Loading...
Logo TinLit
Read Story - 40 Hari Terakhir
MENU
About Us  

Randy masih tidak habis pikir bagaimana mungkin orang semiskin Raina menolak uang pemberian Joana mentah-mentah hanya karena tidak mau dianggap berbohong, padahal dia sendiri sangat membutuhkannya?

“Harusnya lo ambil saja uang tadi,” ucap Randy saat keduanya dalam perjalanan pulang, di dalam angkutan kota yang kebetulan sedang lenggang. Hingga Randy yang sebenarnya tidak butuh tempat duduk, bisa menempati tempat kosong sendirian tanpa berpangkuan dengan penumpang lain. Karena meskipun dia tidak kelihatan, duduk bersama orang asing tidak membuatnya nyaman. “Lumayan kan buat bayar hutang.”

Namun, Raina bungkam.

Selain karena tidak mau dianggap aneh oleh penumpang lain karena ngomong sendiri, Raina juga masih kepikiran soal Joana.

Bagaimana mungkin perempuan sebaik Joana bisa jatuh cinta pada pria di sebelahnya? Kenapa juga Joana berkata kalau bukan kepadanya lah Randy harusnya meminta maaf?

“Duit dia itu banyak, sejuta bukan apa-apa buat dia,” sambung Randy.

“Kiri, Bang!” Raina mengetuk atap angkutan kota begitu sampai di depan gang kontrakannya, lalu dia turun setelah membayar. Disusul oleh Randy yang masih mengoceh di belakangnya.

“Lo kok diam saja sih? Marah?”

Raina masih bergeming. Melewati jalanan becek sisa hujan sore tadi dengan penuh kehati-hatian, takut tergelincir. Belum lagi saluran air sudah mulai naik, mengangkat kotoran dari dalam selokan.

“Harusnya kan gue yang marah karena lo nggak nurutin permintaan gue? Apa kata gue, Joana itu bukan perempuan baik-baik. Gue jadi kayak begini gara-gara dia. Kalau saja dia nggak –”

“Bisa diam, nggak?” Bentakan Raina seketika membuat mulut Randy berhenti. Tatapan mata gadis dua puluh tahun dengan mata iris mata hitam sempurna itu terarah tajam. “Ceriwis banget jadi cowok. Gue capek, mau istirahat dulu.”

“Kalau lo istirahat nanti kelamaan, nasib gue bagaimana?”

“Ya nggak gimana-gimana!” Raina berbelok menaiki tangga gedung tempatnya tinggal yang kebetulan sore itu telah sepi, maklum saja kebanyakan orang di sana adalah pekerja pabrik, yang mana hampir sangat jarang berada di rumah, pun anak-anak pada di dalam rumah begitu malam tiba. Menghabiskan sisa hari dengan bermain ponsel atau menonton televisi. “Lagian, lo minta tolong tapi nggak jujur.”

“Jujur, apa?”

Raina menghela napas pendek, lantas memutar bola matanya malas. “Lo nggak dengar apa yang Joana bilang tadi?”

“Lo percaya apa kata Joana?”

“Ya jelas gue lebih percaya ke Joana ketimbang ke lo!” tegas Raina sembari menghentikan langkah kakinya. “Sekarang mending lo kasih tahu gue, siapa saja perempuan yang sudah pernah lo sakiti? Berapa banyak mantan lo? Biar masalah ini cepat kelar.” Dia kembali menaiki tangga. “Dan ingat! Ini nggak gratis!”

“Tenang saja kalau itu! Lo mau minta berapa? Seratus? Dua ratus?”

Sesampai di depan pintu kontrakannya, Raina segera berjongkok untuk mengambil kunci yang dia sengaja letakkan di dalam salah satu sepatu, yang sayangnya tidak berubah sama sekali. Ini berarti Leon juga belum pulang. Meskipun kecewa, tetapi Raina menolak mempertontonkannya di depan Randy.

“Nggak banyak-banyak,” jawab Raina sembari memutar lubang kunci, “yang penting cukup buat bayar hutang dan beli emas. Gue bukan orang serakah.”

Randy tersenyum kecut. “Naif banget jadi orang. Miskin saja belagu lo. Gue jamin lo bisa bilang begini karena belum kepincut duit gede saja, kalau sudah ada tuh merah-merah di depan mata, gue yakin lo juga nggak bakal nolak.”

“Sok tahu!”

“Ye! Gue memang tahu keles.” Randy ikut masuk dan duduk di kursi ruang tamu. “Jangan lo pikir gue lahir langsung kaya. Begini-begini gue pernah miskin juga, meskipun nggak separah lo sih.”

Raina juga heran kenapa kini dia malah menerima tawaran aneh Randy. Padahal, sejak kecil dia selalu diperingatkan oleh ibunya untuk tidak percaya apalagi sampai membuat perjanjian dengan setan.

