Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
MENU
About Us  

Pernikahan mungkin adalah hal yang indah. Itulah yang dulu wanita itu percayai saat menyerahkan sepenuh hatinya pada seorang pemuda yang bahkan belum lulus SMA. Mereka belum lulus SMA, dihinggapi cinta besar yang menggebu-gebu, nyaris menabrak selusin aturan. Saat ibu si pemuda akhirnya memutuskan untuk menikahkan mereka segera setelah lulus—bahkan belum menerima ijazah—dia lega. Akhirnya, dia bisa lari dari belenggu bapaknya yang otoriter dan keras—yang sedikit-sedikit tak segan menghajarnya—juga dari rumah sumpek yang terlalu banyak penghuni. 

Cinta di masa-masa itu memang indah, seolah hanya dengan itu, badai apa pun bisa dilewati. Suaminya merupakan putra dari keluarga yang cukup berada di kota kecil tersebut—usaha orangtuanya berdagang sembako melejit sukses. Maka, pasangan muda itu tak perlu mencari kerja ke sana kemari. Orangtua si suami—mertuanya—memberi modal untuk membuka toko di rumah. 

Semua berjalan mulus, awalnya. Pernikahan yang indah, seperti ekspektasinya. Mertua yang baik, suami yang—walau kadang masih kekanakan—setidaknya bisa memberinya uang. Walaupun, dia menyadari, sang suami lebih sibuk tidur dan main PS, jarang membantunya mengelola toko. Tak mengapa, dia masih maklum. Mereka masih begitu muda. Dan biar bagaimanapun, ini semua pemberian orangtua suaminya.

Dua tahun kemudian, lahirlah putri cantik mereka. Raina. Mata sipit dan lesung pipi bayi mungil itu meluluhkan hati siapa saja. Desas-desus tentangnya yang menikah muda karena hamil duluan pun lenyap. Nyatanya memang tidak begitu. Dia dan suaminya menikah karena saling cinta.

Dan waktu bergulir. Roda berputar. Takdir kehidupan berganti. Yang di atas tidak akan selamanya di atas, yang di bawah perlahan bangkit, jika terus mengayuh tanpa goyah. Begitulah nasib membenamkan ekspektasinya. Usaha sang mertua bangkrut. Tak menunggu lama, usahanya di rumah menyusul. Modal tidak kembali, semua digunakan untuk bertahan hidup. Tabiat sang suami yang memang dasarnya pemalas, tetap tak tergerak meski menyaksikan kehidupan mereka berderak retak. 

Umurnya baru dua puluhan awal saat itu, belum terlalu matang untuk mengemban peran sebagai istri, apalagi ibu. Kesulitan hidup yang tiba-tiba membuat emosinya mudah tersulut. Pertengkaran hampir setiap hari terjadi, sementara suaminya masih tak mau apa-apa. Alih-alih mulai bekerja, lelaki itu malah sibuk menjual sisa-sisa barang yang masih bisa dia jual—kursi meja tamu, lemari jati, sampai emas terakhir milik sang istri.

Dia mungkin memang belum siap menjadi seorang ibu. Namun, naluri keibuan tak perlu menanyakan siap atau tidakkah seseorang. Bahkan sejak Raina masih dalam bentuk janin, keinginan untuk melindungi dan memberi yang terbaik padanya sudah tumbuh. Bingung dan geram karena tingkah sang suami,  tak peduli akan seperti apa rumah tangganya—atau bahkan putrinya yang kala itu masih balita—dia memutuskan pergi. 

Merantau ke kota besar adalah pilihan satu-satunya yang terbetik di pikirannya kala itu. Mungkin gajinya lebih tinggi, dan yang terpenting, dia tidak akan melihat hidung suaminya yang selalu membuatnya meradang. Berat hati, dia meninggalkan Raina kecil yang diasuh kedua mertua. Saat itu bercerai belum terpikirkan olehnya. Dia masih memiliki setitik harapan untuk bertahan.

Satu bulan sekali, dia pulang untuk melepas rindu pada Raina yang tak mengenalnya. Balita itu takut pada sang mama. Terkoyaklah hati perempuan itu. Dia melakukan semua ini demi putrinya, bukan? Suaminya—dia sangka akhirnya berubah juga—mau bersusah-susah jadi tukang ojek. Tak mengapa. Dia sudah cukup senang.

Musim berganti. Tahun bergulir. Dia mulai merasa lelah. Kerja siang malam, tapi gajinya habis hanya untuk mencukupi kebutuhan. Suaminya, si pemalas, sudah bosan bekerja. Lelaki itu merasa aman mengandalkan istrinya. 

Geregetan, dia nekat mendaftarkan diri ke PJTKI—mengemis-ngemis modal pada bapaknya yang ganas. Tidak ada yang bisa dia harapkan bagi lulusan SMA di negeri ini. Gajinya secuil, kerjaannya tiada habis. Tak menunggu lama, karena dia bersemangat dan masih muda—mudah saja belajar bahasa—dia dapat panggilan. Hongkong adalah tempat menetapnya untuk dua tahun ke depan.

