Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
MENU
About Us  

Notifikasi WhatsApp Sofi berbunyi saat dia mengantar seporsi french fries di meja nomor tiga yang ditempati sepasang kekasih. Buru-buru dia membuka ponsel begitu sampai dapur, sambil curi-curi pandang kalau tiba-tiba Krisna muncul. Ada beberapa chat yang belum sempat dia buka, dari Ifan tentu paling banyak. Namun, Sofi tidak menunda begitu tahu pesan yang baru masuk adalah dari Raina.

Nanti aku ke kafe Sof, balikin jaket. Km berangkat?

*Ya, Mbak, aku shift siang, jadi pulang malam

Oke, aku ke situ abis isya

*Ok, Mb, kutunggu

Sofi kembali memasukkan ponselnya ke saku celana. Ini bertepatan satu minggu perkenalannya dengan Raina. Dia dan Raina sering saling melihat status, kadang-kadang saling berkomentar. Mereka juga sudah berteman di Instagram, hingga entah sejak kapan, Sofi tidak sadar, dia nyaman ber-aku-aku dengan gadis itu. 

Sofi senang bisa mengenal Raina. Bagi Sofi, Raina adalah gadis misterius. Di balik penampilannya yang sempurna, Sofi bisa melihat ada kepedihan di mata Raina. Entah apa. Itu membuatnya kembali mengingat pepatah lama yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang hidupnya sempurna. Di mata Sofi, Raina memang sempurna. Namun, siapa yang tahu apa yang sesungguhnya dirasakan gadis berlesung pipi itu?

"Mbak Raina sendirian aja?" Sofi menyapa ramah sembari meletakkan pesanan Raina di meja lesehannya.

Raina tersenyum. "Iya, Sof."

Satu lagi pertanyaan yang mengusik Sofi sejak pertama bertemu Raina—kenapa gadis ini selalu sendiri? Rasanya mustahil gadis sesempurna itu tidak punya pacar. Mungkin, Sofi bisa menanyakannya lain kali.

"Eh, ini jaket kamu. Makasih, ya." Raina menyodorkan bingkisan plastik yang menguarkan semerbak parfum laundry.

"Oh, iya, Mbak. Sama-sama." Sofi balas tersenyum. "Kalau gitu aku kerja lagi ya, Mbak."

Si gadis berambut ombak itu meninggalkan Raina sendiri. Sebenarnya, kalau memungkinkan, dia ingin duduk menemani Raina sambil ngobrol-ngobrol ringan. 

"Eh, Sof!" Panggilan Raina membuat Sofi menghentikan langkahnya.

"Iya, Mbak?"

"Kamu balik kerja senggang nggak?" Raina nyengir, memamerkan lesung pipinya yang elok.

"Eh … “ Sofi berpikir sejenak. “Iya, Mbak, senggang kok. Kenapa, Mbak?” 

"Mau nggak, nemenin aku cari baju? Di alun-alun yang banyak thrifting-nya itu.” Melihat Sofi tampak bingung, Raina buru-buru menarik ucapannya. “Eh, kalau kamu sibuk nggak usah, deng!”

“Nggak, kok, Mbak, nggak sibuk. Ayok, aku temenin!” Nada Sofi ceria, seiring senyuman lebarnya. Tapi, sudut mata gadis itu menangkap Krisna yang sedang berpatroli di seantero kafe. Dia memberi isyarat pada Raina yang segera paham.

Sekitar empat puluh menit kemudian, D’Sunset Coffe mulai lengang. Satu per satu, pengunjung sudah angkat kaki. Meski di akhir pekan, kafe ini tetap tutup pukul setengah sembilan malam. Raina menyuap satu potong terakhir roti bakar kejunya, sebelum keluar dan duduk di serambi kafe. Dia melihat para karyawan, termasuk Sofi, sedang sibuk bersih-bersih. Suara-suara berkelontangan di dapur, ditengahi canda tawa pegawai yang saling lempar banyolan. Untuk sedetik, Raina terpukau melihat Sofi begitu semringah dan ceria. Kecantikan gadis itu bertambah berlipat-lipat.

