Pelantang itu jelas mengatakan, [Di mata kalian, aku apa?]
Tubuh keenam remaja itu bergeming untuk beberapa saat. Mereka tidak sedikit pun dapat menggerakkan persendian. Ingin menoleh, tapi tidak bisa. Ingin lari, tapi kaki seakan terpaku di atas lantai nan dingin. Mereka bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa takut? Apa itu suara hantu? Apakah suara hantu begitu jelas terdengar? Jelas mereka sudah tahu siapa pemilik suara tersebut.
Yurie.
“Di mata kalian, aku apa? Andai aku bukan anugerah, untuk apa aku dilahirkan?”
Potongan kalimat itu ialah sajak yang diciptakan oleh Yurie sendiri. Bukan sajak untuk tugas sekolah. Gadis itu memang suka membuat sajak untuk melampiaskan isi hati. Selain menuliskannya, Yurie juga suka merekam pembawaannya membaca sajak di ponsel. Awalnya hanya Asakura yang tahu Yurie suka membuat sajak, tapi gadis itu keceplosan dan berakhir ketahuan oleh beberapa teman terdekat. Salah seorang teman menyarankan Yurie untuk mengunggah sajak tersebut di NicoNico Douga—sebuah situs pengunggah video domisili Jepang, dan mendapatkan reaksi yang cukup positif oleh pengguna situs tersebut.
“Ini… bukannya rekaman pertama Yurie?” Amamiya pertama kali terbebas dari kebekuan situasi. Suaranya mampu meleburkan ketegangan yang menyelimuti mereka.
Masuda menoleh heran, kenapa dia tahu ini rekaman pertama? “Memang apa bedanya dengan rekaman yang diunggah di Nico?”
“Nadanya datar,” ungkap Asakura. Air matanya telah berhenti sejak pelantang berdengung. “Rekaman pertama tanpa nada, terdengar lebih pilu, curhat pada diri sendiri.”
Amamiya mengangguk. “Sementara yang diunggah di Nico lebih ekspresif, sedih tapi dibuat-buat—maksudnya bukankah begitu, harus mengikuti syarat intonasi sajak dan sedikit beradegan?”
“Yurie bilang ia tidak suka sajaknya dibagikan, bukan karena malu, ia… tidak suka ada orang asing yang mengetahui kesedihannya.” Asakura menjatuhkan diri tepat di kursi yang ada di belakangnya. Gadis itu bersandar lemas. “Kenapa Yurie mau saja menerima permintaan Saito? Harusnya aku bersiteguh menahan Yurie untuk tidak menyerahkan rekaman itu padanya.”
“Jadi yang menyuruh Yurie mengunggah sajak adalah Saito?” Masuda menggertakkan gigi. Kepalan tangan memukul telapak tangan satu lagi. Anak muda itu geram karena telah melupakan fakta bahwa bukan ia dan lima teman yang ada di kelas inilah teman dekatnya Yurie. Semua teman sekelas SD dulu adalah temannya—keluarga kedua baginya. “Kalau tidak salah dia ketua Klub Penyiaran, kan? Jangan-jangan ini semua ulahnya!”
“Tapi, untuk apa Saito melakukan hal seperti ini?” Umehara tidak sependapat. “Dia bukan orang yang suka bermain-main dengan perasaan orang lain. Dia kaku dan kutu buku.”
“Karena dia suka dengan Yurie. Apalagi?” timpal Ogawa seraya bersedekap. Gadis itu memicingkan mata pada ketiga anak laki-laki di hadapannya. “Kalian semua menyukai Yurie—dan jangan membela diri.”
Masuda, Umehara, dan Hanazawa saling menatap satu sama lain, lalu memalingkan wajah. Mereka tidak bisa mengelak karena begitulah faktanya.
