Terluka Pertama Kali
Sepulang Irza dan Manda, Dhita memilih menghabiskan waktunya di ruang perpustakaan pribadi khusus miliknya yang berada di rooftop, yang juga langsung terhubung dengan teras kamarnya. Jika tidak sedang bersama sahabat-sahabatnya ia akan menghabiskan waktunya disana. Membaca buku-buku yang kebanyakan berjenis novel eropa. Dan kali ini ia akan menghabiskan bab terakhir dari novel berjudul imagine me gone karya Adam Haslett, yang mengisahkan tentang kehilangan dan cinta.
“the last” semangatnya dalam hati karena ini lembar terakhir dari bab terakhir novel kenamaan itu.
Tidak butuh waktu lama, “finish!!!” teriaknya semangat. Dan menutup bukunya.
Lalu ia berdiri dari kursi panjang yang biasa menjadi tempat sempurnanya membaca. Berniat meletakan novel tersebut dirak khusus novel terbaru dan menjadi kumpulan novel-novel kesukaannya.
Drrrtttt……
Sesampainnya ia didepan rak, handphone-nya berada dimeja berdering. Tanpa menunggu harus meletakkan novelnya ia langsung berlari meraih dan mengangkat panggilan telpon tersebut. Tercetak dilayar nama “Bunda“. Senyum sumringah pun terpancar diwajah wanita yang baru menginjak usia 16 tahun itu.
“ha…..”
“apa benar ini anak dari Bapak Rendy dan Ibu Tika?” potong suara di seberang telephone.
“b-benar i-ini siapa ya?” Tanya Dhita ragu, kini jantungnya berdegup lebih cepat dari normalnya. Bahkan yang biasanya ia lari pagi, jantungnya tidak pernah berdetak secepat ini dan membuat sesak.
“maaf, kami dari rumah sakit Bunda Sahada ingin memberitahukan bahwa orang tua anda baru saja masuk UGD karena mengalami kecelakaan di kilometer 125, kam……..”
Buk!
Novel yang masih pegang dan beberapa datik baru selesai ia baca jatuh kelantai, bersamaan dengan tubuhnya yang lunglai terduduk diatas karpet berbulu berwarna ungu. Tangannya yang sudah gemetar, tidak lagi mampu mempertahankan handphone untuk mendengar informasi yang benar-benar menguras tenaganya itu.
“pa-pa bun-da” lirihnya, dan pecahlah sudah air matanya begitupun dengan tangisnya yang meraung memenuhi ruangan.
*****
Benar-benar hati Manda sakit, bukan karena melihat Dhita dan Irza yang berpelukan. Tetapi melihat air mata wanita yang sangat ia cintai tanpa henti mengalir. Semalaman wanita itu menangis tanpa henti. Kepergian kedua orang tuanya yang mendadak membuat Dhita terpukul dan kehilangan orang yang ia cintai untuk selama-lamanya, orang terkasih yang selama ini menjadi rumah yang nyaman baginya.
Drrrtttt…….
Pukul 11.56 handphone Manda berdering, ia baru bisa mengangkatnya setelah panggilan ke dua puluh satu. Karena terlalu lelah hari itu ia tertidur dan terbangun ketika tanpa henti handphonenya berdering mengganggu tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika suara tangis yang bergetar dari arah seberang terdengar menyapanya pertama kali. Demi memastikannya ia melihat nama yang tertera di layar handphone-nya, “Dhita”.
“kamu kenapa nangis Ta!”
“pa-pa bun-bun-da kecelakaannn……”
“inalillahi, sekarang kamu dimana?” Tanyanya khawatir.
“ru-ru-mah sakit Bunda Sahada”
“aku kesana sekarang!”
Tanpa menunggu waktu ia langsung mengambil jaket yang terletak disandaran kursi dan mengambil kunci motornya. Ia sakit ketika mendengar suarah tangis yang terdengar lirih dari wanita yang begitu ia cintai.
Sesampainnya di UGD, sunguhan pertama yang Manda lihat adalah wajah Dhita yang berumuran air mata. Sakit, hal petama yang Manda rasakan. Ia pun menghampiri Dhita lalu duduk disamping wanita itu dan memeluknya. Berharap sedikit menenangkan wanita itu.
Tidak lama ia melihat Irza yang menghampiri mereka.
“Dhita?”
Mendengar suara Irza, Dhita lalu berdiri dan menghambur kedalam pelukannya.
Setelah itu baik dari ketigannya tidak sedikitpun mengeluarkan sepatah katapun, yang mengitari mereka hanya suara tangis lirih Dhita, dan lalu lalang perawat di ruang UGD.
Dan berbalut pakaian serba hitam Manda, dan juga Dhita yang masih berdiri mendekap dipelukan Irza diantara dua pusaran orang tuanya. Semalam setelah dipastikan kedua orang tua Dhita sudah meninggal, baik Manda maupun Irza tidak pernah beranjak dari sisi wanita yang sedang berduka kehilangan tersebut.
Bahkan semalaman dua laki-laki itu terus terjaga menjaga Dhita. Memastikan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Bahkan dalam tidur wanita itu pun ia masih menggumamkan orang tuanya. Dan berkali-kali pula menangis dan ketakutan dalam tidurnya. Tirlihat gelisah dan tidak tenang.
Manda melangkah menghampiri kedua sahabatnya, dan mendekap Dhita juga.
“ada kita berdua disamping kamu Ta,” jelas Manda menenangkan.
Wanita itu lalu mengalihkan pandangannya kearah Manda, dan langsung beralih memeluknya. Menumpahkan rasa sesaknya yang memenuhi dadanya dari semalam.
“sakit Da! Sakit!” lirihnya.
“I’am here!”
Dengan mata yang sembab dan wajah pucat, wanita it uterus menangis di dalam pelukan Manda. Demi menenangkannya, Manda mengelus puncak kepala dan bahu Dhita dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Berharap ini untuk pertama dan terakhir ia melihat wanita yang ia cintai menangis.
“aku sayang kamu Ta!” tegasnya pada dirinya sendiri.