Loading...
Logo TinLit
Read Story - Penerang Dalam Duka
MENU
About Us  

“Mina, aku dan ibuku akan pulang sebentar. Nanti akan mampir lagi kalau kamu nggak keberatan.”

 

“Tolong biarkan aku sendirian untuk hari ini.”

 

Sepulangnya dari rumah sakit, Mina melihat keseluruhan di setiap sudut rumah sudah dalam keadaan bersih dan rapi. Bahkan setengah dari tugas sekolah sudah terisi padahal Mina sama sekali belum menyentuhnya. 

 

“Ini semua Lia yang mengerjakan? Bukankah ini curang namanya?” 

 

Meskipun begitu dia merasa bersyukur karena tugas yang paling menyebalkan justru sudah dikerjakan. Kini dia memanfaatkan waktunya untuk menyelesaikan tugas tersisa termasuk tugas prakarya yang membuat boneka kecil. 

 

Selama hampir dua jam, Mina benar-benar terfokus pada tugasnya sebagai anak sekolah. Sejenak melupakan hal-hal rumit bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering. 

 

“Aku harus membalas budi bagaimanapun caranya. Tetapi aku juga harus berhati-hati untuk ke depannya karena jika tidak maka Lia akan terlibat dengan masalahku lagi.” 

 

Di tengah-tengah kesibukan, Mina menjahit boneka kain, suara aneh terdengar dari halaman depan rumah. Fokusnya terganggu karena suara aneh itu, dia pun segera memeriksa barangkali itu kucingnya yang mengacau atau hal lain. 

 

“Kucing, kamu di sana? Jangan main-main di teras terlalu lama, jangan juga menyentuh pot lama milik ibuku.” 

 

Firasat buruk muncul, Mina melangkah secara perlahan agar tidak menimbulkan suara serta sangat berhati-hati dalam bertindak. 

 

Setelah beberapa saat dia menunggu respon dari kucing, akhirnya dia bersuara juga namun suaranya tidak berasal dari arah depan melainkan arah belakang. Mina menoleh, mendapati kucing hitam miliknya keluar dari kamarnya sendiri. 

 

"Hah? Kalau kucingku ada di kamar, lalu dari mana asal suara tadi?" Mina membatin dalam kebingungan. 

 

Semakin dia merasa yakin firasat buruk ini muncul bukan tanpa alasan. Mina semakin melambatkan langkah sampai ke pintu dan mengintip dengan tenang guna mencari keberadaan yang mencurigakan. Tetapi tak ada satu pun yang aneh selain pria bisu ada di depan pagar. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum ramah sambil membawa buah tangan. 

 

Beberapa saat sebelum Mina mendengar suara aneh, pria bisu yang memiliki nama Guntur itu sudah datang lebih awal. Dia menyadari ada seseorang selain Mina masuk ke dalam rumah dengan pakaian serba hitam. Guntur menatapnya tajam dan membuat orang itu sadar lalu terkejut sehingga tanpa sengaja menyenggol sebuah pot bunga kosong hingga terjatuh. 

 

Pria yang tidak diketahui identitasnya dengan cekatan pergi meninggalkan rumah Mina ke arah samping. Dia melompati dinding yang cukup tinggi dengan mudah lalu melarikan diri dan Guntur kehilangan jejaknya pada saat itu juga. 

 

"Cih, orang itu larinya cepat sekali. Dan lagi persiapannya matang. Aku jadi tidak tahu dia siapa karena pakaian tertutup," batin Guntur merasa kesal.

 

Mina hanya berdiri bersembunyi di balik pintu yang memang terbuka sejak awal, melihat Guntur yang melambaikan tangan dan berharap dapat memberikannya sesuatu. 

 

“Ternyata suara aneh itu dari paman? Kenapa malah menggangguku di saat seperti ini?” tanya Mina yang jengkel.

 

Guntur menyatukan kedua tangannya ke depan, memberi isyarat minta maaf karena telah mengganggu urusan Mina. Lalu tak lupa dia memberikan buah tangan berupa salad buah yang sehat buatan istrinya. Dia menunjukkan itu dengan bangga seolah itu buatannya sendiri.

 

“Terima kasih sudah memberikan ini padaku, paman Guntur. Sejujurnya aku tidak berani memakannya tapi aku akan terima ini lalu mencobanya,” ucap Mina yang merasa sedikit bersalah lantas membuka pagar sebentar guna mengambil pemberian darinya. 

 

“Ngomong-ngomong kenapa paman berada di sini? Apa benar karena kebetulan?”

 

Guntur mengedikkan bahu, bertanya apa maksud ucapan Mina.

 

Mina menghela napas sejenak sebelum akhirnya mengatakan, “Jangan kira saya tidak tahu ada hal lain. Ini bukan tentang masalah foto itu tapi benar-benar yang lain.” 