Dia dan suaminya resmi berpisah, meski belum mengurus perceraian. Rumah tangga itu tergantung-gantung tanpa kepastian, demikian lamanya. Raina dipindah tangankan pada ibu dan bapaknya—mungkin menjalani didikan penuh kekerasan sama seperti dia dulu. Dia tidak pernah mengharapkan itu. Akan tetapi, dia tak punya pilihan. Setiap bulan, dia mengirim uang untuk Raina, untuk orangtuanya. Dia tak mau peduli lagi pada nasib sang suami—lelaki itu saja tega menjadikannya tulang punggung yang kepayahan begini.

Bergelut dengan kesabaran, meringkuk dengan tangisan di malam-malam yang selalu terasa panjang—meratapi nasibnya, merindukan putrinya—dia menegarkan hati. Setiap dua tahun dia kembali ke tanah air, berharap putrinya yang terus tumbuh tanpa pernah dia dampingi, menyambutnya dengan hangat. Memeluknya, berterimakasih padanya.

Namun, dia tak pernah menerima itu semua. Rainanya, setiap kali ikut menjemput di bandara, hanya menatapnya asing—berjarak saat dia mendekat, menjawab seadanya saat dia bicara. Dia selalu merasa kecewa pada dirinya sendiri. Dia marah sekali pada sang suami. Tapi, yang paling membuatnya pedih adalah karena sejujurnya, dia sudah tahu sejak awal, pengorbanannya akan dibayar dengan hal ini—kehilangan Raina.

Sekarang, di umurnya yang menginjak empat puluh, saat seharusnya luka tentang mantan suami sudah lebur dan jauh terkubur, dia tetap merasa terhantui. Melihat Raina beranjak dewasa menumbuhkan rasa bangga sekaligus perih di dadanya. Bangga, karena nyatanya dia bisa membesarkan sang putri seorang diri—tumbuh melebihi ekspektasinya, cantik, bahkan bisa berkuliah. Perih, karena menyadari di dalam darah gadis itu juga mengalir darah sang mantan suami, yang kini menjadi orang yang paling dia benci. Menatap Raina selalu mengingatkannya pada lelaki tak bertanggungjawab itu.

Dia masih bergumul dengan perasaannya. Masih kecewa karena ekspektasi pernikahannya yang indah, kandas—sebab pasangannya tak mau bertumbuh. Tanpa dia sadari, ekspektasi itu dia bebankan pada Raina. Dia jadi sangat selektif dan selalu ingin tahu berlebihan siapa yang jadi pacar putrinya. Obesesinya untuk menjauhkan Raina dari pemuda-pemuda seperti bapaknya begitu kuat.

Di sisi lain, merasa berkuasa atas Raina karena dialah yang bersusah payah membesarkan anak itu, dia juga terobsesi mengatur semua hal tentang Raina. Harus kuliah apa, harus jadi apa, harus berpenampilan seperti apa. Muaranya hanya satu—agar sang putri bernasib mujur, mendapat pasangan yang tepat—tidak seperti dirinya.

Dia tidak pernah tahu Raina keberatan dengan itu semua. Sejak dulu, Raina kelihatan menurut-menurut saja. Tidak pernah protes, tidak pernah mengeluh. Ya, dia akui, dia memang tidak pernah bertanya apakah Raina bahagia dengan perlakuannya. Sampai tadi, saat gadis itu menumpahkan semua. Hatinya terasa bagai ditusuk belati. Kenyataan yang selama ini disangkalnya, menyeruak, dia sadari penuh kini—pengorbanannya tidak juga bisa memenangkan hati sang putri.

Salahkah aku? Wanita itu mendesah berat.

*

Bagi Raina, Bapak adalah sosok kabur yang sama tidak dikenalnya. Kenangan satu-satunya tentang pria itu hanya sebuah foto saat dirinya masih lima tahun, mungkin, berdiri di taman, Bapak merangkulnya. Dia terlihat ceria. Bapaknya juga tersenyum lebar. Kalau dilihat dari foto tersebut, Bapak tidak terlihat seperti lelaki kurang ajar. Sama seperti Bagas, gadis itu mengesah. Semua menyangka Bagas adalah pacar green flag.

Raina sejak kecil tak pernah benar-benar menyadari siapa orangtuanya. Bapak, dia hanya ada beberapa tahun untuknya. Sementara Mama, hanya menemuinya satu bulan sekali, dua tahun sekali. Yang ada hanya kiriman uang. Pengasuhnya adalah Kakek dan Nenek, paman dan bibi, yang mengurusnya sambil lalu tanpa pernah serius memperhatikannya.

Raina tidak pernah merasa terisi. Jiwanya selalu kosong. Dia tumbuh jadi remaja minderan, selalu murung dan tidak percaya diri, merasa dirinya tidak diterima di mana-mana. Status Mama yang seorang TKW dan janda, jujur saja, membuatnya malu. Dia selalu berkelit setiap kali ada yang menanyakan itu. Tentang bapaknya, apalagi. Dia bahkan bingung harus mengarang cerita bohong macam apa untuk menutupi bapaknya yang masih ada, tapi tak pernah melakukan tugasnya.

