Alunan petik gitar memenuhi seisi ruang kamar 34 tersebut, sebuah lagu yang lagi hits sedang dinyanyikan dengan serius oleh dua laki-laki yang sama-sama memegang gitar. “Dia” dari Anji ini memang acap kali di putar bahkan menjadi bast song mereka. Berkali-kali tanpa bosan mereka akan menyanyikannya disetiap kesempatan.
“Oh tuhan ku cinta dia
kusayang dia, rindu dia
inginkan dia……
utuhkanlah rasa cinta di hatiku
hanya padanya, untuk dia
hanya padanya, untuk dia”
Bertepatan dengan lagu selesai masuk seorang wanita seumuran mereka membawa nampan berisi satu toples nastar dan tiga gelas jus jeruk. “suka banget ya sama lagu itu?” tanyanya setelah meletakkan nampan ditengah mereka.
Dua laki-laki itu saling pandang dan kembali melihat kearah wanita yang kini duduk didepan mereka, “suka banget!” jawab mereka serentak, dan disusul tawa keduanya.
“nggak lucu kali” judes wanita itu sambil membuka tutup toples nastar dan memakannya, matanya masih melihat kedua laki-laki yang tertawa itu. Padahal menurutnya tidak ada yang lucu dari pertanyaannya.
Kedua laki-laki itu bernama Irza dan Manda, sedangkan wanita yang masih marah karena tingkah dua laki-laki itu bernama Dhita. Mereka bertiga telah lama bersahabat, terutama Irza dan Dhita. Sejak TK mereka sudah saling kenal dan bahkan sering tidur bareng. Dulu! Waktu masih anak-anak. Ya kalau sekarang sudah nggak mungkin lagi lah!
Sedangkan Manda, mereka pertama kali bertemu waktu awal masuk SMA. Saat itu mereka masih awal masa orientasi siswa, tidak sengaja satu tim yang sama. Berbeda dengan siswa lain di kelompoknya yang terlihat sibuk dengan urusan masing-masing, Manda lebih menonjol diantara yang lain. Tingkahnya yang hiper aktif membuat ketiganya dekat. Jadilah saat ini, mereka masih suka kumpul bareng di kamar Irza yang telah menjadi basecamp mereka sejak awal.
Setelah beberapa menit dan beberapa suap nastar yang masuk mulut Dhita, barulah mereka berhenti tertawa. Sebegitu lucu memang pertanyaan-nya ya? Baru saja ia ingin memprotes apa yang lucu, terdengar suara ketukan pintu, dan muncul ibu dibalik pintu “Dhita, bantuin ibu didapur yuk nak!” tanpa memba-bi-bu ia langsung menjawab “iya bu” dan bangkit dari duduknya. Sebelum benar-benar pergi ia menatap kedua sahabatnya itu lalu melakukan gerakan dua jari seperti pis tapi mengarahkan ke matanya dan lalu kearah dua laki-laki yang sedang menatapnya juga. Menantang keduanya.
Setelah Dhita pergi kedua laki-laki itu kembali tertawa sambil menirukan gaya wanita itu menantang mereka.
Didapur Dhita membantu dibagian memotong sayur, hal yang paling ia suka. “bu, ini juga di potong-potong?” Tanya Dhita menunjukan satu kantung buncis.
“iya nak, itu semua yang diatas meja mau dimasak.”
Setelah mengerti ia melanjutkan kegiatannya memotong sayur. Beberapa kali Dhita melihat kearah ibu yang sedang sibuk menggoreng ikan. Beliau adalah ibu dari Irza. Karena sudah lama mengenal keluarga Irza, bahkan kedua orang tua mereka pun juga bersahabat. Jadi tidak ada alasan yang mendasar Dhita memanggil kedua orang tua Irza dengan sebutan Ibu dan ayah. Dan juga selama ini baik ibu dan ayah maupun Irza serta bunda dan papi-nya tidak pernah mempermasalahkannya.
Kegiatan di dapur sudah rampung ia kerjakan bersama ibu, ya… meskipun beberapa kali dua laki-laki itu bolak balik dapur hanya untuk merecoki kegiatannya membantu ibu. Sempat kesal, tapi ia mampu menahannya. Kalau sampai ia kebawa pancingan mereka, bisa-bisa kerjaan didapur pada nggak beres karena mood nya yang hancur. Syukur ia bisa menahannya.
Setelah semuanya siap diatas meja, ibu menyuruh Dhita memanggil dua para laki-laki dikamar, “sayang, kamu tolong panggil para laki-laki itu ya”.
“hm” angguk dhita semangat.