Melihat para laki-laki terbungkam, bola mata Ogawa berputar lalu berdecak lidah. “Sudah tiada pun hati kalian tetap terpenjara olehnya? Sampai kapan kalian begitu?” Ogawa menghampiri Umehara, menatapnya lekat-lekat. “Sampai kapan aku harus menunggu? Kamu sudah bilang, kan, sudah menyerah soal Yurie? Lalu kenapa setiap kali nama gadis itu disebut, kamu terlihat tidak rela dan masih berharap? Dia sudah tiada, Haruki!”
Umehara menaikkan satu tangan tepat akan mengarahkan ke pipi Ogawa. Namun pemuda itu menghentikan niat. Ogawa terbelalak melihat telapak tangan yang akan mendarat ke pipinya. Umehara tidak pernah bersikap kasar pada siapapun, tidak akan main tangan walau lawannya juga laki-laki. Lalu, apa maksudnya dengan tangan yang terangkat itu?
“Kenapa berhenti? Lakukanlah!” Jenuh dalam dada menumpuk hingga Ogawa menaikkan desibel suaranya.
Kedua bola mata Umehara terpaku menatap sesuatu di balik punggung Ogawa. “Yurie….”
“Hah?!”
Dari balik kaca yang terpasang persegi panjang di pintu kelas, Umehara melihat dengan jelas sosok seorang perempuan mengenakan seragam, rambut sebahu, kepala menunduk dengan poni menutupi hingga hidung. Cairan merah pekat mengalir di salah satu pipinya. Bibir biru sembab. Sosok gadis itu tampak ‘bercahaya’ sekilas. Sosok itu memiringkan badan ke kiri, terlihat hendak jatuh. Tepat sosok itu menghilang, terdengar sesuatu jatuh di lorong. Pecahan kaca menggema keras di luar kelas.
Masuda yang lebih dekat dengan pintu depan segera meraih telinga pintu, menariknya ke samping. Hanazawa menyusul kemudian. Keduanya menoleh kiri-kanan, tidak ada siapapun di lorong, pun tidak ada sisa benda yang jatuh di luar kelas. Hanya senter dari ponsel yang mereka andalkan untuk mengamati situasi di koridor gelap itu.
Umehara membuka pintu kelas bagian belakang, di mana ia yakin melihat seseorang di sana. Ia beradu pandang dengan Masuda dan Hanazawa. Kedua temannya itu menggelengkan kepala. Umehara belum yakin dengan penglihatannya, karena itu ia tidak mengatakan apa yang ia lihat sebelum suara kaca pecah itu bergema. Ia menghampiri kelas sebelah, menggeser pintu kelas tersebut. Tidak ada pergerakan. Ia mengintip dari kaca, bola mata bergerak dari depan kelas hingga ujung kelas, tidak ada kehidupan, tidak ada penampakan. Bola matanya berusaha melirik ke bawah, di balik pintu kelas itu bisa saja menjadi titik buta. Jika ada orang yang memang sengaja mengerjai mereka, pasti ia sudah bersembunyi di kelas ini dan menunggu momen yang tepat untuk melakukan aksi terornya.
Tepukan keras mendarat di pundak Umehara. Tubuh remaja itu tersentak, spontan bersuara, ‘waaa!’ mewakilkan keterkejutannya. “Kau membuat jantungku copot!”
Pelakunya ialah Masuda. “Maaf,” pemuda itu merasa bersalah karena tidak memanggil terlebih dahulu. “Apa kau lihat ada orang?”
Umehara masih ragu, tapi ia tidak punya pilihan karena tidak mau takut sendiri. “Begitulah…, tapi karena gelap aku tidak tahu siapa.” Ia sedikit berbohong karena sosok dalam kegelapan itu tidak mungkin Yurie, pun ia tidak mau mengakui Yurie gentayangan di sekolah.
“Jadi ke ruang penyiaran?” Hanazawa menghampiri kemudian. Remaja itu sempat kembali ke dalam kelas, menjemput anak-anak perempuan agar keluar dari kelas bersamaan. “Atau sebaiknya kita pulang saja? Aku khawatir dengan mental Mie.”