Beberapa menit kemudian, Sofi muncul. Dia sudah mengganti seragamnya dengan baju bebas yang lebih kasual. Skinny jeans membalut kaki jenjangnya, berpadu dengan kaos polos hitam pas badan dan jaket rajut yang baru dikembalikan Raina sebagai outerBarang biasa kalau yang pakai spek kayak Sofi jadi kelihatan mahal, ya, Raina membatin sambil diam-diam melirik perutnya yang kekenyangan. Ucapan Mama tentang bentuk tubuhnya terngiang lagi. Tanpa sadar dia membandingkan diri dengan Sofi yang ramping dan jenjang. Rambut Sofi yang panjang berombak dikuncir ekor kuda, lipstik nude di bibirnya membuat Sofi semakin segar. Raina menelan ludah.

"Ayo, Mbak!" Gadis itu menyapa riang.

Mengenyahkan rasa irinya barusan, Raina bergegas mengajak Sofi ke parkiran. Raina bawa motor sendiri kali ini.

"Eh, kamu bawa motor nggak, Sof?" Hal itu baru terpikir oleh Raina. Namun, gelengan Sofi melegakannya.

"Bagus, deh, kita boncengan kalau gitu," cengir Raina. "Eh, tunggu bentar ya, Sof. Mendadak kebelet pipis, nih.”

Sofi tertawa melihat gadis elegan yang panik itu. "Di luar ada toilet, Mbak. Mbak Raina tinggal lurus dari sini terus belok kanan. Di balik tembok tinggi itu. Berani, kan?"

"Oke. Bentar, ya!" Gadis berlesung pipi itu setengah berlari meninggalkan Sofi yang terheran-heran sendiri. Ternyata lucu juga Mbak Raina.

*

"Dasar kurang ajar!"

Raina mempercepat langkahnya mendengar suara umpatan cowok di parkiran. Padahal, sepertinya dia tidak ada sepuluh menit ke toilet, dan tadi di parkiran cuma ada Sofi.

Sandal crocs gadis itu menginjak kerikil-kerikil kecil, menimbulkan suara gesekan berderak-derak. Raina memelankan langkahnya.

"Awas ya, kamu! Sekali lagi kamu kayak gini, bakal tahu rasa!"

Jantung Raina sontak berpacu lebih kencang. Sinyal otaknya segera menyuruh dia untuk bersembunyi di balik tembok. Dia menyipitkan mata untuk mengintip siapa yang membuat kegaduhan tersebut. Dengan bantuan siraman cahaya lampu parkiran yang cukup terang, Raina menyaksikan peristiwa yang membuatnya menahan napas. Sofi, gadis cantik yang ceria itu setengah terbungkuk sambil memegangi pipinya. Kemudian, cowok di hadapannya—si biang onar—merenggut kasar rambut Sofi yang malang. Gadis itu tersedak dan berteriak saat pemuda tersebut melayangkan pukulan di wajahnya. Lagi. Lagi. Lagi.

Raina terpaku. Riak campuran berbagai emosi meruah di dadanya—marah, takut, cemas. Jantung Raina bertalu-talu nyaring di telinga. Gadis itu kebas. Dia tahu seharusnya dia merangsek ke sana, menyelamatkan Sofi, tapi tubuhnya yang terkunci tak bisa diajak kerja sama. 

Lima meter di depannya, Sofi masih jadi samsak tinju. Gemetar, disadarkan entah oleh apa, Raina mengambil ponsel dari tas. Dibukanya fitur kamera, dan masih sambil menyembunyikan diri, dia mengulurkan ponsel sampai bisa menangkap kejadian mengerikan itu. Raina menekan tombol rekam, dengan perut mengejang dan napas tertahan setiap kali mendengar pekik kesakitan Sofi.

"Nggak! Aku nggak mau ikut kamu, Fan!" Sofi menerjang Ifan yang menyeretnya paksa untuk memboncengnya.

Raina tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, tapi suara mengerikan—Raina tebak helm Sofi jatuh di batako—membuatnya semakin ngilu.

"Lepas, Fan!" Sofi berteriak lagi. "Lepas!"

Raina memberanikan diri melongokkan kepala, dan ternganga saat melihat Sofi sedang meludahi sosok yang menghajarnya. 