*_*

Selepas mandi dan berganti pakaian, Raina bergegas memasak mi instan untuk makan malam. Hanya inilah yang bisa dia nikmati di kala uang pas-pasan di kantong. Bahkan untuk membeli nasi saja dia harus berpikir jutaan kali. Untungnya, dia masih bisa makan enak di siang hari. Lagi pula, makanan jatah dari rumah sakit nggak buruk-buruk amat, malah sangat enak meskipun banyak dari teman kerjanya tidak suka karena nasinya terlalu lembek.

Sementara itu, di seberang meja Randy hanya memperhatikan Raina sambil sesekali menggigiti bibirnya sendiri. Jelas sekali kalau pria itu kelaparan, tertarik dengan mi kuah milik Raina yang aromanya menggugah selera.

“Maaf, tapi gue nggak bisa ngasih makan setan,” goda Raina. “Syirik.”

“Bilang saja kalau lo pelit!” Randy merespons sebal. “Dikit saja. Kuahnya doang. Lagian kan nggak bisa masuk juga ke mulut gue. Nggak akan berkurang itu mi.”

“Tetap saja, nggak boleh!” tegas Raina. “Nanti rasanya jadi nggak sedap.” Dia mengangkat mi menggunakan garpu, lalu menyeruputnya nikmat.

“Awas saja kalau gue sudah bangun nanti, gue bakal borong mi ini sepabrik-pabriknya. Oh iya, omong-omong laki lo nggak balik lagi?”

Raina yang tak mau masalahnya diungkit langsung berkata, “Daripada ngomongin masalah gue, mending lo buat deh daftar orang-orang yang perlu kita datangi dan masalahnya apa. Biar enak. Biar besok sore gue bisa langsung datangi. Sebentar!” Dia menjeda waktu makannya dengan berlari ke kamar, mengambil selembar kertas dan pulpen untuk mencatat. “Kalau perlu lengkap beserta masalah dan apa yang mau lo katakan ke mereka.”

*_*

Monalisa Paramitha Sari baru tiba di rumah hari telah larut, beruntung Mbok Yem, pengurus rumahnya, dengan sigap membukakannya gerbang.

“Lembur lagi, Non?”

“Iya, Mbok. Biar pekan besok bisa libur.”

“Mau saya siapkan makan malam?”

Sambil menenteng tas kerjanya, Mona menggeleng. “Saya tadi sudah makan malam di kantor. Mau langsung mandi saja. Oh iya, Mama dan Dita sudah tidur?”

“Ibu tidur sejak sore, Non. Habis minum obat langsung istirahat. Kalau Non Dita masih belajar di kamar. Saya sudah nyuruh dia tidur, tapi katanya mau tunggu Non Mona.”

Mendengar penjelasan wanita tua itu, Mona hanya bisa tersenyum tipis. Karena dia sendiri pun sudah khatam bagaimana sikap adiknya tersebut. “Oh iya, tadi kata Mbok ada yang cari saya? Siapa ya?”

“Saya juga kurang tahu, Non. Yang jelas dia bilang mau ketemu Non Mona.”

“Namanya?”

“Kalau nggak salah Rana, atau Rena.”

“Rena?”

“Orangnya masih muda, Non. Masih anak-anak malahan. Seumuran Non Tiana.”

“Apa mungkin temannya Tia?”

“Nggak deh kayaknya, Non. Lha wong dia bilang mau ketemu sama Non Mona.”

Sejak ayahnya tiada dan ibunya terkena kanker, Mona memang mengambil peran untuk menggantikan posisi kedua orang tuanya bagi kedua adiknya. Bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga menjaga supaya Tia dan Dita bisa tumbuh dengan baik.

Itulah kenapa saat dia mendapat kabar dari Mbok Yem ada gadis muda mencarinya, dia yakin seratus persen kalau itu kawan Tiana.

Mungkinkah adiknya lagi-lagi berbuat masalah di kampus?

Kecemasan ini bukan tanpa sebab mengingat dalam setahun ini saja, Tiana sudah terlibat dalam masalah demonstrasi mahasiswa. Padahal Mona sudah mewanti-wantinya untuk tidak ikut kegiatan politik semacam itu. Apalagi, sekarang mereka bukan keluarga kaya. Ketimbang untuk menebus Tiana dari penjara, uang mereka lebih baik digunakan untuk membiayai pengobatan sang ibu.

Ketika Mona membuka pintu kamar adik bungsunya, benar saja Dita masih berada di meja belajar, mencorat-coret kertas menggunakan pensil. Gadis sepuluh tahun itu spontan menoleh, tersenyum menyambut kedatangan sang kakak.

“Aku lagi gambar pantai!” Dita mengangkat kertas untuk memamerkannya. Tampak coretan indah di sana, sebuah pantai lengkap dengan ombak dan daun kelapa, juga potret keluarga mereka yang masih utuh tengah berkemah di bawahnya. “Kapan kita bisa ke pantai?”