Masuda melirik Asakura yang tidak melonggarkan sedikit pun pelukan pada Amamiya. Ogawa juga berdiri di samping gadis bertubuh mungil itu, walau tidak dapat menenangkan orang yang ketakutan—karena ia juga sangat takut—setidaknya kehadirannya menjadi tameng untuk sang teman.
“Kalian pulanglah. Biar kami para laki-laki yang menghajar pelaku,” Masuda memberi titah dengan nada tegas. “Ada pun kalian hanya mengganggu.”
“Kalian yakin membiarkan kita pulang sendirian?” Raut Ogawa memucat, mata melirik-lirik ke arah koridor nan gelap di depan mata. “Kalau ternyata peneror ini berniat melakukan tindakan kekerasan, bagaimana? Kami bertiga tidak punya kemampuan bela diri.”
“Aku setuju,” Amamiya mengungkapkan pendapat, “dengan kondisi Mie seperti ini, aku tidak bisa bergerak bebas jika ada yang berbuat jahat pada kita. Aku sendiri bisa lari secepat mungkin, tapi tidak mungkin meninggalkan Mie, kan?”
Masuda terdiam, melirik Umehara dan Hanazawa yang menoleh ke arah lain, kemudian berdecak pelan. “Merepotkan,” geramnya pelan.
“Maaf, aku hanya jadi beban,” Asakura meringis, semakin menenggelamkan wajah dalam dekapan Amamiya.
“Menurutku…,” Amamiya kembali bersuara, “kita sama-sama pergi dan pulang bersama.” Ia menatap temannya satu per satu. “Kita ke ruang penyiaran bersama…,” saat berujar demikian, Asakura mengerang pelan, “…kita pastikan ada atau tidaknya orang di sana. Selesaikan masalah dengan cepat. Pulang.”
“Bicara gampang,” sanggah Masuda.
“Setidaknya ada kalian yang menanganinya, kan?” Amamiya bersiteguh menyuarakan idenya. “Dan kami juga bisa pulang dengan hati tenang! Andai kita bisa pulang dengan aman pun, pasti selama dalam perjalanan pulang pikiran kami ke kalian. Laki-laki bertindak dengan logika. Perempuan bertindak dengan insting. Kita bisa bekerja sama menanganinya. Biar aku yang mengurus Mie.”
Anak laki-laki terbungkam dengan pendapat logis Amamiya. Hanazawa pertama kali menganggukkan kepala. Umehara bergumam setuju kemudian.
Masuda kembali berdecak lidah. “Baiklah!” Ia melangkah terlebih dahulu tanpa aba-aba.
Umehara mengarahkan tangannya ke depan, meminta para anak perempuan berjalan terlebih dahulu. Amamiya, Asakura, dan Ogawa berjalan bersama di belakang Masuda. Umehara pun menjadi tameng punggung tiga gadis itu.
Saat hampir melewati pintu depan kelas, Umehara sadar tidak ada Hanazawa di sisinya. Ia menoleh ke belakang, menghela napas kemudian. Hanazawa memastikan pintu belakang kelas tertutup. Ia pun menutup pintu kelas bagian depan, kemudian mengubik Hanazawa agar mempercepat langkah. Keduanya menyusul rombongan depan.
Ruang penyiaran berada di lantai empat, akan karena itu enam remaja itu naik satu lantai dari posisi mereka berkumpul. Sialnya ruang penyiaran terletak paling ujung. Keenamnya menulusuri lorong nan gelap bermodalkan senter dari ponsel masing-masing. Decitan langkah kaki di lantai bergema miris di telinga. Sedikit saja suara asing membuat Asakura meringis ketakutan. Kedua mata gadis itu berair. Warna wajahnya memerah. Ia hanya menatap ke lantai, pada langkah kaki teman-teman di sekitar. Gadis itu berhalusinasi, andai menaikkan pandangan, yang dilihat bukan badan kelima temannya malah sosok lain yang ternyata selama ini menemaninya.
