Loading...
Logo TinLit
Read Story - Halo Benalu
MENU
About Us  

Genta melempar tubuhnya ke atas kasur seusai mandi. Mata hitam milik pria itu kosong menatap langit-langit sepi kamarnya. Jawaban Aureen di pusat café malam itu selalu membuatnya terngiang. Jawaban yang membuat dirinya harus terkesan canggung ketika berbicara dengan Rhesya. Sisi masa bodoh dalam tubuhnya seolah menghilang begitu saja.

 Genta lebih banyak diam. Hanya datang menjemput Rhesya ke sekolah, tanpa percakapan di sepanjang jalan. Mengantar gadis itu pulang tetap menjadi rutinitasnya. Namun, lagi dan lagi tanpa percakapan yang mampu Genta lontarkan. Anehnya, Rhesya juga tidak berniat bertanya apapun padanya jika ia tidak membuka pembicaraan.

 “Karena hati wanita akan mati dengan cinta pertamanya. Sejauh apapun dia menjalani kehidupan barunya dengan orang yang Tuhan berikan di kemudian hari. Tapi tetep aja, cinta pertama, pemenang di atas segalanya, Genta.”

 Genta mengacak rambutnya frustasi. Ia berguling-guling di atas bed cover-nya hanya untuk memikirkan bagaimana cara Rhesya memandang Ethan di parkiran ketika itu. Benarkah apa yang ia takutkan sekarang? Genta takut jatuh cinta pada Rhesya. Takut memberikan hatinya pada orang yang salah. Dari awal perjodohan di antara mereka juga Genta sudah dapat menduga, jika Rhesya pasti tidak setuju dengan semua yang kini mengikat mereka.

 “Genta! Di kamar?”

 Genta membuka mata, sebelum menarik tubuhnya beringsut duduk di pinggir ranjang, “iya, Bun?”

 Erlie membuka pintu kamar putranya. Senyum manis keibuan selalu menenangkan perasaan gusar Genta. Wanita itu melangkah mendekat.

 “Boleh minta tolong ke rumah Rhesya? Antarkan kue. Sekalian ajak dia main ke sini. Soalnya Abil mau datang. Elok sama Rion mau kondangan ke Bogor. Biar bisa bantu jagain Abil sama kamu. Bunda pergi kondangan juga sama ayah. Tolong ya, Genta.”

 Genta menghela napas kasar. Padahal ia sangat ingin menghindari Rhesya terlebih dahulu untuk saat ini. Namun, mengapa? Melihat bundanya begitu menyayangi Rhesya, juga berharap lebih akan hubungannya dengan Rhesya, membuat Genta jatuh dalam kebingungan. Mana mungkin ia melukai perasaan Erlie jika mengatakan ia tidak ingin dijodohkan dengan siapapun.

 “Kok bengong? Lagi ada masalah?” Erlie mengerutkan kening cemas, sambil tanganya meraih dagu Genta lembut.

 “Nggak kok, Bun. Mana kuenya?”

 “Di meja makan, ya. Ambil aja.”

 Genta mengangguk setuju. Pria itu terpaksa berdiri, lantas meraih jaket putih di gantungan balik pintu. Pikiran Genta tidak setenang langkahnya menuruni anak tangga dan mengambil bungkusan di atas meja makan. Ia melihat Cakra yang sedang memanaskan mobil di garasi, lengkap dengan pakaian batik cokelat yang senada dengan kebaya cantik bundanya tadi.

 “Hati-hati bawa motornya.” Cakra mengingatkan, ketika melihat Genta memundurkan motor di samping mobil miliknya

 “Mana Kak Elok?” tanya Genta mengenakan helm di atas motor.

 “Bentar lagi juga dateng. Buru ya, jangan lama-lama. Nanti Abil sendirian, kita juga telat.”

 “Tadi suruh hati-hati, sekarang buru-buru. Nggak konsisten nih, Ayah.”

 “Pikiran Ayah yang paling konsisten tuh punya menantu seperti Rhesya, Ta.”

 “Apa sih, Ayah. Nggak nyambung banget. Genta pergi deh.” Pria itu sampai di luar gerbang, sekaligus membuka pintunya lebar-lebar karena mendengar suara klakson mobil Rion yang tiba-tiba saja datang mengejutkan.

 “Buru, Dek. Udah telat ini. Jagain Dek Abil.” Elok berseru dari balik mobil hitam Rion.

 “Eh, Dek. Kakak nitip dong.” Itu suara Rion yang ikut menyembulkan kepala.

 “Apaan?”

 “Nitip bawa pulang calon adik ipar Kakak,” cengir Rion dengan pakaian batik yang begitu sesuai dengan tubuhnya yang atletis.

 “Aduh, Pah.” Elok tidak kuasa menahan tawa sambil menepuk pundak suaminya pelan, “malu itu lho anaknya.”

 Genta membuang napas lelah menghadapi kedua kakak gilanya. Tidak lagi-lagi menanggapi ledekan mereka, Genta menancap gas motornya kemudian menjauh dari kawasan rumah itu. Melihat bagaimana keluarganya begitu menyetujui perjodohan ini, tidak. Belum dengan kakak keduanya yang masih sibuk berkuliah di Bandung. Ia bahkan belum menghubungi wanita itu di kota orang.

Mungkin suatu saat nanti jika ada waktu senggang untuk kakaknya, ia akan banyak mengoceh dan membahas perasaan yang selama ini mengusik hari-hari Genta. Kakaknya selalu sibuk dengan studinya di semester akhir. Gilanya, bahkan hanya sesekali saja terdengar menghubungi ayah dan bunda. Genta tidak heran dengan sikap kakak keduanya itu.

