Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Jendela di kamar utara rumah lama itu tidak terlalu besar. Kaca beningnya kini mulai berembun, dan cat kayu di bingkainya telah mengelupas seperti ingatan yang terserak, minta dirapikan. Tapi dari semua sudut rumah, jendela itu adalah tempat favoritku, karena di sanalah masa lalu sering mampir tanpa mengetuk.

Aku membuka jendela itu pagi ini, seperti kebiasaan lama. Udara yang masuk membawa aroma tanah basah dan samar bau kayu bakar dari dapur tetangga. Matahari belum sepenuhnya naik, dan kabut tipis masih menyelimuti pohon jambu yang berdiri tegak seperti penjaga waktu.

“Masih sama,” gumamku. Jendela ini belum berubah, hanya aku yang bertambah usia dan mulai mengerti: bukan jendelanya yang istimewa, tapi apa yang dulu sering kulihat darinya.

Dari sinilah aku dulu mengintip Ayah menyapu halaman setiap subuh. Dari sinilah aku melihat Ibu menjemur bantal dan berbicara dengan ayam-ayam seolah mereka tetangga dekat. Dari sinilah aku dan Dira menyapa langit, menunggu pelangi setelah hujan deras. Di jendela ini pula aku pernah menunggu seseorang yang tidak jadi datang.

Aku masih ingat, dulu ada bocah laki-laki tetangga sebelah Reno, namanya. Ia sering main ke rumah, kadang hanya untuk minta air minum dingin dari kulkas kami yang sudah bunyi kretek-kretek. Kadang juga datang membawa sekotak kapur tulis warna, dan kami menggambar di ubin sampai Ibu berteriak karena ada gambar gajah di depan altar foto keluarga.

Reno lucu, canggung, dan entah kenapa selalu punya permen karet cadangan di saku celananya. Tapi yang paling kuingat dari dia adalah... janji yang tak pernah ditepati.

"Besok sore aku ke sini lagi, kita main layang-layang," katanya waktu itu, berdiri persis di bawah jendela ini.

Aku mengangguk sambil memeluk bantal. Menunggu. Tapi keesokan harinya, dan hari-hari setelahnya, Reno tak datang.

Yang datang justru kabar: keluarganya pindah mendadak karena pekerjaan ayahnya. Tanpa pamit. Tanpa alasan.

Aku kecil menangis diam-diam di balik jendela. Bukan karena kehilangan mainan atau teman, tapi karena mulai mengenal rasa ditinggalkan. Dan sejak hari itu, jendela ini tak lagi hanya jadi tempat melihat keluar, tapi juga tempat mengingat yang tertinggal.

Sekarang aku berdiri di tempat yang sama, tapi yang kulihat tak hanya halaman dan pohon jambu. Aku melihat fragmen hidup yang berhamburan: Dira kecil berlarian dengan rambut dikepang dua, Ayah mengangkat ember sambil bersenandung, Ibu menjemur boneka basah yang kubawa mandi diam-diam, dan... aku sendiri, kecil, duduk di kursi dengan buku cerita terbuka dan mata yang selalu penuh tanya.

Jendela ini seperti layar film kehidupan, tanpa jeda, tanpa musik latar, tapi penuh rasa.

Kadang aku merasa, rumah lama ini bukan hanya menyimpan barang-barang tua, tapi juga menjaga versi kecil dari diri kita yang tak sempat kita peluk.

Pagi itu, saat aku termenung menatap keluar, Ibu masuk pelan ke kamar.

“Masih suka buka jendela itu?” tanyanya sambil menyibak tirai.

Aku mengangguk. “Jendela ini... masih bisa bicara, Bu.”

Ibu tertawa kecil, duduk di kursi tua di pojok. “Kamu dulu suka pura-pura jadi penjaga kerajaan. Dari jendela ini, kamu bilang bisa lihat naga.”

Aku ikut tertawa. “Tapi sekarang aku cuma bisa lihat pohon jambu dan tali jemuran.”

“Kadang, yang paling kita rindukan bukan apa yang kita lihat... tapi bagaimana kita melihatnya waktu kecil,” ucap Ibu lirih.

Kalimat itu menempel di dadaku seperti stiker yang tak mau lepas. Benar. Dulu dunia terasa lebih ajaib, bukan karena isinya lebih baik, tapi karena kita melihatnya dengan mata penuh harap. Ibu pergi ke dapur. Aku tetap di jendela, duduk di lantai, menyandarkan kepala di dinding dingin. Selembar cahaya pagi menembus tirai, membentuk garis cahaya di pergelangan tanganku. Aku lalu mengambil buku catatan kecil dari tas, yang sengaja kubawa untuk menuliskan hal-hal kecil selama kembali ke rumah lama. Dan pagi itu, di halaman pertama, aku menulis:

“Ada jendela yang tidak menghadap jalan,
tapi menghadap kenangan.
Setiap pagi, aku melihat ke sana,
berharap bisa menemukan diriku yang dulu.
Yang percaya pada dongeng.
Yang berani menunggu.
Yang tidak takut ditinggalkan,
karena belum tahu artinya.”