“Aaah!” Asakura terpekik sendiri.
Kelima temannya sontak menghentikan langkah, menoleh sekitar sebelum mengarahkan senter ke Asakura.
“Apa?” Ogawa bertanya dengan suara bergetar.
“Ka-kalian ma-manusia, kan?” Asakura gamang meraba-raba Ogawa.
Ogawa menepis telapak tangan penuh keringat, pun mundur selangkah. “Kau ini!”
Masuda mendecakkan lidah. “Kau jangan membuat suasana semakin runyam! Kendalikan imajinasi burukmu!” Ia kembali melangkah, mempercepat kaki bergerak karena ruang penyiaran sudah di depan mata. “Kita sudah tahu selama ini kau bohong melihat arwah Yurie!”
“A-aku tidak berboh—”
Nyiiiit—
Gema tipis mengalun saat pintu ruang penyiaran dibuka. Tangan Masuda tidak lepas dari pegangan pintu ruangan tersebut. Ia menyorotkan cahaya ke seantero ruangan, lalu menoleh ke kelima teman-temannya.
Umehara menghampiri, “Tidak dikunci?”
“Berarti benar ada yang mengerjai kita.” Masuda semakin yakin ada yang dendam pada mereka berenam, atau bisa saja sang pelaku di antara teman-temannya itu. “Pelaku pasti kenal dekat dengan Saito, meminjam kunci ruangan atau mencurinya? Atau… bisa saja semua ini ulah Saito. Dia juga peduli pada Yurie.”
Tanpa mengulur waktu, Masuda melangkahkan kaki ke dalam ruang penyiaran. Senter disorot ke dinding, mencari saklar, menekannya. Ruangan tetap gelap. Ia mencoba menekannya berkali-kali, hasilnya nihil. Ia mengarahkan senter ke langit-langit. Lidahnya kembali berdecak.
“Niat sekali mereka mengerjai kita.” Umehara tidak percaya ketiadaan bola lampu di langit-langit.
Amamiya, Asakura, dan Ogawa berdiri di bingkai pintu, enggan masuk. Hanazawa ada di belakang, jadi ketiganya masih merasa aman dijaga oleh laki-laki—meski mereka tidak bisa terlalu percaya karena Hanazawa bertubuh ceking, tidak terlihat memiliki otot kuat layaknya anak laki-laki normal.
Hanazawa bergumam pelan sebelum bersuara, “Hm, bagaimana?”
Amamiya melangkah masuk karena penasaran. Ia menghampiri meja di mana ada sebuah laptop yang layarnya tengah berdiri, tapi tidak ada tanda-tanda hidup. Iseng, gadis itu menekan satu tombol di keyboard. Terdengar dengungan pelan, layar laptop berkedip, menampakkan cahayanya kemudian.
Semilir angin menggelitik kuduk Hanazawa. Saat pemuda itu menggosok-gosokkan tengkuk, ada dorongan kuat di punggungnya. “Haah!” Tubuh Hanazawa tidak sengaja turut mendorong Ogawa dan Asakura hingga mereka seutuhnya masuk ke ruang penyiaran.
Umehara spontan memegang kedua lengan Ogawa yang tersandung ke arahnya. Masuda malah menghindar saat tubuh Asakura oleng, membiarkan gadis itu terjerembab ke lantai. Hanazawa juga terjatuh, kepalanya terbentur ujung meja, cukup kuat hingga menimbulkan bunyi. Bunyi ceklek pun terdengar kemudian.
Masuda melewati dua temannya tanpa peduli dengan keadaan mereka, tangan segera meraih pintu. Pintu tidak bergerak sedikit pun meski ia sudah berusaha menarik dan mendorongnya. Matanya kelayapan melihat koridor di luar sana lewat kaca di pintu. Gelap, tidak ada sedikit pun cahaya yang mampu membantunya melihat keadaan di luar. Ia juga berusaha mensenter dengan ponsel, tapi hasilnya nihil. Sementara itu, Amamiya membantu Asakura berdiri terlebih dahulu, baru menanyakan keadaan Hanazawa.
