Loading...
Logo TinLit
Read Story - Anggi
MENU
About Us  

Setelah Ibu pergi untuk kembali ke kampung halaman, kost kembali lengang. Hanya suara deru kendaraan bermotor yang saling beradu dari jalan raya di depan kost. Tidak cukup membuat suasana kost menjadi ramai. Debu sudah tidak lagi mengepul sejak bersih-bersih kamar selesai dilakukan satu jam yang lalu. Lantai pun telah mengering dan terlihat lebih bercahaya setelah dipel. Cahaya jingga pertanda senja menerobos jendela ruang utama lantai dua tempat kamarku berada. Ada 2 kursi dan 1 meja di ruang utama untuk menerima tamu. Selain itu hanyalah hamparan lantai keramik putih bermotif bunga merah muda seluas 6 x 3 m2. 
    Aku masih belum percaya. Untuk satu tahun ke depan aku akan tinggal di kamar berukuran 2 m x 3 m ini. Kamar kost yang terletak di atas rumah makan padang di pinggir jalan raya, jalan pemisah antara kostku dengan kampusku. 
    Lengang.
    Tidak ada lagi kerusuhan dan pertengkaran kecil antara aku dan adikku seperti saat di rumah. Bersyukur kehidupanku di sini bisa lebih tenang. Tapi sejujurnya, hatiku pun menempatkan rasa khawatir cukup besar. Khawatir apakah kehidupanku di sini akan baik-baik saja?
***
    Technical Meeting OSPEK hari ini sudah membuatku senam jantung karena dimarahi senior. Mereka marah karena aku tidak memakai pakaian sesuai aturan. Selanjutnya, acara berjalan tidak terlalu istimewa. Hanya berkenalan dengan orang-orang baru. Masih merasa sendiri di antara teman-teman mahasiswa baru.
    Aku membeli lauk dan sayur sebelum kembali ke kost. Nasi sudah kumasak menggunakan magic jar kecil sejak tadi pagi. 
    Ada 5 kamar di kost yang kutinggali. Dua kamar dihuni kakak tingkatku dan dua kamar lainnya yang berjejer di sebelah kamarku belum mendapatkan penghuni.
    Aku berjalan menaiki tangga, berjalan menuju kamar dan mulai penasaran dengan pintu kamar sebelahku yang terbuka. Ada penghuni baru di sana. Aku senang sekali. Perasaan kesepian selama ini seakan sirna seketika. 
    “Hai! Aku Haifa.” Aku menjulurkan tangan kanan padanya, tradisi universal saat mulai berkenalan dengan orang asing.
    “Aku Anggi.” Dia menjabat tanganku dan aku memasang senyum seceria mungkin.
    “UNY?”
    “Iya. Kamu juga?”
Aku mengangguk dan dia segera bertanya, “Jurusan apa?”
    “Pendidikan Kimia, kamu?”
    “Pendidikan Biologi. Wah kita satu fakultas!” Anggi meninggikan suaranya dan tersenyum lebar ke arahku. 
    Itulah pertama kalinya aku bertemu Anggi. Kami tidak langsung akrab.
    Malam ini aku makan sendiri. Rasanya aneh karena tidak terbiasa. Saat di rumah aku selalu makan bersama keluargaku di meja makan. Meski makan sendiri seperti ini sudah kulakukan kemarin tapi tetap saja belum terbiasa. Sedih rasanya tapi mau bagaimana lagi.
    Aku mendengar suara sendok dan piring saling beradu dari kamar sebelah. Anggi pasti juga sedang makan. Ah! Kamar kami bersebalahan tapi makan sendiri-sendiri seperti ini. Konyol sekali!
*** 
    Aku memang bukan tipe orang yang bisa cepat akrab dengan orang lain yang baru kukenal. Seminggu kemudian kamar kosong di sebelah kamar Anggi ditempati teman satu SMA Anggi. Fiqoh namanya. Mereka, tentu saja sudah sangat akrab. Semakin membuatku merasa terisolir.