Mona sebetulnya sudah lama ingin mewujudkan mimpi gadis kecil itu, tetapi apa boleh buat pekerjaannya tidak memberinya jeda. Mona bahkan harus mengambil banyak pekerjaan sekaligus untuk menyokong kebutuhan keluarga. Dia mendekati Dita, mengelus rambut keriting bocah itu sebelum akhirnya menciumnya. “Nanti kalau kakak libur ya?”

“Kapan liburnya?”

“Kalau sudah tidak sibuk.”

“Memang pernah nggak sibuk?”

Ironis sekali. Mona tidak bisa menyembunyikan penyesalan di wajah lelahnya. “Maafkan Kakak ya?”

“Kenapa Kak Mona minta maaf? Ini kan bukan salah Kakak. Coba saja kalau Papa masih ada, mungkin Kakak bisa ngejar impian buat lanjut kuliah ke Eropa.” Dita memutar kursi rodanya supaya bisa menatap wajah Mona lebih jelas, yang kini berjongkok mengimbanginya. Dengan lembut Dita menyentuh pipi kemerahan Mona. “Harusnya, akulah yang minta maaf ke Kakak karena hanya bisa jadi beban.”

“Kamu bukan beban, Sayang.” Mona menggenggam tangan kanan Dita dan menciumnya. “Jangan berpikir begitu lagi ya? Kakak senang bisa jagain kamu dan Mama. Yang penting sekarang, kamu harus belajar lebih giat tanpa perlu mikirin apa-apa. Kak Mona janji akan memberikan apa pun yang kamu minta. Selama Kakak masih hidup, Kakak akan selalu ada buat kalian.”

Dita yang kasihan pada kakaknya hanya bisa terdiam. Sebagai gadis yang lahir dengan kondisi istimewa, Dita kehilangan kemampuan berjalan sejak lahir dan harus menggunakan kursi roda. Kedua kakinya lumpuh. Itu kenapa dia sering kali merasa dirinya tidak berguna. Padahal dibalik itu Dita Kecil ialah pelukis hebat. Meskipun tidak pergi ke sekolah, tetapi dia mampu menjalin hubungan baik dengan sesama seniman lukis via media sosial. Bahkan di usianya yang baru sepuluh tahun, Dita mampu menghasilkan uang jajannya sendiri dari hasil berjualan lukisan.

“Kalau begitu, Kakak mau mandi dulu ya?” pamit Mona. Namun, sebelum dia berdiri tangan Dita terlebih dahulu menahannya. “Kenapa?”

“Tadi ada orang cari Kak Mona.”

“Iya, Kakak sudah tahu. Mbok yang cerita.”

“Dia nitipin ini.” Dita membuka laci di sebelahnya, mengambil sebuah amplop putih yang kemudian disodorkan pada kakaknya.

Ragu-ragu Mona menerima, lalu membukanya. Ternyata, isinya hanyalah selembar kertas putih biasa, akan tetapi apa yang tertulis di sana seketika membuat bulu kuduknya merinding: mawar biru itu, apakah untukku?

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wabi Sabi
308      219     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
My Perfect Stranger
9174      3394     2     
Romance
Eleanor dan Cedric terpaksa menjalin hubungan kontrak selama dua bulan dikarenakan skandal aneh mengenai hubungan satu malam mereka di hari Valentine. Mereka mencurigai pelaku yang menyebarkan gosip itu adalah penguntit yang mengincar mereka semenjak masih remaja, meski mereka tidak memiliki hubungan apa pun sejak dulu. Sebelum insiden itu terjadi, Eleanor mengunjungi sebuah toko buku misteri...
CLBK: Cinta Lama Belum Kelar
5501      1656     20     
Romance
Tentang Edrea Lovata, yang masih terjebak cinta untuk Kaviar Putra Liandra, mantan kekasihnya semasa SMA yang masih belum padam. Keduanya dipertemukan kembali sebagai mahasiswa di fakultas yang sama. Satu tahun berlalu dengan begitu berat sejak mereka putus. Tampaknya, Semesta masih enggan untuk berhenti mempermainkan Rea. Kavi memang kembali muncul di hadapannya. Namun, dia tidak sendiri, ada...
Ruang Suara
318      232     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Je te Vois
1798      922     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Ibu
552      330     5     
Inspirational
Aku tau ibu menyayangiku, tapi aku yakin Ayahku jauh lebih menyayangiku. tapi, sejak Ayah meninggal, aku merasa dia tak lagi menyayangiku. dia selalu memarahiku. Ya bukan memarahi sih, lebih tepatnya 'terlalu sering menasihati' sampai2 ingin tuli saja rasanya. yaa walaupun tidak menyakiti secara fisik, tapi tetap saja itu membuatku jengkel padanya. Dan perlahan mendatangkan kebencian dalam dirik...
One Step Closer
2455      1028     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
Ketika Sang Mentari Terbenam di Penghujung Samudera
240      193     2     
Short Story
Tentang hubungan seorang ayah dan putranya yang telah lama terpisah jauh
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
3998      1239     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Mesin Waktu Ke Luar Angkasa
252      208     0     
Romance
Sebuah kisah kasih tak sampai.