“Aku tidak apa-apa,” ungkap Hanazawa pelan. Pemuda itu memegang kening, terasa ada cairan pekat telat menetes di titik terkena ujung meja. Ia segera mengelap dengan lengan seragam, tidak menggubris lukanya karena takut akan semakin membuat Asakura ketakutan.
“Sial! Kita dikunci dari luar!” Masuda mengerang, menepuk-nepuk badan pintu sekuat tenaga.
Umehara segera melepaskan genggamannya dari Ogawa. Tanpa suara ia beralasan dengan menghampiri laptop yang tertinggal di ruang penyiaran. Itu bukanlah laptop yang dipakai khusus oleh anggota klub penyiaran, melainkan laptop yang bisa dipinjam di perpustakaan kala murid membutuhkannya untuk membuat tugas sekolah.
Layar laptop itu berlatar belakang putih polos dan hanya ada satu berkas yang termuat di sana. Judul berkas itulah yang membuatnya penasaran. Perasaan Yurie. Sontak, jari telunjuk Umehara mengarahkan kursor ke berkas tersebut, menjalankannya.
Amamiya kembali berdiri seraya membantu Hanazawa duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan. Bola mata gadis itu terbelalak saat Umehara sudah tanpa izin ‘mengutak-atik’ laptop yang jelas-jelas terlihat mencurigakan.
Berkas itu ialah sebuah video. Kualitas rekaman zaman dulu dengan warna monokrom dan garis-garis tipis bergerak turun. Hal yang paling mencurigakan ialah fokus rekaman, terlihat jelas mengarah ke sebuah pintu. Pintu kelas? Bukan!
“Dilihat dari sudutnya dan benda-benda di sekitar pintu… kameranya… di arahkan dari dalam ruangan ini… ke luar?” terka Umehara. Ia melihat detail yang tergambar di rekaman, mengamati ruang siaran kemudian. Ia menganggukkan kepala. “Masuda! Lihatlah ini.”
Untuk sementara Masuda menyerah soal pintu, ia berbalik kembali ke teman-temannya karena juga penasaran dengan apa yang mereka lihat. Kening remaja itu berkerut. Ia menoleh dari layar laptop ke pintu, laptop lagi, pintu lagi, laptop lagi. Pada menit kedua di video, dari balik kaca pintu tiba-tiba muncul sosok seorang perempuan, kepalanya tertunduk, rambut sebahu, poni menutupi sebagian wajah. Rekaman berkedip-kedip, lalu menampilkan sosok siswi itu memegang sebuah buku yang direntangkan di wajahnya hingga sosoknya tidak begitu dikenali.
Ogawa spontan menarik Umehara ke belakang, memeluk lengannya, menyembunyikan sebagian diri, tapi masih berusaha untuk melihat rekaman tersebut. Asakura terpekik. Ia langsung menutup wajah dengan kedua telapak tangan, berdiri di belakang Masuda, meminjam punggung pemuda itu untuk bersembunyi. Masuda malah mendorong Asakura agar menjauh. Amamiya dengan sigap meraih Asakura, memeluk, menjadi pendukung mental gadis itu. Hanazawa merasa pusing setelah kepalanya terbentur ke ujung meja. Ia lebih memilih menggeser kursi, memperhatikan layar dengan mata sayu.
Gambar rekamannya terputus-putus, suara yang terdengar hanyalah desis pelan, tapi pada menit ke 2.24 terdengar jernih, bertolak belakang dengan kualitas video tersebut.
[Bayarlah dosa kalian…]
Bersamaan dengan suara tersebut, dari balik pintu terlihat beberapa kali kilasan cahaya, memantulkan sosok perempuan yang sama dengan yang ada di video tersebut. Melihat penampakan itu, pekikan para gadis menyelimuti ruang penyiaran.