurkan.”
Ridhan ingin menjawab kalau aku ingin…, tapi menahan.
“Kalau ingin,” potong Ahyi cepat, “kau salah pintu.”
Ia melewati Ridhan dengan bahu yang menghantam sedikit, caping erat di tangan. Suara langkahnya keras, seperti ingin menutup setiap celah ambiguitas.
Ridhan menatap punggung itu menghilang. Suaranya datar, dingin, tapi menyimpan retakan:
“Kalau kau tidak ikut, aku tetap jalan. Tapi lebih lama sampai pulang.”
Ahyi berhenti sepersekian, tidak menoleh. “Lebih lama bukan masalah. Asal kau benar-benar sampai.”
Pintu gudang terbuka, cahaya luar masuk, menegaskan bayangan Ridhan di lantai. Ketika pintu menutup, gudang kembali ke ukuran sebenarnya—kecil, sempit, penuh alat, dan menyimpan satu suara yang barusan gagal jadi koin maaf.
Ridhan menunduk, memutar ring lensa kamera hingga berbunyi klik. Ia menekan buku catatan hitam ke dada. Pensil menulis di halaman kosong:
Kesalahan: ruang sempit, jarak gagal, kata tidak dipakai. Efek samping: marah orang. Efek samping lain: aku.
Dan di bawah hening itu, kentongan baru terdengar. Dua kali.
Bunyinya meresap ke dalam tubuh mereka, menyalip degup, menutup jarak dengan getar yang lebih tua dari amarah mereka. Bukan tanda biasa—kemarin hanya satu kali “ingat.” Kali ini berbeda. Suara kayu beradu itu membawa getaran yang membuat bulu kuduk meremang.
Ahyi menoleh, wajahnya berubah serius. “Dua kali… itu bukan main-main.”
Ridhan mendengarkan, matanya ikut menajam. “Apa artinya?”
“Dulu,” Ahyi menarik nafas, suaranya rendah, “orang-orang tua bilang: kalau kentongan dua kali, itu bukan sekadar peringatan. Itu tanda bahwa air tidak aman. Dan danau toska itu… bukan hanya air. Ada arang di bawahnya. Arang yang tak kelihatan, tapi bisa bangkit kalau tanah terusik.”
Ridhan terdiam. Kata-kata itu seperti pintu yang dibuka tiba-tiba—membawa bau rahasia yang lebih tua dari mereka berdua. Hening. Bahkan serangga pun seperti berhenti bersuara.
Langkah tergesa terdengar dari arah depan vila. Roni muncul di ambang, nafasnya sedikit terpotong, buku agenda lusuh masih di tangan. “Kalian dengar, kan?” suaranya berat, berbeda dari biasanya yang suka ringan. “Dua kali. Ayahku dulu pernah tulis… kalau bunyi dua kali, berarti ada sesuatu di air. Arang, katanya. Arang yang diam, tapi menyimpan panas.”
Ia menutup bukunya pelan—bukan keras seperti tadi pagi, tapi hati-hati, seolah takut halaman itu benar-benar akan membakar. “Kalau begitu aku harus ke mushola. Ibu-ibu pasti sudah dengar. Kalau tidak ada yang bahas, mereka panik sendiri.”
Ahyi menoleh cepat. “Jangan bikin orang takut, Roni.”
“Bukan bikin takut,” Roni menggeleng, matanya menatap keduanya bergantian. “Tapi kalau orang tidak diberi kata, mereka bikin kata sendiri. Itu lebih berbahaya.”
Sesaat, ketiganya diam. Angin membawa bau lembab dari arah danau.
Roni melangkah mundur, senyumnya kaku tapi tulus. “Aku titip rumah. Kalau kentongan bunyi lagi… jangan keras kepala. Ingat, dua kali itu bukan main-main.”
Ia pergi, langkah sandalnya tergesa tapi teratur. Dari luar, suara anak-anak berlarian terdengar jauh—kontras dengan ketegangan yang masih menempel di vila.
Ridhan dan Ahyi saling menatap sepersekian detik. Bukan tatapan marah penuh, bukan tatapan damai—tapi tatapan orang yang sama-sama terguncang: oleh jarak yang tadi terlalu dekat, oleh bunyi kayu yang menandai rahasia lebih tua dari keduanya.
Malam datang tanpa banyak warna, hanya lampu minyak yang memantulkan cahaya kuning di dinding kayu vila. Di meja, laptop tua terbuka, koneksi tersendat tapi cukup untuk menampilkan kotak-kotak wajah keluarga Amarfi. Tante Laila dengan blazer mengkilap, paman yang sibuk menulis angka, Amira yang jadi penghubung. Suara-suara kota berlomba dengan bunyi jangkrik di luar vila.
“Ridhan,” suara Tante Laila berat, “council butuh keputusan. Jual, kelola, atau simpan. Investor sudah menunggu.”
Ridhan duduk tegak, bayangan wajahnya dipanjangkan lampu minyak, membuatnya tampak lebih tua dari usianya. “Simpan. Sampai data lengkap. Kalau kelola, bukan pariwisata murahan. Kalau jual, bukan sekarang.”
Seorang paman menyela dari layar kecil. “Kamu tidak bisa menunda terus. Nama Amarfi harus besar. Orang bicara panggung, bukan pangkal.”
Ridhan mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Justru karena nama besar, jangan jadi nama yang gagal dipanggil tanahnya sendiri. Aku lahir di sini. Vila ini bukan folder yang bisa dipindahkan. Kalian lihat tanah dari peta; aku dengar tanah dari retakannya.”
Seseorang tertawa kecil, menertawakan pilihan katanya. Tapi Ridhan tidak bergeming.
“Angka akan aku bawa. Besok aku turun lagi. Tapi jangan lupa: angka tidak muncul dari ruang rapat, mereka lahir dari tanah yang siap menelan siapa pun yang sombong.” Ia berhenti, membiarkan kata-katanya jatuh seperti batu ke danau. “Kalau kalian mau cepat, ambil investor dan panggung. Tapi kalian kehilangan pangkal. Dan kalian tahu, pangkal itu warisan.”
Sunyi sebentar. Bahkan koneksi internet yang biasanya pecah-pecah ikut menahan nafas.
Tante Laila akhirnya bicara lagi, suaranya lebih pelan. “Baik. Kita tunggu datamu, Din. Tapi jangan lama.”
“Alam tidak bisa di-brief,” jawab Ridhan, matanya tidak bergeser. “Kalau council lupa itu, namaku tidak perlu ada di rapat ini.”
Kotak-kotak wajah itu satu per satu padam. Layar kembali gelap, hanya memantulkan wajah Ridhan sendiri—garis rahang kaku, mata masih menyimpan api.
Ia menutup laptop, menekannya pelan, seolah mengubur suara-suara kota yang barusan menuntut. Dari luar, bunyi kentongan terdengar lagi—dua kali. Sama seperti tadi siang, tapi malam membuatnya lebih dalam, lebih menusuk.
Ahyi muncul di ambang pintu, membawa lampu kecil. Tatapannya singkat, tapi cukup untuk mengikat kata-kata yang tak pernah diucapkan: mereka berdua tahu, besok bukan sekadar survei. Malam itu, kata besok berhenti jadi janji—ia berubah jadi ancaman yang siap menagih jawaban.
Roni sama Ahyi chemistrynya dapet banget berduaaa... Gaya bahasanya sukaa... puitis, tapi enggak yang terlalu mendayu-dayu. Ibaratnya dessert manisnya pas. Hehehehe...
Comment on chapter Chapter 1 Jejak Langkah di Desa Tanpo Arang