Selesai menulis, aku menutup buku dan menyandarkannya di kusen. Lalu untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku membuka jendela itu lebih lebar dari biasanya. Udara masuk lebih deras. Daun jambu melambai pelan, seperti menyapa. Seekor burung kecil hinggap di pagar kayu, dan aku tersenyum sendiri.

Kadang, untuk bisa merasa utuh, kita hanya perlu diam sebentar. Lalu melihat keluar. Lewat jendela yang dulu pernah jadi milik kita tempat di mana kita pernah menunggu, pernah mengintip dunia, dan pernah belajar tentang kehilangan.

Sore harinya, Dira datang membawa anaknya. Ia duduk di ranjang dan menunjuk ke arah jendela.

“Nah, itu jendelanya Mama dulu suka duduk diam. Kadang ketiduran di situ sambil bawa buku.”

Anaknya, Nara, memiringkan kepala. “Kenapa diam aja, Ma?”

Aku menjawab, “Soalnya, kadang kenangan paling ribut justru datangnya diam-diam.”

Kami bertiga tertawa. Tapi aku tahu, tawa itu menyimpan banyak hal: rindu, syukur, dan sedikit luka yang sudah mengering.

Malamnya, sebelum tidur, aku berdiri sekali lagi di depan jendela. Gelap di luar, tapi cahaya bulan menggantung pas di tengah langit, seperti lampu kecil untuk hati yang masih belajar pulang.

Aku menyentuh kaca jendela, yang kini agak dingin.

Dan dalam hati, aku berbisik:

“Terima kasih, jendela kecil.
Kau tidak pernah menutupku dari kenangan,
dan tidak pernah lelah menjadi saksi
dari hati yang terus tumbuh.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Mengingatkanku pada kebaikan2 ortu setelah selama ini hanya mengingat kejelekan2 mereka aja.

    Comment on chapter Bab 15: Boneka Tanpa Mata
Similar Tags
Liontin Semanggi
3091      1830     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Yang Tertinggal dari Rika
5805      2128     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Under The Same Moon
416      279     4     
Short Story
Menunggumu adalah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kulakukan. Tanpa kepastian. Ketika suatu hari kepastian itu justru datang dari orang lain, kau tahu itu adalah keputusan paling berat untukku.
Gadis Kopi Hitam
1146      806     7     
Short Story
Kisah ini, bukan sebuah kisah roman yang digemari dikalangan para pemuda. Kisah ini, hanya sebuah kisah sederhana bagaimana pahitnya hidup seseorang gadis yang terus tercebur dari cangkir kopi hitam yang satu ke cangkit kopi hitam lainnya. Kisah ini menyadarkan kita semua, bahwa seberapa tidak bahagianya kalian, ada yang lebih tidak berbahagia. Seberapa kalian harus menjalani hidup, walau pahit, ...
SERUMAH BERSAMA MERTUA
473      374     0     
Romance
Pernikahan impian Maya dengan Ardi baru memasuki usia tiga bulan saat sang mertua ikut tinggal bersamanya dengan alasan paling tak masuk akal Keindahan keluarganya hancur seketika drama konflik penuh duka sering ia rasakan sejak itu Mampukah Maya mempertahankan rumah tangganya atau malah melepaskannya?
Catatan sang Pemuda
624      380     5     
Inspirational
"Masa mudamu sebelum masa tuamu." Seorang laki-laki kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 31 Oktober 2000. Manusia biasa yang tidak terkenal sama sekali. Inilah kisah inspirasi dari pengalaman hidup saat menginjak kata remaja. Inilah cerita yang dirangkum dari catatan harian salah seorang pemuda merah putih.
CHERRY & BAKERY (PART 1)
4547      1324     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Tebing Cahaya
264      193     1     
Romance
Roni pulang ke Tanpo Arang dengan niat liburan sederhana: tidur panjang, sinyal pasrah, dan sarapan santan. Yang melambat ternyata bukan jaringan, melainkan dirinyaterutama saat vila keluarga membuka kembali arsip janji lama: tanah ini hanya pinjaman dari arang. Di desa yang dijaga mitos Tebing Cahayakonon bila laki-perempuan menyaksikan kunang-kunang bersama, mereka tak akan bersatuRoni bertemu ...
Kepak Sayap yang Hilang
173      156     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Rasa yang tersapu harap
11167      2525     7     
Romance
Leanandra Kavinta atau yang biasa dipanggil Andra. Gadis receh yang mempunyai sahabat seperjuangan. Selalu bersama setiap ada waktu untuk melakukan kegiatan yang penting maupun tidak penting sama sekali. Darpa Gravila, cowok sederhana, tidak begitu tampan, tidak begitu kaya, dia cuma sekadar cowok baik yang menjaganya setiap sedang bersama. Cowok yang menjadi alasan Andra bertahan diketidakp...