Aku selalu percaya, jika kita menemani seseorang sejak awal, sejak dia belum punya apa-apa, maka saat dia berhasil… kita akan menjadi orang pertama yang ia peluk.
Nyatanya, aku salah.
Aku bersamanya sejak masih memakai seragam abu-abu putih. Menjadi telinga untuk semua keluhannya, menjadi tangan yang mendorongnya bangkit saat dia hampir menyerah, menjadi bahu yang ia sandari saat dunia terasa terlalu berat. Aku bahkan ikut menghitung hari, mengirim doa di setiap langkahnya, hingga akhirnya ia mengenakan seragam yang selama ini kami impikan bersama.
Tapi di hari ia mencapainya—hari yang seharusnya menjadi puncak dari semua perjuangan—aku hanya penonton. Bukan lagi bagian dari panggung hidupnya.
Tak ada pelukan. Tak ada tatapan bangga. Tak ada tempat untukku di sisinya.
Yang ada hanyalah pertanyaan yang terus menggerogoti hati:
Bagaimana bisa seseorang yang kita cintai dari titik nol… memilih berjalan bersama orang lain di puncaknya?
Dan di sanalah aku berdiri, mencoba menerima kenyataan bahwa mungkin… bukan aku akhirnya.