Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
MENU
About Us  

Hari berhujan dan jam kosong—perpaduan sempurna yang diharapkan terjadi setiap hari oleh siswa kelas XI A. Bahkan, Alya, sang bintang kelas yang biasanya benci membuang-buang waktu percuma seperti ini, tampak menikmati. Alih-alih nongkrong di perpustakaan dengan novel-novel thriller atau romansa remaja; mengerjakan tugas yang masih akan dipresentasikan minggu depan; tenggelam di layar laptop mencari informasi beasiswa kampus top nusantara, dia hanya duduk melorot di kursi. Jilbabnya miring, tangan kiri menyangga dagu sementara tangan kanannya mencorat-coret kertas binder, dan wajahnya memancarkan raut yang sulit ditebak—nelangsa, jengah, muak, ekspresi biasa yang melekat pada dirinya selama ini. 

“Komukmu, Ya, kayak orang sembelit tahu nggak?” Celetukan Fifi, teman sebangkunya, membuat Alya nyengir tipis dan lekas menutup binder. “Velocity-an aja, yuk! Sini-sini!”

Alya menggeleng sambil menepis tangan Fifi yang menarik lengannya. 

“Ih, Alya! Nggak asyik!” Gadis gempal itu bersungut-sungut kesal sambil mengentakkan kaki, membawa ponselnya dari depan hidung Alya. Dia bergabung dengan teman-teman lain yang menurutnya normal sebagaimana mestinya gadis remaja—bergerombol sambil joget-joget di depan layar ponsel; memoles mekap ala selebgram, meski jelas-jelas itu berarti melanggar selusin peraturan sekolah.

Alya mengedarkan pandang sambil menghela napas. Dia tahu Fifi tidak akan bisa marah padanya lama-lama, apalagi hanya karena hal seperti ini. Fifi memahaminya lebih baik dari dirinya sendiri. Alya memang tidak pernah mau diajak tampil di depan kamera. Mungkin gadis itu punya otak paling encer seangkatan, penyabet medali Olimpiade Geografi Nasional, tapi jika sudah menyinggung wajah dan penampilan fisik, kepercayaan dirinya melempem seperti kerupuk seblak. 

Bentuk tubuh Alya yang menurutnya tidak masuk sama sekali dalam standar kecantikan perempuan—pendek, berisi, kulit sawo matang, hidung minimalis—adalah nomor kesekian yang mengusiknya. Dia pernah merutuki Tuhan karena beranggapan Tuhan bercanda saat menciptakannya, bercanda keterlaluan yang hanya lucu di satu pihak. Tahi lalat besar yang hinggap di pojokan dagu sebelah kirinya membuktikan itu, menurut Alya. Tahi lalat tersebut tak bisa ditutupi. Jilbab akan menutup seluruh dagu jika dimajukan untuk menutupi tahi lalat itu, semakin membuatnya tampak seperti alien. 

Di antara masalah hidup lain yang tak kalah berat, Alya sungguh frustrasi dengan persoalan tahi lalat. Setidaknya, Tuhan bisa sedikit berbaik hati. Tak mengapa dia masuk dalam golongan cewek biasa, asal jangan di bawah standar begini. Kurangi sedikit IQ-nya, tambahkan untuk wajahnya. Adil, kan? Kepintaran bisa diusahakan, tapi wajah cantik? Beauty privilege bahkan seringkali mengalahkan deretan nilai bagus hasil belajar keras, begitu pikir Alya. Kepintaran tidak dibutuhkan di sini.

Jadi, saat pandangannya terhenti pada geng cewek-cewek cantik di kelasnya yang sedang sibuk velocity, Alya hanya bisa menelan ludah yang membatu. Bagaimanapun kerasnya berusaha, dia tidak akan bisa bergabung dalam grup itu. Tahi lalatnya sempurna menjadi pelengkap julukannya—si Tahi Lalat Cupu. Sudah pasti, panggilan macam ini tidak cocok dengan geng populer mana pun. 

Perut Alya seperti dipelintir setiap kali dia menyadari—tidak ada geng populer berarti tidak ada Andre, cowok ganteng sekelasnya yang terkenal badung. Badung berarti keren, menurut semua anak seusianya. Badung dan ganteng berarti super duper keren. Itu saja sudah cukup membuat cewek seantero sekolah ingin dekat dan bergaul dengan Andrea Rafa, tak terkecuali Alya. 

Namun, lagi-lagi, dia terbentur kenyataan sulit. Dia dan Andre bagai pangeran dan upik abu. Di dunia nyata, dua hal yang berkebalikan tak akan mungkin bisa bersatu. Kalau pun bersatu, komentar netizen akan membuat salah satunya frustrasi dan menyerah. Alya menyadari itu. Dia tidak hidup di dunia dongeng. 

“Ya, ikut ke kantin nggak?” Fifi mengambil dompet di tasnya, melirik Alya dengan raut bersahabat seperti biasa.

Sudut-sudut bibir Alya terangkat, lega karena Fifi sudah tidak kesal lagi. “Ikut. Aku tadi nggak sempat sarapan.”

“Ayok kalau gitu!”

“Eh, tunggu! Bukannya kamu lagi diet, Fi?”

Fifi nyengir lebar, tapi sedetik kemudian dia langsung cemberut. “Pakai diingatin segala lagi! Dietnya besok, sekarang lapar!”

Seharian ini, di antara hujan angin yang menampar-nampar dan cuaca muram, akhirnya ada juga yang bisa membuat Alya tertawa. Dia segera mengekor Fifi ke kantin, tanpa sadar meninggalkan bindernya begitu saja di meja.

