Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Malam itu, setelah sekian hari hanya bertukar kabar secukupnya, Radit mengirim pesan.

“Besok sore, sempat ketemu bentar? Di taman deket kos kamu. Kalau kamu sempat.”

Pesan singkat yang nggak memaksa, tapi cukup bikin jantungku berdebar. Aku butuh waktu beberapa menit sebelum membalas, dan akhirnya hanya menjawab: “Iya, insyaAllah.”

Kami bertemu keesokan harinya. Taman itu masih sama—masih sepi, dengan suara motor sesekali lewat di jalan samping. Aku datang lebih dulu, duduk di bangku kayu di bawah pohon trembesi besar yang mulai menggugurkan daunnya.

Radit datang dengan kemeja lusuh dan wajah lelah yang tetap terasa hangat. Ia duduk di sampingku, cukup dekat untuk membuatku merasa tenang, tapi cukup berjarak agar aku bisa tetap berpikir.

“Kamu kelihatan capek,” kataku lebih dulu.

Dia tertawa pelan. “Iya. Lagi banyak kerjaan. Tapi lebih capek nunggu kabar kamu, sih.”

Aku tersenyum. “Maaf…”

“Enggak harus minta maaf.” Radit menoleh ke arahku, matanya jujur. “Aku ngerti kok. Kamu lagi butuh waktu.”

Aku mengangguk. Lalu kami diam sejenak. Tapi diam itu nggak canggung. Justru nyaman. Lalu dia mulai bicara lagi.

“Na, aku tuh dulu juga ragu waktu pertama kali bilang suka sama kamu.”

Aku menoleh, sedikit kaget.

“Aku takut kamu cuma lihat aku sebagai orang baik, bukan orang yang benar-benar kamu mau.”

Aku membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tak menyangka dia punya keraguan yang sama.

“Aku juga gitu,” kataku jujur. “Aku takut nyakitin kamu. Takut belum bisa jadi pasangan yang utuh. Bahkan aku takut menikah hanya karena ‘sudah waktunya’, bukan karena benar-benar yakin.”

Radit mengangguk pelan. “Mungkin kita emang nggak akan pernah seratus persen yakin, Na. Tapi aku pikir… kalau kita sama-sama mau belajar, itu cukup.”

Aku menatapnya. “Belajar jadi pasangan?”

“Belajar jadi teman hidup. Belajar saling ngerti, bukan saling bener. Belajar ngobrol kayak gini terus, walaupun capek, walaupun nggak selalu sepakat.”

Obrolan itu nggak panjang, tapi terasa dalam. Ada ruang yang tiba-tiba terbuka di hatiku. Radit bukan orang yang selalu tahu jawabannya, tapi dia selalu siap mendengarkan. Dan entah kenapa, itu terasa cukup.

Sore itu, kami nggak membahas pernikahan. Kami cuma bicara tentang diri kami masing-masing. Tentang makanan favorit, mimpi masa kecil, alasan dia suka hujan, dan kenapa aku suka menulis hal random sebelum tidur.

Dan di sela semua itu, aku menyadari satu hal: mungkin proses ‘mengenal’ itu nggak berhenti di pelaminan. Tapi dimulai justru dari momen-momen seperti ini.

***

Beberapa hari setelah obrolan di taman, Radit mengajakku ke rumahnya.

“Bapak minta ketemu kamu,” ucapnya pelan saat kami makan siang di warung dekat kantor. “Nggak harus sekarang juga, tapi kalau kamu ada waktu akhir pekan…”

Aku sempat terdiam. Lalu mengangguk. “Aku bisa. Sabtu, ya?”

Sabtu siang, kami naik motor menyusuri jalan yang asing bagiku. Di sepanjang perjalanan, Radit tetap seperti biasanya—tenang, fokus pada jalanan. Tak banyak bicara, tapi sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan aku masih nyaman duduk di boncengannya.

Angin yang menerpa membuat perasaanku bercampur. Antara gugup, penasaran, dan entah—semacam perasaan yang belum kutemukan namanya. Tapi satu hal yang pasti, aku sedang diajak masuk ke dalam dunia yang lebih dalam dari Radit. Dunia yang belum pernah benar-benar aku sentuh.

Kami sampai di sebuah rumah tua sederhana dengan halaman luas. Di sampingnya ada bangunan kecil berlantai dua—di depannya terpampang papan kecil: Panti Asuhan Cahaya Kita.

Aku menelan ludah.

“Ini?” tanyaku pelan.

Radit mengangguk. “Ibu yang bangun panti ini. Dari uang pensiun dan donasi teman-temannya. Sekarang tinggal bareng anak-anak di sini.”

Kami masuk ke halaman, disambut tawa anak-anak kecil yang sedang main bola. Ada satu anak perempuan kecil yang langsung memeluk kaki Radit. “Kak Dit! Lihat gambarku!”

Radit jongkok, tertawa, dan mengelus kepala si kecil. Ia terlihat begitu hangat. Dan di saat itu, aku merasa melihat sisi dirinya yang selama ini belum sepenuhnya kutahu.

Bapaknya menerima kami dengan tenang dan ramah. Lelaki berambut putih dan senyum yang mengingatkanku pada Radit. Kami mengobrol di teras, dengan teh hangat dan biskuit yang rasanya seperti buatan rumah.

“Radit ini keras kepala. Tapi kalau sudah sayang, jarang lepas,” kata beliau sambil tertawa kecil. “Saya cuma ingin dia punya teman hidup yang juga sahabat. Bisa ngobrol, bisa diam bareng, dan bisa saling menguatkan.”

Aku tak sanggup menjawab, hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

Sore hari, sebelum pulang, aku membantu membagikan makan malam pada anak-anak panti. Radit di sampingku, sesekali menggoda mereka dengan lelucon receh. Dunia kecil itu—penuh suara, tapi terasa damai—membuatku berpikir dalam.

Di motor dalam perjalanan pulang, aku bertanya pelan.

“Dit…”

“Hmm?”

“Kalau kita lamaran… kamu siap?”

Ia tertawa kecil. “Dari dulu juga siap. Tapi aku nunggu kamu mantap.”

Aku tersenyum. Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa mantap.

***

Beberapa minggu kemudian, dua keluarga bertemu. Bukan acara besar, hanya makan bersama di ruang tamu rumahku yang hangat. Tak ada hantaran berlebihan, tak ada perhiasan yang dipamerkan. Hanya niat baik dan rencana bersama. Ibuku menyiapkan nasi rawon, ayah Radit membawa oleh-oleh dari panti, dan kami hanya duduk, saling mengenal lebih dalam.

Itu bukan hari paling mewah dalam hidupku. Tapi mungkin, itu salah satu hari paling tenang. Seperti angin sore yang mengalir pelan. Sederhana, tapi cukup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SABTU
7398      2299     13     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Sweet Like Bubble Gum
3118      1722     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Paint of Pain
3535      1976     38     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
In Her Place
2333      1260     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Reandra
5190      2056     67     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Dead Time
0      0     0     
Action
Tak ada yang tahu kapan waktu mulai berhenti. Semuanya tampak normal—sampai detik itu datang. Jam tak lagi berdetak, suara menghilang, dan dunia terasa membeku di antara hidup dan mati. Di tempat yang sunyi itu, hanya ada bayangan masa lalu yang terus berulang, seolah waktu sendiri menolak untuk bergerak maju. Setiap langkah membawa pertanyaan baru, tapi tak pernah ada jawaban yang benar-be...
Kertas Remuk
392      336     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Atraksi Manusia
967      632     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Maju Terus Pantang Kurus
4287      1699     4     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
3826      2168     1     
True Story
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...