 

Kemudian Mina menoleh ke belakang, lalu menunjuk ke arah pot kosong yang terjatuh. 

 

“Bukan kucing saya yang melakukannya dan saya cukup yakin pot itu sebelumnya berdiri tegak. Tapi saya juga yakin itu bukan ulah paman,” kata Mina. 

 

Dia kembali menghadap Guntur dan sekali lagi berkata, “Saya yakin ada orang yang menerobos.”

 

Guntur hanya diam tanpa niat ingin mengungkapkannya. Terlebih dia juga tidak membawa pena ataupun kertas untuk menulis jawaban dan menjadikan itu sebagai alasan. 

 

“Paman?” 

 

Guntur menggelengkan kepala secara perlahan lantas berbalik badan, dia berniat ingin pergi tapi Mina menahannya. 

 

“Paman! Jawab dulu sebelum pergi!” teriak Mina. 

 

Guntur dengan terpaksa menghentikan langkahnya lantas kembali menghadap gadis keras kepala itu. Kemudian menunjuk telinga kanan dan kiri sambil menggelengkan kepala, lalu menunjuk ke arah pot bunga kosong dengan ekspresi bingung. 

 

“Paman bukan orang biasa. Nggak ada gunanya berbohong di hadapanku.” Masih dengan sifat yang begitu sombong, Mina melipat kedua lengan ke depan dada sambil menatap sengit pada pria bisu itu. 

 

Guntur menunjuk Mina dengan ekspresi kesal.

 

“Ya sudah kalau nggak mau bilang. Aku bisa cari pelakunya sendirian,” ujar Mina yang kemudian masuk ke dalam rumah. 

 

Akhirnya Guntur pun pergi, tetapi tidak lama setelah itu Guntur membawa Nindia untuk bertamu ke rumah Mina. Tanpa berpikir panjang Mina segera menyambut para tamu masuk ke dalam rumah dengan girang. 

 

“Tidak perlu basa-basi. Saya ingin segera tahu siapa yang menerobos masuk ke rumah saya.”

 

“Sebelumnya, kamu pergi ke rumah sakit bersama ibu dan anak itu bukan?” Nindia bertanya lalu Mina menganggukkan kepala.

 

“Selama rumah ini kosong, tidak ada seorang pun yang berniat menerobos. Dan hari ini adalah pertama kalinya terjadi, beruntung suami ibu tahu kejadiannya langsung,” jelas Nindia. 

 

“Saya yakin paman mengetahui hal ini karena kebetulan tapi kedatangan paman terlalu tepat waktu jadi membuat anak gadis yang polos ini jadi curiga,” ungkap Mina sambil tersenyum ramah namun itu palsu. Dia bahkan sengaja bersikap sok imut dan membuat pasutri itu kehilangan muka di depannya. 

 

Guntur menunjuk Mina, masih dengan ekspresi yang sama. Dia sangat kesal karena semakin hari Mina semakin berani padanya. Sedangkan Nindia menghela napas panjang dan pasrah terhadap keadaan yang ada. 

 

“Baiklah.” Nindia menarik jari telunjuk suaminya dari hadapan Mina. “Kamu memang putri sulung dari senior kami. Kepekaan dan kecerdasanmu sungguh mirip dengannya.”

 

“Tolong jangan bertele-tele. Saya masih harus mengerjakan tugas sekolah,” sahut Mina blak-blakan.

 

“Kalau yang ini mungkin mirip ibumu,” sindir Nindia. “Baiklah mari kita persingkat saja. Kami memang masih menguntitmu sepanjang hari dengan diam-diam jadi kami tahu apa saja yang kamu lakukan dan bersama siapa.”

 

“Oh ternyata begitu.”

 

“Tapi salad buah ini ...maksudnya saat suami ibu mengantarkan makanan itu memang niat awal ibu.” Dia kembali menjelaskan alasan itu.

 

“Jadi paman benar-benar kebetulan melihat orang yang masuk ke dalam rumahku?” Mina kembali memastikan. 

 

Nindia melihat gerakan isyarat dari suaminya yang kini sedang marah-marah.

 

“Siapa yang mengatakan kalau seseorang menerobos rumahmu?” Nindia menerjemahkannya.

 

“Ibu sendiri yang bilang pada saya,” jawabnya santai.

 

Nindia pernah berkata, “Selama rumah ini kosong, tidak ada seorang pun yang berniat menerobos. Dan hari ini adalah pertama kalinya terjadi.”  

 

Lalu Guntur secara tidak langsung bertanya, “Memangnya siapa yang mengatakan kalau ada seseorang yang menerobos rumahmu?”