Hasilnya, Raina menjadi pribadi yang tertutup. Dia tak punya banyak teman, karena tidak siap harus membagi rahasia keluarganya. Dia menurut apa kata Mama, selama ini, karena memang tidak punya pilihan lain. Mama selalu mengancam tidak akan mengirim uang, akan melemparnya pada Bapak—yang Raina dengar seperti hendak menelantarkannya. Semua itu membuatnya bertanya-tanya, tuluskah Mama mengurusnya, apakah wanita itu bahkan menyayanginya layaknya ibu-ibu lain, karena dia merasa menjadi beban. Dan sebagai beban, tentu dia tidak boleh rewel.

Saat dia SMP, Mama pulang dari Hongkong dan bertemu Bapak. Saat itu, Raina mengira kedua orangtuanya akan memulai kesempatan kedua. Setitik harap muncul di hatinya. Biar bagaimanapun, dia ingin merasakan bagaimana hidup dalam sebuah keluarga utuh, di satu atap. Dia tidak peduli meski bapaknya pengangguran atau apa. Dia hanya ingin seperti teman-teman, pergi sekolah diantar Bapak atau Mama.

Akan tetapi, harapan Raina tidak pernah terwujud. Bapak dan Mama bertemu bukan untuk rujuk, melainkan meresmikan perceraian di pengadilan—mengakhiri rumah tangga yang selama ini menggantung tanpa tujuan. Raina tidak tahu harus menamai perasaannya dengan sebutan apa. Remuk, dia sudah terlalu terbiasa remuk. Hampa, setiap hari dia juga merasakannya. Raina masih ingat, saat itu, kali terakhir dia melihat Bapak, Bapak memberinya uang saku. Lima puluh ribu— sebelum pria itu benar-benar pergi dari kehidupannya.

Ketika Mama akhirnya mulai bisa berdikari, terlihat sudah melupakan masa lalunya, barulah Raina sedikit punya gairah hidup. Dia selama ini selalu menumpang, merasa tidak seperti yang lain. Kini, Mama sudah bisa membangun rumah sendiri, bahkan lebih dari yang dia bayangkan. Dia mulai tahu bagaimana rasanya hidup enak, dan ketiadaan orangtua sebagai satu hal pokok terlupakan. Tak mengapa dia mengurus hidupnya sendiri.

Meski, seiring dengan naiknya roda kehidupan mereka, Mama juga semakin erat mencengkeramnya. Raina tidak pernah punya pilihan karena semua keputusan hidupnya ada di tangan Mama. Mama memang menyerahkan uang sepenuhnya padanya, tapi di lain sisi, Mama juga terlalu banyak bertanya, seolah Raina tidak bisa dipercaya. Seolah Raina akan membawa kabur semua itu, tidak bertanggungjawab seperti Bapak. Raina menguatkan diri.

Namun, dia pikir, kali ini Mama memang sudah keterlaluan. Menyuruhnya bertahan bersama Bagas dengan dalihnya, sama dengan menjerumuskannya dalam penderitaan tiada akhir. Karena itu Raina bicara. Dia sudah muak dengan semuanya. Bagas, satu-satunya pacar yang padanya dia berani membuka diri, membeberkan semua kisah pilu hidupnya, berkhianat. Rasa sakit Raina tentu berlipat-lipat. Bagas benar-benar tak menghargai kepercayaan yang dia beri.

Gadis itu menerawang menatap langit-langit kamar. Mamanya belum menelepon lagi sampai semalam ini. Aneh, biasanya dia kesal setiap kali Mama menelepon, mengirim pesan, berkali-kali dalam sehari. Hari ini, seperti ada lubang dalam dadanya. Apakah ini rasa bersalah karena dia membuat Mama menangis tadi? Atau apakah dia baru menyadari bahwa kecerewetan Mama dan segala bentuk intimidasinya adalah wujud perhatian dan kasih sayangnya?

Raina mengembuskan napas berat. Tangannya meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak diam, menelusuri balon percakapan dengan Mama. Dia menekan tombol panggil. Nada dering berdengung di telinganya. Namun, hanya itu. Tidak ada jawaban. Tidak ada sahutan.[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perahu Jumpa
582      440     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Imperfect Rotation
390      336     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
6723      2196     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Bisikan yang Hilang
119      108     3     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
TITANICNYA CINTA KITA
0      0     0     
Romance
Ketika kapal membawa harapan dan cinta mereka karam di tengah lautan, apakah cinta itu juga akan tenggelam? Arka dan Nara, sepasang kekasih yang telah menjalani tiga tahun penuh warna bersama, akhirnya siap melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, jarak memisahkan mereka saat Arka harus merantau membawa impian dan uang panai demi masa depan mereka. Perjalanan yang seharusnya menjadi a...
Let Me be a Star for You During the Day
1762      1027     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
294      260     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Layar Surya
4115      1916     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
To the Bone S2
1767      951     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
May I be Happy?
1913      975     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...