Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Tidak ada yang benar-benar mengajarkan kita cara pulang. Terutama jika yang dituju adalah rumah yang pernah kita tinggalkan dengan hati yang patah.

Dina berdiri di depan pagar besi berkarat itu selama hampir lima menit. Tangannya ragu memegang gerbang yang sudah karatan, matanya menelusuri setiap sisi halaman. Rumput liar tumbuh bebas, sebagian mulai menjulur ke luar pagar, seolah ikut ingin menyapa orang yang baru datang setelah sekian lama.

Di bawah tatapan matahari sore yang hangat, Dina menarik napas panjang. Dadanya berdegup seperti siswa yang menanti giliran maju di depan kelas. Padahal ini cuma rumah. Rumah yang dulu jadi tempat pulang, tempat bertumbuh, tempat belajar patah hati pertama kali karena nilai matematika merah, dan juga tempat terakhir ia melihat ibunya sebelum berpulang.

Tangannya meraba pot bunga tua di sisi kiri pintu pagar. Tanaman lidah mertua di dalamnya tampak masih kokoh. Ibu memang bilang tanaman itu tahan segalanya, panas, hujan, bahkan ditinggalkan anaknya bertahun-tahun.

Dina mengangkat pot itu pelan-pelan. Di bawahnya, persis seperti yang pernah ibunya ajarkan dulu, ada kunci. Kecil, berkarat sedikit, tapi masih utuh. Dina tersenyum kecil. Masih ada sesuatu yang tak berubah.

“Ibu, kamu benar. Kamu memang selalu tahu aku akan pulang,” bisiknya pelan.

Pintu pagar berderit pelan ketika didorong. Suaranya khas. Suara yang dulu membuat Dina tahu siapa yang datang sebelum mereka benar-benar sampai. Pintu depan rumah masih sama. Catnya sudah mengelupas di beberapa sisi. Tapi gagangnya, kenop bulat berwarna emas kusam itu, tetap ada. Dina memutar kunci, dan pintu terbuka.

Udara lembab langsung menyeruak keluar. Aroma rumah lama. Campuran kayu tua, debu, dan sedikit aroma lavender yang entah dari mana datangnya. Dina berdiri di ambang pintu. Ada jeda kecil di sana antara keinginan masuk dan keraguan akan semua kenangan yang akan segera menyambut.

Langkah pertamanya terasa seperti napas pertama setelah menahan diri terlalu lama.

Ruang tamu itu sunyi. Sofa lama dengan sarung bermotif bunga masih di tempatnya. Meja kayu dengan taplak bordir buatan ibu tetap berdiri di tengah ruangan. Semua seperti museum masa kecilnya, hanya lebih sepi dan sedikit lebih sendu.

Dina menjatuhkan tas ranselnya ke lantai, lalu duduk di kursi rotan pojok yang dulu selalu dipakai ibu saat menyulam. Ia membiarkan dirinya diam. Tak ada suara. Tak ada notifikasi ponsel. Tak ada percakapan. Hanya detak jam dinding yang lambat, seolah waktu di rumah ini juga berjalan dengan ritme yang berbeda.

Beberapa menit kemudian, Dina bangkit. Ia berjalan ke dapur. Ubin-ubin putih dengan bunga merah muda itu masih terjaga, walau ada yang retak di sana-sini. Lemari kayu tua tempat menyimpan piring masih berdiri tegak. Bahkan teko plastik biru yang dulu jadi kesayangan ibu masih berada di tempatnya, meski kini berdebu dan kusam.

Dina mengambil gelas dari rak, mencucinya, lalu menyalakan keran. Airnya keluar dengan suara menyedihkan, seperti mengeluh karena sudah lama tak dipakai. Ia menampung segelas air dan meminumnya perlahan.

Segelas air putih. Tapi rasanya seperti meneguk masa lalu.

Dina menelusuri setiap ruang. Melewati kamar tamu, ruang tengah, dan akhirnya berdiri di depan kamarnya sendiri. Pintu cokelat dengan tempelan stiker yang kini pudar. Dia ingat, dulu setiap kali dapat bintang dari guru kelas, dia akan menempelkan satu stiker bintang di pintu itu. Semakin lama, stiker makin banyak, tapi yang tersisa kini hanya potongan kecil dengan ujung lengket yang sudah kering.

Ia membuka pintu perlahan. Kamar itu seperti dijeda oleh waktu. Masih ada rak buku penuh novel remaja lawas, meja belajar dengan coretan-coretan kecil, dan pigura foto dirinya dengan rambut pendek tak rata. Dina tersenyum kecil, lalu duduk di kasurnya.

Kasur itu kempes di tengah. Mungkin karena dia dulu suka berguling di situ ketika galau remaja melanda.

Ia merebahkan diri. Pandangannya menatap langit-langit kamar, yang dulunya pernah ditempeli glow-in-the-dark stars. Sekarang sudah tidak menyala. Tapi dulu, bintang-bintang itu menemani tidurnya setiap malam. Dia percaya satu dari mereka adalah ibunya yang terus melihat dari jauh.

Pelan-pelan, air mata menetes. Tapi bukan tangisan keras. Hanya air mata yang diam-diam turun, seperti rindu yang tak diundang tapi datang juga. Keesokan harinya, Dina bangun dengan kepala sedikit pening. Ia tak ingat kapan tertidur. Tapi pagi di rumah lama menyambutnya dengan cahaya matahari yang lembut masuk dari celah gorden.