 

Tentu saja Mina dengan santai menjawab dengan menyebutkan kembali kalimat yang pernah Nindia ucapkan. 

 

“Ibu bilang rumah ini belum pernah diterobos seseorang dan ini adalah pertama kalinya. Bukankah itu berarti ibu mengakui kalau memang ada orang yang berniat menerobos masuk ke dalam rumahku?” 

 

Seketika situasi hening dalam sekejap. Baik itu Nindia maupun Guntur diam seribu bahasa. Mereka kalah telak dalam mencari alasan yang sebenarnya mampu diputar-balikan lagi dengan pernyataan Mina. 

 

“Aku menyerah,” ucap Nindia sambil menatap suaminya dengan dahi berkerut. 

 

“Kami juga pernah bilang ayahmu punya banyak musuh. Kami mengawasimu karena memang tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu,” tutur Nindia yang kembali menatap Mina.

 

“Lalu itu artinya kalian tahu apa saja yang saya lakukan selama ini?” Mina bertanya dan Nindia menjawab, “Benar.”

 

“Kalian tahu kalau saya pernah membolos sekolah?” Sekali lagi Mina bertanya dan jawabannya masih sama.

 

“Kalian tahu kalau saya mengenakan pakaian dewasa hitam dan putih?” Ini adalah pertanyaan yang seharusnya adalah aib dan mereka ternyata juga mengetahui hal itu.

 

“Kalau begitu kalian juga tahu saya berinteraksi dengan target dalam foto?” Termasuk pertanyaan ini, mereka mengakui bahwa mereka juga tahu.

 

“Termasuk saat saya sedang kencan?”

“Itu yang paling jelas,” jawab Nindia sambil berpaling darinya.

 

Dihujani banyak pertanyaan sekaligus tak membuat Nindia ragu menjawab. Dia menjawab semuanya dengan santai tanpa menunjukkan ekspresi yang jelas. 

 

“Apa kalian juga mendengar semua percakapan kami?” Suara Mina saat bertanya yang ke-6 kalinya tiba-tiba menjadi pelan.

 

“Maaf untuk itu, Mina. Kami terpaksa.” 

 

“Kalian tidak menghargai privasi saya sama sekali. Ini sama saja menyebar aib. Tidak tahukah seberapa malunya saya karena hal ini? Saya benar-benar kecewa ada teman ayah yang seperti ini.”

 

“Mina, kami melakukannya dengan terpaksa. Jika tidak kami akan selangkah terlambat seperti kejadian penculikan itu,” jelas Nindia. 

 

“Baiklah. Anggap saja karena kalian tidak mau melalaikan permintaan dari ayah saya.”

 

“Kamu juga harusnya tahu kalau nyawamu sedang diincar oleh dua orang itu.”

 

“Berkat saya kalian menemukan target itu dengan mudah dan berkat kalian yang menunjukkan foto itu, saya juga bisa menemukan banyak hal.”

 

Situasi kembali hening selama beberapa waktu. Tiada percakapan berlanjut di antara mereka. Selain merasa canggung bahkan menggerakkan sedikit jari saja seperti orang bersalah. Mina pun tetap diam di tempat sambil memandangi salad buah yang tidak dibukanya sama sekali. 

 

“Albert Ginnia lalu Aldi adalah dua orang yang sudah pasti pelakunya. Tapi keberadaan mereka sekarang masih belum saya ketahui,” ungkap Mina secara tiba-tiba. 

 

“Dan Hendrik juga termasuk orang yang saya curigai meskipun tidak ada di dalam daftar target kalian,” lanjutnya.

 

“Itu karena dia hanya teman mereka dan tidak terlibat apa pun. Kami sudah menyelidikinya,” sahut Nindia. 

 

“Justru itu yang mengerikan dari seorang manusia,” timpal Mina.

 

Mina teringat dengan saran Lia yang menyuruhnya untuk menjauh dari Hendrik karena dirasa berbahaya. Kini setelah dipikir baik-baik, tidak ada salahnya mencurigai seseorang meskipun dia terlihat baik sekalipun. 

 

“Tapi memang benar dia adalah orang baik. Saya menyukainya dan saya akan memanfaatkan hubungan percintaan ini agar bisa melanjutkan rencana ke depannya.” 

 

Keputusan telah dibuat setelah Nindia dan Guntur datang kemari. Berkat mereka yang dengan jelas mengatakan ada seseorang yang berniat menerobos masuk ke dalam rumahnya hari ini, Mina jadi semakin yakin dua target dalam foto masih belum melepaskannya. 

