Beberapa minggu setelah perjalanan singkat mereka ke villa, hidup Ardan dan Raya kembali ke rutinitas sehari-hari. Mereka masih berkomunikasi setiap hari, berbagi tawa dan cerita, tetapi hubungan mereka kini terasa lebih serius. Ada perasaan yang lebih dalam yang tidak bisa mereka sembunyikan lagi, meskipun mereka belum sepenuhnya tahu bagaimana melanjutkannya.
Ardan kembali ke pekerjaannya, dengan jadwal yang lebih padat dari sebelumnya. Begitu banyak hal yang harus ia selesaikan, sementara Raya, meskipun bekerja di tempat yang berbeda, tetap hadir dalam hidupnya dengan cara yang membuatnya merasa lebih ringan. Namun, meskipun perasaan mereka terus berkembang, Ardan merasa ada jarak yang semakin terasa antara mereka. Raya tampak lebih diam, kadang jauh, seolah-olah ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan.
Suatu malam, setelah bekerja lembur, Ardan menerima pesan dari Raya.
"Ardan, kita bisa ngobrol? Ada hal yang perlu gue jelasin."
Pesan singkat itu membuat hati Ardan berdebar. Apa yang terjadi? Apakah Raya merasa ragu lagi? Dia memutuskan untuk segera menghubungi Raya, khawatir ada masalah yang belum mereka selesaikan.
Beberapa menit kemudian, teleponnya berdering. “Halo?” Ardan menjawab dengan suara penuh kekhawatiran.
"Ardan, lo di mana?" suara Raya terdengar agak gelisah.
"Aku baru selesai kerja, lo di mana? Ada apa, Raya? Kok kayaknya ada yang nggak beres?"
Ada keheningan di ujung sana, dan Ardan bisa merasakan kecemasan yang datang dari suara Raya. "Gue di rumah, Ardan. Gue cuma mau ngomong beberapa hal yang selama ini nggak gue ceritain."
Ardan mengernyitkan dahi. “Lo ngomong aja, Raya. Gue dengerin.”
Raya menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. “Sebelumnya, gue pengen lo tahu, gue nggak bermaksud ngejauh atau apapun. Tapi, ada hal yang nggak bisa gue rahasiain lagi. Ada bagian dari masa lalu gue yang selama ini gue simpen, dan gue rasa lo harus tahu.”
Ardan mendengar nada suara Raya yang lebih rendah. “Apa itu, Raya? Lo bisa cerita apa saja ke gue.”
Ada jeda panjang sebelum Raya melanjutkan. “Gue pernah mengalami hal yang nggak mudah, Ardan. Waktu itu gue sempat menjauh dari hubungan karena gue merasa nggak siap. Tapi sebenarnya, itu karena gue punya masa lalu yang masih mempengaruhi gue. Gue pernah terjebak dalam hubungan yang toxic, hubungan yang nggak sehat. Dan gue takut kalau gue bakal bawa masalah itu ke dalam hubungan kita.”
Ardan terdiam, merasakan perasaan campur aduk. "Toxic?" tanya Ardan dengan lembut. "Maksud lo gimana?"
Raya mengangguk meski Ardan tidak bisa melihatnya. "Iya, Ardan. Dulu, gue pernah bersama seseorang yang manipulatif, yang nggak pernah ngargain perasaan gue. Gue merasa selalu salah, selalu kurang. Itu ngebuat gue takut buat percaya lagi sama orang lain, bahkan lo. Gue takut kalau gue bikin lo kecewa, kalau gue bawa masa lalu gue yang buruk ini ke dalam hubungan kita."
Mendengar cerita itu, Ardan merasa terkejut. Meskipun dia sudah merasa dekat dengan Raya, dia tidak pernah tahu tentang latar belakangnya yang begitu menyakitkan. Tapi Ardan juga merasa semakin yakin—bahwa dia ingin membantu Raya menyembuhkan luka-lukanya, bukan meninggalkannya begitu saja.
"Raya..." Ardan memulai dengan suara pelan namun penuh pengertian. "Gue ngerti kalau lo merasa takut atau ragu. Tapi gue di sini bukan untuk ngeluarin lo dari masa lalu, kok. Gue di sini buat jalanin waktu ini sama lo, yang sekarang. Kita bisa berproses bersama. Gue nggak akan ninggalin lo, gue janji."
Raya diam untuk beberapa detik. "Tapi gimana kalau lo nanti kecewa sama gue? Gimana kalau gue nggak bisa jadi orang yang lo harapkan?"
Ardan menghela napas, mencoba menenangkan perasaannya. "Raya, hubungan itu bukan soal harapan yang sempurna, bukan soal kita selalu jadi yang terbaik. Tapi soal saling memahami, mendukung, dan belajar dari satu sama lain. Gue nggak akan ninggalin lo cuma karena masa lalu lo. Gue akan selalu ada buat lo, meskipun lo masih punya ketakutan itu."
Raya tersenyum kecil, meskipun Ardan tidak bisa melihatnya. "Lo yakin, Ardan? Gue... gue takut lo bakal capek dan akhirnya pergi."
Ardan tersenyum dengan lembut, mencoba menghilangkan kekhawatiran dalam suara Raya. "Lo nggak perlu takut, Raya. Gue nggak capek. Gue cuma pengen lo tahu, kita nggak harus sempurna, tapi kita bisa jadi lebih baik bersama-sama."
Ada keheningan yang nyaman di antara mereka berdua. Ardan merasa bahwa meskipun masalah ini baru muncul, hubungan mereka sudah semakin menguat. Mereka tidak lagi hanya berdua, tetapi juga saling mendukung untuk menjadi lebih baik.
"Terima kasih, Ardan," Raya akhirnya berkata dengan suara yang lebih ringan. "Gue nggak tahu harus gimana kalau lo nggak ada. Lo bikin gue merasa lebih kuat, lebih berani."
Ardan tersenyum. "Kita berdua kuat, Raya. Dan kita akan jalani ini bersama-sama."
Setelah itu, mereka melanjutkan percakapan mereka, berbicara tentang hal-hal kecil yang membawa tawa. Tetapi bagi Ardan, malam itu lebih dari sekedar percakapan ringan. Itu adalah momen penting yang membuktikan betapa besar ikatan mereka—dan betapa kuatnya komitmen mereka untuk saling mendukung dalam menghadapi masa lalu dan masa depan.