Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Final Promise
MENU
About Us  

Minggu berikutnya datang dengan cepat. Ardan, yang awalnya ragu-ragu, akhirnya memutuskan untuk mengikuti acara seni yang Raya undang. Meskipun hati kecilnya merasa sedikit cemas—terutama karena dia tahu bahwa dirinya bukan orang yang terlalu tertarik pada dunia seni—ia merasa ada dorongan dari dalam dirinya untuk mencoba. Apalagi setelah percakapan mereka di kafe, Ardan mulai merasa bahwa mungkin ini saatnya untuk keluar dari zona nyaman.

Acara itu digelar di sebuah galeri seni terbuka di tengah kota, dengan berbagai stan yang menampilkan berbagai karya seni kontemporer, dari lukisan hingga instalasi seni yang tak biasa. Ardan merasa sedikit terintimidasi ketika melihat keramaian dan suasana yang penuh dengan orang-orang yang terlihat seperti para seniman profesional.

“Gue rasa gue salah datang,” gumam Ardan, menatap ke sekeliling dengan sedikit cemas. "Mereka semua kayaknya udah pada paham banget soal seni."

Namun, saat ia berbalik untuk pergi, suara yang familiar memanggilnya.

“Ardan! Lo datang juga, ya?” Raya muncul di depan Ardan dengan senyum lebar, mengenakan gaun sederhana yang membuatnya terlihat santai tapi elegan. "Gue pikir lo nggak bakal datang."

Ardan tersenyum kaku. “Gue juga ragu, sih. Tapi… ya, gue pikir kenapa nggak? Paling nggak, bisa lihat sesuatu yang baru.”

Raya tertawa. "Lo lihat stan itu, kan?" dia menunjuk ke arah salah satu stan yang penuh dengan karya seni yang tampaknya dibuat dari bahan-bahan yang tidak biasa. "Gue mau lo lihat dan coba pahami, mungkin lo bakal dapat perspektif baru."

Ardan mengangguk, mencoba untuk terlihat tertarik. Mereka berjalan bersama menuju stan itu. Di sana, berbagai karya seni yang aneh—seperti patung yang terbuat dari benda bekas dan lukisan yang terlihat seperti coretan—terpajang dengan bangga.

"Jadi, apa yang menurut lo menarik dari ini?" tanya Raya, memandang Ardan dengan penuh perhatian.

Ardan menggaruk kepala, merasa bingung. “Jujur aja, gue nggak ngerti, Raya. Ini tuh... benda bekas, kan?” Dia menunjuk salah satu patung yang terbuat dari logam dan benda-benda elektronik yang sudah tidak terpakai.

Raya tertawa kecil. “Itu yang namanya seni kontemporer. Kadang, karya seni bukan tentang apa yang lo lihat, tapi tentang pesan yang ingin disampaikan. Kalau lo lihat itu hanya sebagai benda bekas, lo nggak bakal paham apa-apa.”

Ardan mengerutkan kening. “Jadi lo maksudnya… ini cuma soal pandangan, ya?”

“Bisa dibilang begitu,” jawab Raya sambil mengamati reaksi Ardan. "Seni itu selalu terbuka untuk interpretasi. Kadang lo nggak perlu tahu semuanya, cukup nikmatin aja."

Mereka terus berjalan, membahas berbagai karya seni yang dipamerkan, meskipun Ardan merasa masih kesulitan untuk menangkap esensi dari karya-karya tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa lebih nyaman berada di tempat itu, berkat kehadiran Raya yang terus menjelaskan hal-hal dengan cara yang ringan dan menghibur.

Setelah beberapa waktu, mereka berhenti di sebuah stan yang menampilkan lukisan abstrak yang penuh warna. Raya tampak sangat menikmati setiap detailnya, sementara Ardan masih terlihat bingung.

"Lo suka yang mana, Ardan?" tanya Raya, sambil menoleh.

Ardan menatap lukisan itu sejenak, kemudian mengangkat bahu. "Mungkin… yang ini." Dia menunjuk sebuah lukisan dengan warna-warna cerah yang tampak seperti ledakan warna yang tidak teratur.

“Ah, lo memilih yang paling terang!” Raya tertawa. “Kayaknya lo emang suka hal yang lebih berani.”