*

“Eh, lihat-lihat! Apalagi, nih?” Suara Cika yang melengking terdengar sampai teras kelas, diikuti cekikikan teman-teman gengnya yang sangat akrab di telinga Alya. “Gila, delulu juga ternyata si Tahi Lalat!”

Tawa bersamaan meledak. Julukannya disebut-sebut. Tak pelak, Alya yang baru saja merasa sedikit gembira lantaran perutnya tak lagi keroncongan, disergap kegusaran. Geng cewek cantik itu tidak pernah berurusan dengannya, kecuali jika mereka satu kelompok tugas. Ada apa?

 Alya setengah berlari, lantas melongokkan kepala ke pintu kelas. Hantaman seporsi ketoprak yang belum lama mendarat di perutnya, menggelegak naik. Dia merasa mual. Cika dan gengnya berkerumun di mejanya, duduk di kursinya dan Fifi. Mereka asyik membuka-buka binder Alya. Membaca isinya yang random keras-keras. Tertawa mengejek. Melontarkan komentar tak berperasaan.

“Apaan, Ya?” Fifi ikut melongok. Kedua matanya membulat.

Namun, Alya tak menghiraukan Fifi. Tubuhnya terkunci. Otaknya yang biasa cepat merespons apa pun, kini terasa beku. Dia hanya bisa mendengar darahnya yang berkumpul dan menderu di telinga. Degup jantungnya terasa menyentak-nyentak, menggebuk dadanya dalam dentuman yang tak wajar. Telapak tangannya mulai berkeringat. Bahkan, berkali-kali mengikuti olimpiade, dia tidak pernah segugup ini.

“Lagi ngapain, Cik?” Suara cempreng Fifi akhirnya mengembalikan kesadaran Alya. Entah kapan Fifi masuk dan berjalan ke meja mereka, meja nomor tiga di lajur kanan.

“Eh, ini anaknya datang.” Cika menyeringai menjengkelkan. “Lihat temanmu, Fi! Masa komuk kayak gitu mau jadi pacarnya Park Bo Gum?”

Tawa yang terasa bagaikan sundutan jarum di hati Alya, kembali bersahutan. Cika mengangkat binder Alya tinggi-tinggi, menampilkan halaman yang penuh foto oppa-oppa Korea dengan tulisan-tulisan bernada cinta serta kekaguman. Kerumunan yang lebih besar terbentuk.

“Biasa aja kali, Cik, semua orang bebas punya mimpi.” Fifi berusaha merebut buku itu, tapi Cika yang tingginya semampai, dengan mudah menghindarinya.

“Kalau itu, sih, namanya mimpi di siang bolong. Nggak tahu diri!” Salah satu teman Cika menimpali.

“Eh, eh, ada lagi, nih! Ndre, sini deh kamu!” Cika berdeham.

Keringat dingin mulai merambati punggung Alya. Panas menyengat wajah dan kedua matanya. Dia tak sanggup mengangkat kepala, masih terpaku di depan pintu, tapi ekor matanya menangkap gelagat Andre. Cowok yang sejak tadi sibuk main game di ponsel tersebut mengalihkan perhatiannya pada Cika.

“Apaan, Cik?”

“Sini, kamu pasti kaget, deh! Kamu punya secret admirer, lho, takut banget.” Cika cekikikan.

“Kalian nggak pernah diajari soal privasi, ya?” Alya tersentak karena nada bicara Fifi naik satu tingkat, yang berhasil membuat cekikikan Cika dan gengnya bungkam.

Namun, tidak ada tanggapan. Andre sudah sampai di meja itu, menyibak kerumunan yang mulai beralih menatap Alya penuh penghakiman. Andre terdiam sejenak saat melihat halaman binder yang ditunjukkan Cika, sebelum mendengkus dan tertawa. Tawa yang seolah menghentikan hidup Alya.

“Masih ada ya, yang bikin kliping-kliping kayak gini? Kuno banget!”

Cika membelalak mendengar tanggapan Andre. “Kamu nggak marah? Si Tahi Lalat nyuri foto-foto kamu, lho, ditempel-tempel. Apa jangan-jangan fetish-nya kayak gitu kali! Hiii, ngeri!”

Tubuh Alya limbung. Dia berpegangan pada daun pintu, di antara desakan air matanya yang tidak tertahankan dan kandung kemihnya yang juga terasa penuh. Seolah dunia bersekongkol mempermalukannya hari ini.

“Nggak usah lebay deh, Cik!” tukas Andre. “Lagian cewek mana sih yang nggak naksir aku? Ya nggak, Alya?”

Entah sejak kapan, Alya tidak menyadari. Dunia mendadak melebur baginya. Matanya buram karena genangan air mata, menimbulkan pola-pola abstrak tak berbentuk pada penglihatannya. Namun, sekarang, Andre berdiri di hadapannya, mula-mula hanya diam. Hanya ada jeda yang panjang disertai keheningan. Lalu, cowok itu mengatakan sesuatu yang mengagetkan semua orang—tidak pernah Alya sangka-sangka, bahkan jauh dari mimpinya. 

“Ya, Nanti sore jalan sama aku, yuk!”[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
6893      2156     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
The First 6, 810 Day
1968      1196     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Perjalanan Tanpa Peta
108      98     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Andai Kita Bicara
1599      1030     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Solita Residen
3929      1514     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Cinderella And The Bad Prince
3601      2053     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Melihat Tanpamu
272      220     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
86      77     1     
True Story
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
3501      1987     1     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
God, why me?
394      296     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...