Ardan menatap ragu-ragu ke dalam ruang workshop kerajinan tangan yang penuh dengan orang-orang sibuk membuat perhiasan. Dari luar, tempat ini terlihat seperti sebuah galeri seni kecil, dengan rak-rak penuh manik-manik, benang berwarna-warni, dan batu alam yang berserakan di meja. Dia memegang tangan kecil buku panduan yang diberikan kepada semua peserta kelas, merasa seperti ikan yang terlempar ke darat.
“Bentar, ini benar-benar untuk orang yang kreatif, kan?” gumam Ardan, lebih kepada dirinya sendiri. Matanya menyusuri ruangan, berharap bisa menemukan alasan untuk berbalik. Tetapi dia sudah di sini, dan ini adalah salah satu dari banyak petualangan 'baru' yang dia coba agar hidupnya lebih 'berwarna'. Jujur saja, ia hanya ikut kelas ini karena teman-temannya menganggapnya terlalu membosankan.
“Tapi, kenapa harus kerajinan tangan?” keluhnya lagi, sambil meremas-remas kertas di tangannya.
Tiba-tiba, seseorang dengan cepat menepuk pundaknya, membuat Ardan hampir terjatuh dari kursinya.
“Ardan, kan?” suara itu datang dengan nada ceria dan sedikit tajam. Ardan menoleh dan mendapati seorang gadis dengan rambut panjang berwarna coklat yang tertata rapi dan wajah yang tersenyum lebar.
“Eh, iya. Kamu...?” Ardan terbelalak, bingung mencari nama di dalam otaknya yang sedang kosong.
“Raya.” Raya mengangguk dan duduk di sampingnya. “Kamu ikut kelas ini juga?” Dia melirik dengan cermat ke panduan yang dipegang Ardan. “Jangan bilang kamu baru pertama kali ikut workshop ini?” tanyanya sambil menyeringai lebar.
Ardan mengerutkan kening. “Jangan bilang kamu sudah jago banget di sini, ya? Ini pertama kali gue coba—kebetulan aja teman-teman bilang gue harus ikut sesuatu yang kreatif.”
Raya tertawa ringan. “Santai, gue juga baru pertama kali. Tapi, kalau soal kreativitas, mungkin gue lebih baik sedikit.” Dia menunjukkan kotak kecil yang dia bawa, berisi manik-manik dan peralatan lainnya. "Jangan khawatir, gue bisa bantu lo."
“Gue sih cuma berharap nggak merusak semuanya.” Ardan tertawa kaku. “Tapi, ya, kita lihat saja.”
Kelas dimulai. Instruktor memulai penjelasan dengan memberikan panduan umum tentang cara membuat kalung dari manik-manik dan batu alam. Ardan mengangguk-anggukkan kepalanya, tapi lebih banyak terlihat bingung daripada mengerti. Setelah pembagian bahan, ia duduk dengan kebingungannya, mencoba merangkai manik-manik tanpa membuatnya terlihat seperti kekacauan total.
Raya, yang duduk di sampingnya, dengan cekatan mulai menata manik-maniknya menjadi pola yang rapi. Ardan meliriknya sesekali, seolah-olah mencoba mencari inspirasi. Tetapi yang ada, ia malah semakin merasa tak mampu.
“Bisa bantu gue, nggak?” Ardan menghela napas berat. “Gue nggak ngerti cara nyusun manik-manik ini.”
Raya meliriknya, lalu tersenyum. “Gue pikir lo bakal bilang itu. Oke, lo mulai dari yang besar dulu, baru yang kecil. Tangan lo harus lebih luwes, jangan terlalu kaku.”
“Luwes?” Ardan mengangkat alis. “Apa yang terjadi kalau tangan gue nggak luwes, ya? Jadi, manik-maniknya bisa kabur?”
Raya tertawa kecil. “Gue nggak bilang itu. Cuma... coba lebih santai, deh. Lo bakal kelihatan kayak orang pro.”
“Pro, ya? Oke deh.” Ardan mencoba mengikuti instruksi Raya, tapi alih-alih membuat kalung yang cantik, dia malah membuat sesuatu yang menyerupai kecelakaan seni. Manik-manik yang dia susun jatuh berantakan ke lantai, dan beberapa bahkan meluncur keluar meja.
“Aduh!” Ardan bergumam kesal, mencoba merapikan kekacauan yang baru dia buat. Raya hanya bisa tertawa lepas.
"Tenang aja, ini bisa diperbaiki kok," katanya sambil membantu Ardan mengumpulkan manik-manik yang jatuh. "Gue yakin lo bisa lebih rapi dari itu."
Ardan menatap hasil kerjanya yang hancur. "Kalau ini yang disebut seni, gue takut bakal mengacaukan segala hal di dunia ini."
"Jangan khawatir," Raya menjawab dengan senyum simpatik. "Penting buat menikmati prosesnya, bukan hasil akhirnya."
Ardan mengangguk setuju, meski dalam hatinya dia merasa jauh dari kata "nikmat". Namun, entah kenapa, ada sesuatu dalam cara Raya berbicara yang membuatnya merasa lebih baik.
Ketika kelas hampir berakhir, Ardan merasa sudah kehabisan ide dan energi. Dia masih berjuang dengan karya kerajinannya yang jauh dari sempurna, sementara Raya sudah hampir selesai dengan kalung indahnya.
"Lo udah selesai?" Ardan bertanya, melihat dengan cemas ke karya Raya yang terlihat jauh lebih bagus dari yang dia buat.
Raya mengangguk dengan senyum penuh kemenangan. "Iya, ini hasil pertama gue. Simple, tapi berkesan."
Ardan menghela napas panjang. “Gue cuma berharap gue bisa selesai tanpa harus dihukum.”
Raya tertawa. “Ya udah, jangan khawatir. Mungkin lo bisa coba karya gue sebagai inspirasi. Siapa tahu, lo bakal jadi ahli kerajinan tangan.”
Ardan hanya bisa tersenyum kaku. Meskipun hari itu penuh dengan kegagalan, dia merasa ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih menarik dari sekadar manik-manik atau kalung. Mungkin, ini bukan tentang karya seni. Mungkin, ini adalah tentang bagaimana seseorang bisa membuatmu merasa lebih hidup di tengah kebingungan.