Semakin dekat dengan kamar, ia tidak mendengar apapun dari dalam. Entah itu suara gitar, maupun obrolan apapun. Muncul lah ide yang menurutnya begitu cemerlang. Tepat didepan pintu kamar yang ditutup dan menyisakan celah agar tidak benar-benar tertutup, Dhita berhenti. Iya merencanakan ingin mengerjain kedua teman jailnya itu. Menurutnya, saat inilah ia menjail kedua sahabatnya itu. Kan selama ini mereka berdua lah yang menjail Dhita habis-habisan. “sepertinya mereka tidur” batin Dhita.
“satu, dua, ti….” Bisiknya. Tepat sebelum hitungannya mencapai tiga ia menggenggam knop dan ingin membukannya. Tapi naas rencananya gagal. Malah ia yang kini terhuyung masuk kedalam kamar dan tertabrak tubuh Irza. Karena Manda menarik duluan Knop dari dalam kamar.
Satu detik, dua detik, ia masih berdiam pada posisinya. Bukan romantis maupun saatnya melo-melo drama korea melainkan rasa dongkol seketika itu juga menguap, terlebih kini dua suara bariton yang tertawa memenuhi pendengarannya, “kyaaaaaa…..” teriak Dhita sambil memukuli tubuh Irza dihadapannya dan Manda disisi kirinya bergantian.
*****
Seperti biasa, Dhita akan nebeng Irza kesekolah hitung-hitung irit uang jajan, dan mengurangi kemacetan dan tentunya polusi. Motor beat berwarna biru putih inilah menjadi satu-satunya kendaraan mereka kesekolah, semenjak masuk SMA hingga saat ini masih betah menemani.
Diperjalanan mereka bertemu Manda yang mengendarai motor ninja berwarna merah, dengan kecepatan sedang. “cieee…. motor baru pak!” teriak Dhita setelah Irza merhasil mensejajarkan motornya dengan Manda.
“wih!” kagetnya sebelum menjawab pertanyaan Dhita, “nggak Dhit, motor bekas!” katanya ngawur.
“boong!”
“udah tahu baru, pake nanya lagi. Gimana? Mau coba naikin?”
Dengan cepat kilat Dhita mengangguk mengiyakan perkataan Manda, “awas ya kalau cuman ngerjain” katanya memastikan.
Manda tertawa sumbang, “ya nggak lah, pulang sekolah entar langsung coba gimana?” tawar Manda yang langsung di angguki oleh Dhita yang semakin semangat.
“boleh kan?” kini berganti Manda meminta persetujuan Irza yang sedari tadi hanya mendengarkan dan fokus dengan jalan yang mulai remain dengan kendaraan.
Irza yang merasa ditanyai, menengok sebentar kearah Manda sebelum kembali fokus dengan jalanan, “terserah kalian aja!”.
Dua puluh menit di perjalanan mereka kini telah tiba diparkiran. Terbilang cepat mereka kesekolah, buktinya masih banyak parkiran yang belum terisi.
Setelah beres parkir mereka bertiga bersama-sama masuk kelas. Tidak heran bila mereka menjadi pusat perhatian anak-anak yang baru sampai di pagar sekolah, terutama para perempuan. Bagaimana tidak disisi kiri kanan Dhita berdiri dua laki-laki ganteng, pujaan para kaum hawa disekolah. Itu menurut mereka loh, kalau menurut Dhita dua laki-laki ini adalah dua manusia terabsurd yang pernah ia temui. Apalagi kalau sudah hanya bertigaan, beh! Benar-benar absurd.
Tepat didepan kelas Irza, mereka berpisah. Irza ke kelasnya XI IPA 5 yang kini mereka lewati. Sedangkan Dhita dan Manda terus menelusuri kolidor menuju tangga di ujung kolidor kelantai dua. Dilain sisi Irza tidak benar-benar masuk kelas. Kini ia menatap dua punggu yang berjalan menjauh, melihat kedua sahabatnya itu yang sedang asik mengobrol. Terdapat rasa aneh, memang bukan pertama kali Irza melihat kedekatan kedua sahabatnya itu.
Namun entah mengapa kali ini terasa berbeda, terasa seperti akan ada sesuatu hal yang akan pergi dan menghilang. Tapi Irza tidak tahu pasti apa itu. Yang jelas kali ini ia seperti tidak rela, benar-benar tidak rela diatara persahabatan mereka terasa ada yang menganjal dan benjadi batu pemberat. Terutama diantara ia dan Dhita seperti terasa akan ada yang pergi dan menghilang.
Irza tidak mengerti ini hanya perasaanya saja atau bertanda akan ada sesuatu hal yang benar-benar terjadi dikemudian hari. Karena tidak ingin menaggapi perasaannya terlalu dalam, ia menapik kemukinan yang ia buat sendiri dan lebih memilih berpikir positi dan masuk kekelas. Karena ada beberapa catatan yang harus ia selesaikan.