Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Di sudut lemari tua yang kuncinya sudah haus, ada sebuah album foto dengan sampul kulit yang warnanya mulai pudar. Di bagian depannya, terdapat label tempel yang tulisannya sudah mulai terkelupas, tetapi masih bisa dibaca samar: “Kenangan Keluarga”.

Album itu bukan sembarang album. Ia seperti pintu kecil menuju masa lalu yang tak bisa kita ulang, tapi masih bisa kita kenang. Dan setiap kali aku membuka lembaran plastiknya, suara-suara lama seperti ikut mengintip dari sela-sela halaman.

Hari itu hujan turun sejak pagi. Aroma tanah basah masuk dari jendela yang terbuka sedikit. Aku duduk di ruang tengah, membuka album itu perlahan, satu halaman demi satu halaman—seperti membuka lembaran dari hati yang diam-diam rindu.

Foto pertama adalah Ayah dan Ibu. Mereka sedang tersenyum lebar di depan gerbang rumah ini—masih baru saat itu, dengan cat kuning muda dan pagar kayu yang belum lapuk. Ayah mengenakan kemeja flanel kesukaannya, sementara Ibu memegang pot kecil berisi tanaman sirih gading.

Aku menyentuh foto itu dengan ujung jari. Rasanya seperti menyentuh suara tawa Ayah yang kini hanya tinggal gema dalam ingatan. Di halaman berikutnya, ada foto-foto kami waktu kecil. Aku memakai kaus dengan gambar dinosaurus yang sekarang mungkin sudah punah dari dunia per-mode-an. Dira berdiri di sebelahku, memegang es krim yang setengah mencair.

Wajah kami lucu. Penuh semangat. Matanya berbinar seperti dunia belum pernah menyakiti. Kami tersenyum dengan gigi ompong dan baju yang mungkin sudah diwariskan dari kakak sepupu.

Aku tertawa pelan. Tapi tawa itu segera diam saat aku sadar: ada halaman yang kosong.

Plastiknya tetap ada, tapi tak ada foto di dalamnya. Hanya ada kertas putih dengan bekas lem yang menguning.

Dan di bawahnya, tertulis dengan pulpen biru:

“Liburan ke pantai. Ayah berenang, Dira nangis karena pasir masuk mata.”

Tapi... tak ada foto itu.

Halaman berikutnya juga begitu. Ada catatan, tapi tidak ada gambar.

“Pentas seni TK. Kamu jadi matahari, Dira jadi angin.”

Aku mencoba mengingat. Aku memang ingat pentas itu. Aku berdiri dengan kostum warna kuning menyala, dan Dira dikelilingi pita-pita biru. Tapi kenapa fotonya hilang?

Mungkin pernah dipinjam seseorang. Mungkin rusak karena air. Atau... mungkin memang tidak pernah diambil dari studio cuci cetak karena lupa.

Apa pun alasannya, yang tersisa kini hanyalah jejak kosong—ruang hampa yang justru semakin terasa penuh oleh ingatan.

Ibu datang membawa teh manis dan duduk di sampingku.

“Kamu ketemu album itu lagi?” tanyanya sambil meniup uap dari cangkir.

Aku mengangguk. “Kenapa banyak fotonya yang hilang, Bu?”

Ibu menatap album itu lama. Wajahnya seperti membuka kenangan yang sudah lama dikunci.

“Dulu... waktu kamu SMP, album ini pernah kena air bocoran atap. Beberapa fotonya rusak. Ibu sempat keringkan, tapi ya... sebagian nggak bisa diselamatkan.”

Aku mengangguk pelan. “Tapi Ibu masih nulis catatan di bawahnya ya...”

Ibu tersenyum. “Iya. Biar kalau suatu hari kamu buka lagi, kamu masih ingat.”

Aku menatap tulisan itu—huruf-huruf miring Ibu yang khas, seperti tangan yang merawat waktu.

Dan aku benar-benar ingat.

Aku ingat Ayah mengangkatku tinggi-tinggi saat ombak datang. Ingat suara Dira merengek karena kulitnya gatal kena pasir. Ingat Ibu tertawa sambil menyeka muka Dira dengan sarung.

Foto itu tak ada. Tapi ingatannya lengkap.

Dira datang sore itu. Kami bertiga membuka album itu bersama.