    Mereka selalu bersama saat membeli lauk dan sayur. Dua pagi berturut-turut mereka membeli gudeg. Aku sering memperhatikan mereka hingga pagi ketiga Anggi bertanya padaku.
    “Kami mau beli makan, kamu mau nitip nggak Ha’?” Wajahnya sumringah meski belum mandi. Segera aku mengangguk mantap.
    Tidak lebih dari 15 menit mereka telah kembali. Kami makan pagi bersama di kamar Anggi. Aku sangat terharu.
    “Nah, begitu dong, kan bagus kalau makan bareng begini.” Seorang kakak tingkat yang melihat dari luar kamar memergoki keakraban pertama kami. Sejak saat itu kami sering makan bersama tapi lebih sering makan malam bersama. 
    Terkadang, jika memiliki waktu luang, kami bertiga selepas maghrib membeli lauk dan sayur bersama kemudian makan malam bersama di ruang utama. Jika salah satu sedang banyak tugas maka hanya dua orang saja yang membeli sedang satunya menitip. Tapi kami tetap makan malam bersama di ruang utama, dua kakak tingkatku pun sering ikut makan bersama kami.
*** 
    Setiap pulang kuliah aku selalu disambut salam hangat oleh Anggi kalau dia telah berada di kost terlebih dahulu.
    “Assalamu’alaikum cantik.” Anggi mengucapkan salam tersebut sembari memasang wajah imutnya yang menggemaskan.
    “Wa’alaikumussalam cantik,” jawabku.
    “Namaku bukan cantik ya, panggil aku Raisa.” Anggi menyibakkan rambutnya. Aku tertawa melihat tingkahnya yang lucu.
    Salam itu adalah hal yang tidak ada seorangpun melakukannya padaku kecuali hanya Anggi. Dia seperti istri yang menunggu suaminya pulang kerja dengan setia. Aku pun seperti suami yang sangat bahagia sepulang kerja saat disambut istrinya. 
    Selalu, setiap aku pulang kuliah, sesampainya di lantai dua aku melihat ke depan kamar Anggi. Perasaan bahagia muncul saat tahu cahaya lebih terang daripada lampu ruang utama keluar dari pintu kamar Anggi yang selalu terbuka lebar. Aku mengintipnya dan dia yang menyadari keberadaanku segera mengucap salam istimewanya itu. “Assalamu’alaikum cantik.”
Anggi selalu bisa membuat soreku yang penat selepas kuliah menjadi lebih bersemangat, lebih berwarna meski langit sore tetap memiliki satu warna yaitu jingga. 
*** 
    Tidak ada lagi perasaan sepi dan khawatir menyeruak di dalam hati seperti yang kurasakan saat malam pertama di kost ini. Kehidupanku selalu ramai dengan adanya Anggi. Dia orang yang cerewet dan senang bergurau. Kami memiliki banyak kesamaan hobi dari yang paling nakal hingga yang paling sholehah. 
    Sejak Fiqoh jarang pulang ke kost karena tugas-tugas kuliahnya yang super banyak, aku dan Anggi menjadi lebih sering menghabiskan waktu bersama. Aku sering berlama-lama di kamar Anggi entah untuk mengganggu Anggi, curhat, nonton film, maupun memperdebatkan hal-hal sepele. Begitupun Anggi, dia juga sering mungunjungi kamarku untuk melakukan hal yang sama.
    Kami sering bercerita hingga larut malam setelah selesai mengerjakan tugas. Bercerita tentang semuanya. Tentang keindahan kota asal kami, keluarga kami, masa lalu kami, impian-impian kami, bahkan hingga laki-laki yang kami sukai.