 Jalanan di hari Sabtu tidak sepadat hari-hari kerja biasanya. Genta dengan lincah menyusuri jalanan kecil di antara mobil-mobil, sehingga ia tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di kompleks rumah Rhesya. Perasaan canggung mendadak terasa oleh Genta, ketika mematikan mesin motor dan melepas helm. Mengapa ia jadi banyak mementingkan perasaan?

 Genta baru saja menaiki anak tangga menuju teras, namun seseorang lebih dulu membuka pintu rumah. Tatap mereka sama-sama menyiratkan bingung. Apalagi Rhesya yang begitu tidak menduga akan mendapati seorang Genta di depan rumahnya di hari Sabtu pagi.

 “Kak?”

 “Iya. Ini ada kue dari Bunda buat kamu sama Om Ferdinan.” Genta menyodorkan bungkusan itu pada Rhesya, yang langsung diterimanya dengan senyum tipis.

 “Makasih banyak, Kak Genta. Buat Bunda juga.”

 “Bilang makasihnya langsung aja, yuk.”

 “Langsung?”

 “Bunda minta lo ke rumah. Main sama Abil bareng gue, soalnya orang rumah mau kondangan ke Bogor.”

 “Sekarang, Kak? Gue belum mandi.”

 “Belum mandi, mau keluar. Ke mana?” tanya Genta.

 “Mau ambil yang buat siram taneman itu, Kak. Tadi ketinggalan di taman depan.”

 “Mandi dulu aja, gue tunggu.”

 “Serius, Kak?”

 “Iya.”

 “Ya udah masuk dulu, Kak Genta. Tunggu bentar ya, Kak.”

Genta menahan lengan Rhesya cepat. Angin pagi pukul 10 itu menerbangkan rambut keduanya. Tatap mata Genta yang selalu menyiratkan sesuatu di benak Rhesya. Membuat Rhesya terjebak.

“Gue aja yang ambil gembornya. Lo mandi aja.”

“Em, oke Kak. Tolong taruh di halaman belakang ya, Kak. Gue mandi dulu.”

Genta menganggukkan kepala yang diakhiri dengan senyum tipis dari Rhesya, seolah meminta izin. Ia melepas cekalannya dari lengan wanita itu, membiarkannya masuk ke dalam rumah. Genta merasa benang di antara dirinya dan Rhesya semakin bimbang ia tarik ulur. Genta juga bingung menghadapi situasi ini. Ia terlalu terpengaruh oleh kata-kata Aureen, atau justru ia yang cepat memahami segala keadaan di sini. Bahkan dari saat ia menatap mata Rhesya di meja makan malam itu.

Rhesya sendiri berlari menaiki anak tangga dengan jantung yang terus bergemuruh. Untung saja bukan hari Minggu Genta datang ke rumahnya. Entahlah Rhesya seolah sedang bermain petak umpet dengan Genta. Ia begitu canggung akhir-akhir ini di saat bersama lelaki itu. Tidak seperti ketika terakhir ia mendengar suara petikan gitar sore hari dari Genta di Gleen Café. Bukan Rhesya tidak merasa ada sikap yang sedikit berubah dari Genta. Senyum pria itu tidak seperti kali-kali pertama mereka berbicara.

Sembari menunggu Rhesya mandi, Genta duduk-duduk di kursi halaman belakang rumah Rhesya. Hijau rumput dan tanaman hias milik Ferdinan begitu memanjakan matanya. Genta sudah sangat mengenal pribadi Ferdinan dan hobinya terhadap tanaman hias. Pria itu memang sangat telaten merawat berbagai macam tanaman di depan, maupun di belakang rumah. Terlihat begitu asri.

Genta menyandarkan tubuhnya pada kursi anyaman dari pohon rotan menghadap rerumputan hijau di bawah teras. Sedikit memejamkan mata menghirup udara segar dengan burung-burung kecil yang berterbangan di atas dahan-dahan pohon hias. Jika benar, Genta sedang jatuh cinta, cepatlah datangkan petunjuk itu. Biar Genta bisa dengan lapang melepasnya jika memang benar hati wanita itu telah jatuh pada lelaki lain di awal keduanya berjumpa. Genta hanya benalu. Seperti tanaman yang merambat pada tanaman lain, dan menjalar di tembok yang kokoh. Benalu milik Ferdinan di halaman belakang.

Rhesya menuruni anak tangga dengan tas kecil berwarna biru pastelnya menuju teras belakang rumah. Ketika mendapati Genta yang sedang memejamkan mata dengan hangat matahari pagi menyinari wajahnya, Rhesya hanya bisa diam di tempat. Ia menelan ludah dan meyakinkan hatinya sendiri untuk mencoba jujur. Ia belum dapat menerima pria itu di hatinya, tetapi di sisi lain, ia begitu penasaran dengan Genta. Melebihi rasa penasaranya akan sosok Ethan. Seperti ada rahasia dibalik sosok Genta yang dilahirkan. Ia terlalu tertutup, di tengah banyak keterbukaanya pada dunia.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
1054      702     1     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
God, why me?
394      296     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Glitch Mind
81      73     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Let Me be a Star for You During the Day
1762      1027     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Pasal 17: Tentang Kita
184      97     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
Loveless
16002      6712     615     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Kertas Remuk
371      316     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Tic Tac Toe
903      726     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Trust Me
122      111     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
My First love Is Dad Dead
113      100     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...