Ardan tersenyum kaku, merasa sedikit terpojok. “Gue nggak tahu, sih. Gue cuma milih yang paling nggak bikin gue bingung.”

Raya mengangguk sambil tersenyum. “Kadang hal-hal yang kita pilih itu yang paling mencerminkan diri kita, Ardan. Lo suka yang terang dan jelas, tapi kadang hidup itu nggak selalu jelas, kan?”

Ardan terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam kata-kata Raya yang membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan ringan. Mungkin dia benar. Hidup itu nggak selalu jelas, dan mungkin dirinya selama ini terlalu terjebak dalam rutinitas yang membatasi.

“Lo tahu, gue nggak pernah mikir tentang itu,” jawab Ardan dengan jujur. “Selama ini, gue cuma tahu kalau hidup gue harus punya tujuan yang jelas. Kalau nggak, ya gue nggak bakal nyaman.”

Raya menatap Ardan dengan serius. “Dan itu yang bikin lo terjebak dalam rutinitas, kan?”

Ardan menatap mata Raya, merasa ada kehangatan dalam tatapan itu. “Mungkin. Gue jadi lebih paham tentang diri gue, sih.”

Raya tersenyum dan menyentuh bahu Ardan. “Kadang, lo harus berani keluar dari zona nyaman untuk bisa melihat hidup dari perspektif yang berbeda. Lo udah mulai, kok.”

Ardan merasa sedikit canggung, tapi juga tersentuh dengan kata-kata Raya. Tiba-tiba, dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang berkembang antara mereka. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah.

Malam itu, setelah acara selesai, mereka berdua berjalan keluar dari galeri seni.

“Thanks udah ngajakin gue ke sini, Raya,” kata Ardan, mencoba merangkai kata-kata dengan lebih santai.

“Gue senang lo akhirnya bisa nikmatin,” jawab Raya. “Gue pikir, lo mulai terbuka sama hal-hal baru, kan?”

Ardan mengangguk. “Iya, gue mulai ngerti… mungkin ini nggak seburuk yang gue kira.”

Mereka berjalan di malam yang sejuk, dengan Ardan merasa sedikit lebih ringan dari sebelumnya. Bukan hanya tentang seni, tapi juga tentang dirinya sendiri. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia merasa sedikit lebih bebas.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Oh, My Psychopaths CEO!
1140      739     2     
Romance
Maukah kau bersama seorang pembunuh gila sepertiku?
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
6345      2031     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...
Dia yang Terlewatkan
400      276     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
PROMISES [RE-WRITE]
6184      1806     13     
Fantasy
Aku kehilangan segalanya, bertepatan dengan padamnya lilin ulang tahunku, kehidupan baruku dimulai saat aku membuat perjanjian dengan dirinya,
Dandelion
920      478     0     
Short Story
Sepasang gadis kembar, menjalani masa muda mereka dengan saling mengisi. Lika-liku kehidupan menjadikan mereka gadis-gadis yang berani layaknya bunga dandelion.
KETIKA SENYUM BERBUAH PERTEMANAN
550      390     3     
Short Story
Pertemanan ini bermula saat kampus membuka penerimaan mahasiswa baru dan mereka bertemu dari sebuah senyum Karin yang membuat Nestria mengagumi senyum manis itu.
ADRI
557      414     1     
Short Story
Untuk yang terlambat jatuh cinta.
Moira
26231      2674     5     
Romance
Diana adalah seorang ratu yang tidak dicintai rajanya sendiri, Lucas Jours Houston, raja ketiga belas Kerajaan Xavier. Ia dijodohkan karena pengaruh keluarganya dalam bidang pertanian dan batu bara terhadap perekonomian Kerajaan Xavier. Sayangnya, Lucas sudah memiliki dambaan hati, Cecilia Barton, teman masa kecilnya sekaligus salah satu keluarga Barton yang terkenal loyal terhadap Kerajaan Xavie...
Rekal Rara
13608      3826     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. â–Şâ–Şâ–Ş Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
Titisan Iblis
289      232     0     
Romance
Jika suatu saat aku mati, aku hanya ingin bersamamu, Ali .... Jangan pernah pergi meninggalkanku..... "Layla "