    Hal yang paling berkesan antara aku dan Anggi adalah kami sama-sama ingin berubah menjadi muslimah sholehah. Dimulai dari kami sering membaca Al-Quran selepas Maghrib dan Subuh, puasa sunnah, hingga masuk organisasi keagamaan di kampus. Beberapa hari terakhir kami sering bangun pada sepertiga malam untuk melaksanakan sholat tahajud. Saat bulan Ramadhan kami menjadi pejuang subuh yang selanjutnya dikalutkan oleh dua pilihan penting yaitu ikut kultum yang lebih dari tujuh menit atau belajar untuk UAS. Akhirnya kami bersama-sama memutuskan untuk ikut kultum. 
    Langit cerah kuning merekah mengiringi langkah kami pagi ini ke kost. Masih dengan mukenah terpasang menutupi kepala hingga lutut, kami berjalan beriringan menikmati udara pagi.
*** 
    “Sepertinya aku akan tetap di kost ini Nggi.” Aku mengutarakan keputusanku pada Anggi setelah satu minggu kami mendatangi kost demi kost dan menyurvei kost untuk memilih kost yang paling cocok bagi kami. Kami berniat untuk pindah kost karena biaya sewa kost ini yang mahal dan Ibu Kost yang kurang bersahabat.
    “Tapi aku akan tetap pindah Ha’, mencari yang lebih murah.”
    “Aku juga seberanya ingin tapi sudah satu minggu kita mencari tanpa kepastian.”
Wajah Anggi terlihat lesu. “Bagaimana kalau kost binaan?” saranku. 
Wajahnya tetap lesu.
Liburan semester genap pun tiba. Aku pulang kampung tanpa bertanya lebih lanjut keputusan Anggi. Usai liburan barulah aku tahu dia akan pindah ke kost binaan di Jakal 7,5 km. Aku ikut membantunya mengemas barang.
Fiqoh dan kedua kakak tingkatku pun pindah kost. Meski tahu hanya aku yang tetap bertahan di kost ini, aku masih berpikir akan tetap baik-baik saja tanpa mereka, tanpa Anggi. Kadang Anggi pun cukup menyebalkan dan sering membuatku kesal. Tapi sejujurnya separuh jiwaku berat untuk membiarkan dia pergi meski perasaan itu pun segera kututup rapat-rapat. Aku terus meyakinkan diri untuk lebih bersemangat tanpa mereka. Tahun ajaran baru dan teman kost baru sudah menungguku.
*** 
    Hening.
    Satu bulan kulewati kehidupan kostku dengan penghuni-penghuni baru. Kebanyakan dari mereka adalah adik tingkatku. Mereka semua memang baik tapi tetap saja berbeda atmosfernya dengan teman-temanku dahulu, dengan Anggi. Bayangan sosoknya kadang masih sering muncul saat aku menaiki tangga. Kebiasaanku masih belum hilang untuk melihat ke depan bekas kamar Anggi meski aku tahu sekarang tidak ada yang dapat kuharapkan dari sana. Dahulu di situ selalu terpancar cahaya lampu kamar Anggi yang terang karena pintu kamar yang selalu terbuka. Saat kupandang ruang utama yang lengang, aku masih sering melihat bayangan sosoknya menyantap makan malam bersama di ruang utama. Masih sering terngiang suaranya “Assalamu’alaikum cantik.” Aku tak pernah mendengarnya lagi.
    Kost ini tetap lengang bahkan ketika semua penghuni telah pulang dari kampusnya. Mereka termasuk aku lebih sering menghabiskan waktu di kamar masing-masing, mengunci diri. Kami hanya bertegur sapa seadanya. Aku pun tidak dapat berbicara leluasa dengan mereka. Takut salah bicara. Tidak seperti bila dengan Anggi yang bisa bicara apa saja bahkan saling meledek. 
    Anggi... Aku rindu...
    Malam ini butiran air bening mengalir dari ujung-ujung kelopak mataku. Rasa sedih yang selama ini kupendam pecah seketika di dalam ruang berukuran 2 m X 3 m. Aku menangis terisak sendiri, terasa amat sesak karena hanya ada aku di kamar ini.
