Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Bau kamper. Sedikit anyir sabun cuci. Lalu, entah dari mana, ada aroma yang rasanya seperti pelukan Ibu. Begitu aku membuka lemari kain tua di kamar belakang, semua itu menyeruak seperti tumpukan kenangan yang tak sabar disapa. Lemari itu berwarna cokelat tua dengan pegangan besi yang mulai berkarat—pernah jadi tempat Ibu menyimpan kain-kainnya. Batik kesayangannya yang selalu dipakai saat pengajian, daster-daster lusuh yang dulu kupeluk ketika beliau sedang tidur siang, dan kain panjang yang dipakai saat meninabobokan kami adik-beradik ketika kecil. Kain-kain itu kini diam, tergulung rapi dalam tumpukan, seolah tetap menjaga bentuk tubuh yang pernah membalutnya. Dan aku, aku hanya bisa memandanginya dengan hati yang pelan-pelan mulai tenggelam dalam kenangan.

Ada satu kain yang membuatku berhenti bernapas beberapa detik. Kain biru tua, bermotif bunga kenanga. Aku ingat betul, ini kain yang dipakai Ibu saat mengantarku pertama kali masuk sekolah dasar. Hari itu, aku menangis di depan gerbang. Takut ditinggal. Takut salah duduk. Takut nggak bisa baca. Tapi Ibu memelukku erat dengan kain ini, sambil berbisik, “Kamu kuat, Nak. Pelan-pelan saja. Semua orang juga belajar.”

Waktu itu aku tak tahu, bahwa kata-kata itu akan jadi mantra dalam hidupku bertahun-tahun ke depan.

Aku angkat kain itu, menempelkannya ke pipi. Masih harum. Tapi bukan wangi sabun, bukan juga kamper. Lebih seperti... aroma tenang. Mungkin ini yang orang sebut: doa yang menempel di serat kain. Karena dari sekian banyak hal di dunia, cinta Ibu sepertinya memang tidak pernah benar-benar pergi—ia tinggal dalam hal-hal kecil yang kita pikir sepele.

“Masih lengkap?” suara Dira, adikku, terdengar dari balik pintu.

Aku menoleh dan mengangguk pelan. “Iya. Masih di tempatnya semua. Bahkan kayaknya Ibu masih ingat urutan melipat kain yang dia suka. Yang batik di atas. Yang buat tidur di bawah.”

Dira masuk, duduk di pinggiran dipan yang sudah keropos.

“Aku kadang ngerasa bersalah, Mbak,” katanya pelan, sambil memandangi kain-kain itu. “Waktu Ibu masih ada, aku suka ngomel kalau disuruh bantuin nyetrika atau nyimpan kain di sini. Dulu mikirnya ribet. Tapi sekarang, lihat tempat ini aja rasanya kayak dighamparin rasa bersalah.”

Aku menatapnya, lalu tersenyum kecil.

“Aku juga gitu. Dulu sering nyuri-nyuri waktu buat kabur ke kamar, biar nggak disuruh bantu. Tapi sekarang malah nyari-nyari alasan buat lebih lama di kamar ini.”

Kami diam beberapa saat. Hanya suara jam dinding tua yang terdengar, berdetak pelan seolah ikut menghitung sisa waktu kami di rumah lama ini.

Lalu, aku menemukan satu lagi benda yang membuatku tersenyum. Sebuah kantong plastik kecil, berisi potongan kain perca dan benang warna-warni. Di ujungnya ada gulungan kain flanel merah muda yang dulu kupakai buat belajar menjahit waktu SD.

“Inget ini, nggak?” tanyaku sambil mengangkat kantong itu.

Dira tertawa kecil. “Iya! Itu kan yang dulu kamu pakai buat bikin bantal-bantal kecil. Yang bentuknya kayak tahu goreng gagal.”

Aku ikut tertawa. “Itu bukan gagal. Itu... unik.”

“Unik jelek,” tambah Dira, masih tertawa sambil mengelap matanya.

Tertawa itu cepat berubah jadi isak kecil. Entah kenapa, rumah ini memang bisa dengan mudah mencampur tawa dan tangis dalam satu napas. Dan entah kenapa juga, kami tidak pernah bisa benar-benar marah pada kenangan, walaupun kadang terasa perih.

“Aku kangen Ibu,” gumam Dira akhirnya. “Aku kangen banget.”

Aku mengangguk. “Aku juga. Tapi aku percaya... semua kain ini, semua yang dia tinggalkan, masih menyimpan doa-doa dia buat kita.”