“Wah ini lucu banget!” katanya saat melihat fotonya yang memakai bando kelinci. “Aku inget ini! Ini waktu aku ulang tahun ke-5!”

Kami tertawa. Mengingat makanan yang tumpah, kue yang bantat, dan tamu undangan yang isinya cuma tetangga yang satu gang.

Lalu Dira membuka halaman kosong itu.

“Lho, fotoku jadi angin ke mana?”

Aku tertawa. “Tanya Ibu.”

Ibu mengangkat bahu. “Tanya langit bocor waktu itu.”

Kami bertiga tertawa. Tapi sesekali, diam menyelinap di antara tawa kami—diam yang penuh rasa haru karena sadar: waktu tidak bisa diulang, tapi bisa dihidupkan lagi melalui cerita.

Malam itu, setelah semuanya tenang, aku duduk sendiri di ruang tengah. Album itu terbuka di pangkuanku. Jari-jariku menyentuh setiap catatan kecil Ibu yang dulu mungkin ia tulis sambil memegang teh dan mendengarkan radio.

Dan tiba-tiba, aku merasa ingin menambah sesuatu.

Aku mengambil pena. Di salah satu halaman kosong, aku menulis:

“Tahun 2025. Hari hujan. Kami duduk bertiga lagi di ruang tengah. Tertawa, mengenang, menyulam yang pernah hilang.”

Lalu aku menambahkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya: foto selfie kami bertiga hari itu, cetakan instan dari printer kecil di ponsel Dira. Gambar kami tidak sempurna. Ibu setengah tertutup mug teh. Aku menyipit. Dira miring. Tapi kami tertawa.

Dan di bawahnya, aku tulis:

“Foto ini baru. Tapi ceritanya sudah lama.”

Album itu kini tidak lengkap secara gambar. Tapi penuh secara makna. Karena kadang, kehilangan itu tak selalu berarti hilang. Kadang, kehilangan justru membuat sesuatu menjadi lebih dihargai. Seperti halaman kosong yang dulu membuatku sedih, kini jadi ruang untuk menulis kembali cerita yang pernah ditinggalkan.

Dan sebelum aku menutup album malam itu, aku berkata pelan dalam hati:

“Terima kasih untuk yang pernah hilang. Karena tanpamu, aku tak akan tahu betapa berharganya yang masih tersisa.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Mengingatkanku pada kebaikan2 ortu setelah selama ini hanya mengingat kejelekan2 mereka aja.

    Comment on chapter Bab 15: Boneka Tanpa Mata
Similar Tags
Ruang Suara
412      303     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Finding My Way
1848      1148     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Alumni Hati
2095      937     0     
Romance
SINOPSIS Alumni Hati: Suatu Saat Bisa Reuni Kembali Alumni Hati adalah kisah tentang cinta yang pernah tumbuh, tapi tak sempat mekar. Tentang hubungan yang berani dimulai, namun terlalu takut untuk diberi nama. Waktu berjalan, jarak meluas, dan rahasia-rahasia yang dahulu dikubur kini mulai terangkat satu per satu. Di balik pekerjaan, tanggung jawab, dan dunia profesional yang kaku, ada g...
Ketika Kita Berdua
39640      6143     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
INTERTWINE (Voglio Conoscerti) PART 2
3798      1272     2     
Romance
Vella Amerta—masih terperangkap dengan teka-teki surat tanpa nama yang selalu dikirim padanya. Sementara itu sebuah event antar sekolah membuatnya harus beradu akting dengan Yoshinaga Febriyan. Tanpa diduga, kehadiran sosok Irene seolah menjadi titik terang kesalahpahaman satu tahun lalu. Siapa sangka, sebuah pesta yang diadakan di Cherry&Bakery, justru telah mempertemukan Vella dengan so...
Our Perfect Times
2901      1489     9     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
6841      2271     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
6669      2213     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
JANJI 25
322      219     0     
Romance
Pernahkah kamu jatuh cinta begitu dalam pada seseorang di usia yang terlalu muda, lalu percaya bahwa dia akan tetap jadi rumah hingga akhir? Nadia percaya. Tapi waktu, jarak, dan kesalahpahaman mengubah segalanya. Bertahun-tahun setelahnya, di usia dua puluh lima, usia yang dulu mereka sepakati sebagai batas harap. Nadia menatap kembali semua kenangan yang pernah ia simpan rapi. Sebuah ...
Salendrina
2632      1019     7     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...