    Anggi... kamu pasti bisa dengan mudah akrab dengan teman-teman barumu di kost baru. Aku yakin itu karena kamu orang yang mudah akrab. Tapi aku...
    Aku di sini terus memikirkanmu, merindukanmu, merasa kesepian.
    Aku tidak dapat menyalahkan siapapun karena sejatinya akulah yang egois mengabaikan rasa sedihku selama ini. Aku terlalu percaya diri untuk tetap di sini tanpa Anggi. Benar kata pepatah lama. Kita tidak pernah sadar betapa pentingnya seseorang dalam hidup kita sebelum dia pergi meninggalkan kita. Saat kita telah menyadari pentingnya dia, semua telah terlambat karena dia telah pergi.

Tags: Friendship

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 2
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Man in a Green Hoodie
5147      1281     7     
Romance
Kirana, seorang gadis SMA yang supel dan ceria, telah memiliki jalan hidup yang terencana dengan matang, bahkan dari sejak ia baru dilahirkan ke dunia. Siapa yang menyangka, pertemuan singkat dan tak terduga dirinya dengan Dirga di taman sebuah rumah sakit, membuat dirinya berani untuk melangkah dan memilih jalan yang baru. Sanggupkah Kirana bertahan dengan pilihannya? Atau menyerah dan kem...
Warna Jingga Senja
4396      1214     12     
Romance
Valerie kira ia sudah melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan hubungan dengan Ian, namun sayangnya rasa sayang yang Valerie berikan kepada Ian tidaklah cukup. Lalu Bryan, sosok yang sudah sejak lama di kagumi oleh Valerie mendadak jadi super care dan super attentive. Hati Valerie bergetar. Mana yang akhirnya akan bersanding dengan Valerie? Ian yang Valerie kira adalah cinta sejatinya, atau...
Of Girls and Glory
4322      1711     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...
U&O
21072      2108     5     
Romance
U Untuk Ulin Dan O untuk Ovan, Berteman dari kecil tidak membuat Rullinda dapat memahami Tovano dengan sepenuhnya, dia justru ingin melepaskan diri dari pertemanan aneh itu. Namun siapa yang menyangkah jika usahanya melepaskan diri justru membuatnya menyadari sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing.
Sahabat
495      363     2     
Short Story
Dhea dan Gia merupakan sepasang sahabat yang oernah berjanji untuk selalu tampil kembar. Namun Gia lupa akan janji tersebut dan mengubah penampilannya. Tentu saja Dhea marah dan menjauhi Gia. Namun bagaimana bila Dhea mengalami kecelakaan dan membutuhkan donor jantung? Akankah Gia memberikan jantungnya untuk sahabat yang telah menyakitinya? Atau membiarkan Dhea meninggal? \"Dhea akan selalu...
Ojek
859      594     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
The Friends of Romeo and Juliet
20889      3125     3     
Romance
Freya dan Dilar bukan Romeo dan Juliet. Tapi hidup mereka serasa seperti kedua sejoli tragis dari masa lalu itu. Mereka tetanggaan, satu SMP, dan sekarang setelah masuk SMA, mereka akhirnya pacaran. Keluarga mereka akur, akur banget malah. Yang musuhan itu justru....sahabat mereka! Yuki tidak suka sikap semena-mena Hamka si Ketua OSIS. dan Hamka tidak suka Yuki yang dianggapnya sombong dan tid...
The War Galaxy
13293      2683     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Sampai Kau Jadi Miliku
1766      829     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...
Aromantic Roomates
164      148     1     
Non Fiction
Raya dan Rafa sahabat sejak kecil yang tak pernah terpisahkan Suatu saat keduanya diperhadapkan dengan masalah orang dewasa pada umumnya pernikahan Raya dan Rafa yang tak pernah merasakan jatuh cinta memutuskan untuk menikah demi menyelesaikan masalah mereka Akankah takdir membuat keduanya saling mencintai atau akankah perasaan mereka tetap pada tempatnya hingga akhir