Malamnya, aku membuka lagi lemari itu sendiri. Lampu kamar sudah diredupkan, hanya cahaya dari koridor yang masuk lewat celah pintu. Dan di tengah remang itulah, aku melihat sesuatu yang sebelumnya terlewat.

Sebuah amplop kecil, terselip di balik lipatan daster tua. Warnanya kuning kecokelatan, seperti sudah lama menunggu untuk ditemukan. Di bagian depan, hanya tertulis dua kata: “Untuk Anak-anakku.”

Tanganku gemetar saat membukanya.

Di dalamnya ada selembar kertas, bertulisan tangan dengan tinta biru yang sedikit pudar. Tulisan Ibu.

"Nak,

Suatu hari nanti, rumah ini akan terasa sepi.

Tapi bukan karena kenangan hilang karena kalian sudah tumbuh, dan waktu berjalan.

Aku tidak ingin kalian datang ke rumah ini hanya untuk bersedih.

Datanglah untuk mengingat, dan tertawa.

Kain-kain yang Ibu lipat itu, Ibu doakan satu-satu. Yang batik, semoga kalian tetap membumi. Yang flanel, semoga kalian tetap lembut. Yang tidur, semoga kalian selalu pulang dengan tenang. Rumah ini tidak sempurna. Tapi semoga cukup hangat untuk kalian ingat sebagai tempat pulang.

Ibu mencintai kalian, bahkan ketika kalian sudah lupa cara melipat daster dengan rapi."

Aku menangis. Tapi bukan tangis getir. Lebih seperti tangis yang pelan-pelan menghangatkan dada. Karena kadang, kehilangan bukan berarti ditinggalkan. Kadang, kehilangan cuma cara lain Tuhan menunjukkan bahwa cinta bisa tinggal dalam hal-hal yang tidak pernah kita duga.

Keesokan harinya, aku dan Dira memutuskan untuk tidak memindahkan kain-kain itu ke lemari baru. Kami hanya membersihkannya, melapisi raknya, dan memberi kamper baru yang baunya tidak terlalu menyengat. Biar tetap seperti dulu.

“Apa kita bisa nambahin kain sendiri nanti?” tanya Dira sambil menyelipkan saputangan kecil buatan tangannya.

Aku mengangguk. “Bisa. Rumah ini masih hidup, kok. Cuma diamnya lebih tenang aja.”

Dan entah kenapa, sejak hari itu, setiap aku mencium aroma kain yang sudah berumur, aku merasa seperti sedang dipeluk. Oleh waktu. Oleh kenangan. Oleh doa-doa yang tinggal di serat-serat sederhana. Dan oleh Ibu, tentu saja.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Mengingatkanku pada kebaikan2 ortu setelah selama ini hanya mengingat kejelekan2 mereka aja.

    Comment on chapter Bab 15: Boneka Tanpa Mata
Similar Tags
Unframed
2221      1275     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Bersyukurlah
462      325     1     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
Bullying
587      365     4     
Inspirational
Bullying ... kata ini bukan lagi sesuatu yang asing di telinga kita. Setiap orang berusaha menghindari kata-kata ini. Tapi tahukah kalian, hampir seluruh anak pernah mengalami bullying, bahkan lebih miris itu dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Aurel Ferdiansyah, adalah seorang gadis yang cantik dan pintar. Itu yang tampak diluaran. Namun, di dalamnya ia adalah gadis rapuh yang terhempas angi...
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
2027      1051     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Ruang Suara
412      303     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Rasa yang tersapu harap
11168      2526     7     
Romance
Leanandra Kavinta atau yang biasa dipanggil Andra. Gadis receh yang mempunyai sahabat seperjuangan. Selalu bersama setiap ada waktu untuk melakukan kegiatan yang penting maupun tidak penting sama sekali. Darpa Gravila, cowok sederhana, tidak begitu tampan, tidak begitu kaya, dia cuma sekadar cowok baik yang menjaganya setiap sedang bersama. Cowok yang menjadi alasan Andra bertahan diketidakp...
Di Bawah Langit Bumi
4327      2053     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Just For You
6908      2275     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Ibu Mengajariku Tersenyum
4348      2038     1     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Kakak
1426      748     1     
Inspirational
Fatih seorang anak yang lahir dikeluarga biasa, yang dibesarkan oleh Mama dan Tante Danum. Namun, suatu ketika ia harus ditinggal oleh Mama dan Tante Danum karena suatu hal yang Fatih sendiri tidak tahu apa, ia tidak menerima penjelasan yang layak. Untungnya selama ditinggal Fatih ditemani seorang lelaki bernama Nala, yang merupakan Guru BK disekolahnya. Awalnya Fatih tidak suka dengan keberadaan...