 

Pasutri itu akhirnya pergi setelah puas bertamu, akan tetapi bukan berarti mereka akan melepas pengawasan terhadap Mina begitu saja. Mereka membuat seseorang yang entah siapa berjaga di sekitar rumah. Entah siapa, dia tidak terlihat di mana pun meski Mina mencarinya di segala sisi rumah. Seolah memang sejak awal tidak ada.

 

“Aku penasaran siapa yang mereka kirim tapi wujudnya malah seperti hantu. Terserah lah.” 

 

***

 

Hari telah berganti, Mina akhirnya kembali bersekolah sebelum tenggat waktu tugasnya berakhir. Seperti biasa hanya berdua dengan Lia di setiap waktu, lantaran mereka telah dikucilkan dari semua murid di sekolah itu. 

 

Namun mereka terlihat bahagia karena tidak begitu mementingkan kawan lama yang menghilang. Mereka berdua bersikap biasa saja seakan dari awal memang tidak pernah berteman dengan mereka. 

 

Tugas dari segala tugas yang hampir seperti ujian neraka telah diselesaikan sempurna juga berkat bantuan Lia yang mengerjakan setengah dari semua tugasnya. 

 

“Mina, mereka semua menatap kita.” Lia berbisik. 

 

Mina tertawa dengan perhatiannya yang terpecah ke arah layar ponsel di balik saku rok. Dia lebih mementingkan percakapan pribadi dengan Hendrik dibandingkan dengan murid-murid yang sibuk bergosip di belakang.

 

“Apa kita harus menyapanya?”

“Jangan. Kamu pikir mereka bakal suka dengan sapaan kita? Yang ada kita semakin dicaci-maki.”

 

Kali ini Lia yang tertawa. Dia tidak berpikir sampai situ karena hanya merasa risih saja dengan mereka yang tidak pernah lelah membicarakan satu hal saja.

 

“Mina, sejak tadi kamu terlalu sibuk dengan sesuatu. Apa yang ada di dalam saku rokmu? Ponsel?” 

 

“Kamu diam saja. Nggak perlu ikut campur.”

 

“Pasti orang itu lagi. Sudah kubilang jangan dekati dia. Dia itu nggak terlihat seperti orang baik,” ujar Lia. Dia merenggut kesal karena sarannya tidak didengarkan.

 

“Aku sudah dengar saranmu tapi ini pilihanku. Jadi jangan ikut campur.”

 

“Ya udah. Awas ya kalau nanti nangis karena putus,” ejek Lia.

 

“Kalau aku nangis, mulai saat itu juga aku nggak akan pernah pacaran lagi. Ini janjiku.” Mina berkata dengan serius.

 

“Aku pegang kata-katamu, Mina. Tapi aku berharap nggak akan ada orang yang nyakitin hati kamu.”

 

“Terlambat. Bukannya kita berdua sudah mengalami patah hati?” Mina menyindir semua murid yang ada di sekolah ini. 

 

Tak ada yang abadi dalam suatu hubungan apa saja bentuknya. Mudah berubah dan mudah lenyap. Bagaimanapun hubungan tetap menjadi rentan namun juga kuat karena sebuah alasan. 

 

Di satu sisi ada seorang guru yang begitu perhatian pada Mina. Dia adalah pengajar bahasa asing, bahasa Jepang. Senpai sudah lama tidak terlihat, kini berada di sebuah ruangan komputer di lantai dua. 

 

Bersama Lia, Mina datang karena permintaannya. Terlihat senpai yang sedikit berwajah pucat dan sesekali batuk. 

 

“Maaf karena pada akhirnya senpai tidak sempat menjengukmu. Apa kamu sudah sehat?”

 

“Sudah baik, senpai. Setidaknya saya sudah kembali bersekolah,” jawab Mina. 

 

“Baguslah kalau begitu.”

 

Selain insiden penculikan dan sakit demam, semua hal buruk yang pernah terjadi pada Mina tidak pernah diberitahukan oleh pihak sekolah. Bahkan yang mengetahuinya pun hanya sedikit orang. 

 

Lia sendiri tidak tahu bahwa ada orang yang berniat menerobos masuk ke dalam rumah Mina di siang hari, karena memang Mina ingin menyembunyikannya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Saya pernah mendapatkan saran dari penerbit yang menerbitkan novel saya. Katanya, kita harus lebih banyak membaca novel/kisah fiksi agar naskah kita menjadi lebih bagus.

    Comment on chapter Bagian Penutup. Hancurnya Belenggu, Hancurnya Perasaan.
Similar Tags
Ameteur
189      169     2     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Resonantia
950      656     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Dimension of desire
490      375     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Cinderella And The Bad Prince
3680      2083     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
7051      2203     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Finding My Way
1866      1157     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Kainga
3103      1531     13     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Sebab Pria Tidak Berduka
269      226     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
My First love Is Dad Dead
113      100     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Monokrom
208      179     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...