“KURANG AJAR!” Ifan, bagai banteng terluka, beringas dan hilang kendali, mendorong tubuh ramping Sofi yang tak sebanding sama sekali dengan tubuh kekarnya, hingga Sofi terjerembap. Kening gadis itu menghantam batako, berderak mengerikan.

Kekerasan di depan matanya sudah tidak bisa didiamkan lagi. Dibanjiri adrenalin yang memompa jantungnya berpacu hebat, Raina berhenti merekam dan lari menghampiri Sofi.

“Heh, kurang ajar! Beraninya sama cewek!” Gadis itu mendorong tubuh kekar Ifan, yang seketika mengalihkan perhatian padanya.

“Mbak, jangan, Mbak!” Sofi berdiri, terhuyung memegangi kepalanya, lalu jatuh terduduk lagi. “Fan, stop, Fan!” Dia memekik saat tangan Ifan terulur begitu cepatnya, menyambar kerah baju Raina.

Raina tergemap. Matanya terpejam. Dia melihat jelas kepalan tangan cowok itu, mengarah langsung ke wajahnya. Namun, dalam satu gerakan kilat, Sofi merangsek di antara mereka, tepat saat Ifan meluncurkan pukulan. Apa yang terjadi padanya seperti diputar dalam gerak yang sangat lambat. Raina jelas sekali melihat kepalan tangan kekar Ifan mendarat di pipi Sofi, gadis itu berdeguk, terhuyung limbung ke belakang, menabrak tubuhnya. Mereka ambruk, saling timpa, Raina bisa merasakan pinggul dan tulang punggungnya berderak menubruk batako parkiran.

Kemudian, untuk beberapa waktu yang terasa lama sekali, mereka hanya terkapar di sana. Sofi tak ada tanda-tanda bisa bangun. Raina hanya bisa mendengar rintihan gadis itu, yang menusuk-nusuk ulu hatinya; bahkan lebih menyakitkan dibanding saat dia diselingkuhi Bagas. Raina mencoba duduk, mengangkat pelan kepala Sofi yang menindih pahanya.

“So-Sof, Sof, kamu nggak apa-apa?” Bibir Raina bergetar. Sofi, matanya separuh terbuka, terengah. Dia mengangguk pelan. 

Saat itulah langkah-langkah setengah berlari, terdengar. Krisna dan pegawai kafe lainnya muncul. 

"Ada apaan ini, woi!" Krisna berteriak lantang, membuat Ifan belingsatan. Cowok itu, sempat tergelincir dan jatuh, langsung naik ke motornya, meninggalkan parkiran. Krisna mengejar sampai beberapa meter jauhnya, berusaha meraih bahu Ifan, tapi Ifan mengendarai motor dengan garang, melesat cepat. Krisna mengumpat. Kehabisan napas.

Di parkiran, Sofi sudah bisa duduk. Semua teman-temannya mengerubungi, wajah-wajah khawatir, marah. Raina apalagi. Dia hanya bisa termangu memandangi Sofi yang kotor, berdarah di pelipis, dan sedang menangis terisak-isak.

"Siapa cowok itu, Sof? Kamu harus lapor polisi!" tukas Krisna berapi-api.

Raina mengalihkan pandangan pada atasan Sofi itu, menggeleng pelan. Biar dia nangis dulu, begitu maksudnya. Semua paham isyarat Raina. Keheningan menggantung. Debur ombak bahkan terdengar begitu jauh. Salah satu temannya datang sambil membawa kotak P3K, menunggu Sofi siap diobati.

Raina meremas bahu gadis berambut ombak yang jelita itu. Kesiur angin pantai sampai di pelataran kafe, membuatnya bergidik. Kini dia sudah dapat jawabannya—pertanyaan yang terlintas saat pertama bertemu Sofi. Apa itu di dagunya, noda tak terlalu kentara yang mengusik kecantikannya. Raina tahu sekarang; itu lebam.[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hello, Me (30)
22599      1635     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Anikala
2657      1001     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Ilona : My Spotted Skin
927      623     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Winter Elegy
930      608     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Kini Hidup Kembali
113      100     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
Trying Other People's World
255      206     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Aku Ibu Bipolar
59      52     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Da Capo al Fine
514      388     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Lovebolisme
264      221     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Our Perfect Times
2147      1152     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...