Di dapur, ia mencoba menyeduh kopi. Kopi bubuk tua di toples plastik ternyata masih ada. Walau rasanya sudah berubah, tapi aroma itu seperti membawa ibu kembali sejenak—mengenang pagi-pagi saat ibu menyuapinya roti bakar dan mengomel karena Dina belum mandi padahal sudah jam tujuh. Ia membawa kopi itu ke teras depan. Angin pagi menyentuh kulitnya pelan. Burung-burung bersahutan. Beberapa tetangga yang sudah tua lewat, menatapnya dengan senyum bingung.

Seorang ibu-ibu mengenalinya.

“Kamu Dina, ya?” sapanya dari balik pagar.

Dina tersenyum dan mengangguk. “Iya, Bu. Dina.”

“Udah lama banget nggak kelihatan. Waktu ibumu meninggal, kita kira kamu nggak mau pulang…”

Dina tertawa kecil, getir. “Saya juga kira begitu, Bu…”

Ibu itu tersenyum maklum, lalu melanjutkan jalannya. Sementara Dina, kembali menatap halaman. Ia memperhatikan pot bunga tempat ia menemukan kunci kemarin. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas kecil yang terselip di sela tanah dan pot.

Ia mengambilnya. Sebuah catatan. Tulisan tangan ibu. Halus, rapi, dan penuh kasih.

"Untuk Dina. Kalau kamu baca ini, berarti kamu akhirnya pulang. Terima kasih. Rumah ini tidak lengkap tanpa kamu. Kunci memang ada di bawah pot, tapi hatiku selalu di sini menunggumu."

Tangannya gemetar. Ia menahan napas. Air matanya tak bisa dicegah kali ini.

Kenangan tak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya menunggu waktu untuk ditemukan kembali. Seperti kunci di bawah pot bunga itu terselip, tapi selalu ada. Sejak hari itu, Dina mulai membenahi rumah. Ia menyapu debu, mengepel lantai, mencuci tirai, bahkan memotong rumput di halaman. Ia tidak buru-buru. Satu sudut setiap harinya. Dan setiap sudut membawa kenangan baru yang ia benahi—bukan hanya di rumah, tapi juga di dalam dirinya. Ia juga mulai berbicara pada dirinya sendiri lebih lembut. Tidak lagi menyalahkan, tidak lagi menghindar. Ia menulis di buku harian barunya, duduk di kursi rotan ibu, dan menyulam cerita-cerita yang dulu hanya jadi suara di kepala.

Satu malam, ketika ia sedang membaca di ruang tamu, angin bertiup pelan. Pintu depan sedikit terbuka. Dina berdiri, lalu menutupnya perlahan. Sebelum menguncinya, ia menatap ke luar dan berkata pelan, seperti menyapa rumah itu kembali:

“Aku pulang.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Mengingatkanku pada kebaikan2 ortu setelah selama ini hanya mengingat kejelekan2 mereka aja.

    Comment on chapter Bab 15: Boneka Tanpa Mata
Similar Tags
Metanoia
101      89     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Alumni Hati
2137      953     0     
Romance
SINOPSIS Alumni Hati: Suatu Saat Bisa Reuni Kembali Alumni Hati adalah kisah tentang cinta yang pernah tumbuh, tapi tak sempat mekar. Tentang hubungan yang berani dimulai, namun terlalu takut untuk diberi nama. Waktu berjalan, jarak meluas, dan rahasia-rahasia yang dahulu dikubur kini mulai terangkat satu per satu. Di balik pekerjaan, tanggung jawab, dan dunia profesional yang kaku, ada g...
Hati dan Perasaan
1748      1120     8     
Short Story
Apakah hati itu?, tempat segenap perasaan mengendap didalamnya? Lantas mengapa kita begitu peduli, walau setiap hari kita mengaku menyakiti hati dan perasaan yang lain?
Drifting Away In Simple Conversation
503      353     0     
Romance
Rendra adalah seorang pria kaya yang memiliki segalanya, kecuali kebahagiaan. Dia merasa bosan dan kesepian dengan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan. Aira adalah seorang wanita miskin yang berjuang untuk membayar hutang pinjaman online yang menjeratnya. Dia harus bekerja keras di berbagai pekerjaan sambil menanggung beban keluarganya. Mereka adalah dua orang asing yang tidak pernah berpi...
27th Woman's Syndrome
11073      2241     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Heliofili
3227      1450     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Mesin Waktu Ke Luar Angkasa
378      299     0     
Romance
Sebuah kisah kasih tak sampai.
The Twins
4690      1665     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
Bullying
587      365     4     
Inspirational
Bullying ... kata ini bukan lagi sesuatu yang asing di telinga kita. Setiap orang berusaha menghindari kata-kata ini. Tapi tahukah kalian, hampir seluruh anak pernah mengalami bullying, bahkan lebih miris itu dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Aurel Ferdiansyah, adalah seorang gadis yang cantik dan pintar. Itu yang tampak diluaran. Namun, di dalamnya ia adalah gadis rapuh yang terhempas angi...
For Cello
3255      1130     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...