Loading...
Logo TinLit
Read Story - Arini Kusayang
MENU
About Us  

Sudah hampir satu bulan aku dan Mas Fikri tinggal di desa ini. Awalnya berat memang ketika harus meninggalkan Kota Jakarta karena tuntutan dinas pekerjaan Mas Fikri, tapi mau bagaimana lagi, sebagai istri aku harus ikut pergi untuk mendampinginya.

Wilayah tempat tinggal kami cukup sepi, rumah-rumah bisa dihitung jari dan jaraknya berjauhan karena diselingi dengan kebun tanaman milik warga disamping rumah. Setiap harinya aku bosan dan merasa tidak betah tinggal disini karena tidak ada teman ketika Mas Fikri pergi bekerja, tetangga lain pun pastinya sibuk dengan rutinitas masing-masing, sehingga aku hanya bisa berdiam diri di rumah, melakukan apa saja untuk menghilangkan kejenuhanku entah itu membersihkan rumah, menonton TV, atau membaca buku. Tapi syukurlah, sekarang aku bisa mengatasinya. Sejak gadis kecil itu datang beberapa hari lalu, aku tidak lagi merasa sepi dan bosan.

Namanya Arini, usianya 7 tahun. Ia begitu cantik dengan binar matanya yang menunjukkan keramahan, kulitnya kuning langsat, dan rambut sebahunya yang dikuncir belakang. Sore itu, pertama kali aku melihatnya melintas menaiki sepeda di depan rumahku. Sesekali ia berhenti untuk memetik bunga liar yang tumbuh ditepi jalan lalu memasukkan bunga-bunga itu ke keranjang sepedanya. Keceriaan yang nampak jelas di wajahnya, membuatku gemas dan ingin mengenalnya. Waktu itu aku memanggilnya dan mengatakan bahwa di pekarangan rumahku banyak tumbuh bunga liar. Setelah mengenalnya, ternyata Arini tak hanya gadis kecil yang periang, ia juga mudah sekali akrab denganku, ia suka menceritakan banyak hal ketika aku menanyakan sesuatu padanya.

Arini tinggal di rumah yang terletak di ujung jalan, sekitar 600 meter dari rumah kami. Sekarang ia duduk di kelas 1 SD. Ibunya bekerja di sebuah warung makan, sedangkan ayahnya sudah meninggal, sehingga ketika ibunya bekerja Arini akan sendirian di rumah. Aku ingin sekali bertemu dengan ibunya Arini, tapi Arini bilang ibunya tak tentu kapan pulang ke rumah karena tergantung situasi sepi atau tidaknya warung makan. Oleh karena itulah, setiap sore Arini pergi mengelilingi desa dengan sepedanya agar tidak bosan berada di rumah.

Arini juga bercerita bahwa sepeda yang dimilikinya itu adalah sepeda satu-satunya dan begitu istimewa baginya karena itu hadiah terakhir dari sang ayah ketika hari ulang tahunnya. Yang pasti sepeda itu selalu mengingatkannya pada sang ayah, terlihat betapa sayangnya Arini terhadap sepeda berwarna biru muda itu.

Sejak hari itu Arini selalu mengunjungiku di rumah. Karenanya aku memiliki rutinitas baru setiap sore yakni menunggu Arini datang, dengan menyiapkan sebuah dongeng dan beberapa cemilan untuknya. Ia begitu senang mendengarkan dongeng yang kuceritakan, terkadang ia memaksaku agar segera menceritakan sampai tamat dongeng itu agar ia bisa mendengarkan dongeng-dongeng yang lain. Ia lucu sekali ketika begitu.

Ingin sekali aku memperkenalkan Arini dengan Mas Fikri, tapi Mas Fikri selalu pulang petang dari kantor ketika Arini sudah pulang ke rumahnya. Meskipun begitu, aku seringkali menceritakan sosok Arini pada Mas Fikri ketika kami berbincang-bincang. Senangnya lagi, setelah mendengar ceritaku Mas Fikri selalu penasaran dan ingin bertemu juga dengan Arini.

Suatu hari Arini tidak datang seperti biasanya. Aku menunggunya di teras rumah hingga petang, namun sepertinya ia memang tidak bisa datang hari ini padahal aku ingin menceritakan kisah akhir dongeng. Aku berharap itu bukan karena Arini sakit atau hal buruk lainnya. Aku pun berniat nanti malam akan berkunjung ke rumah Arini bersama Mas Fikri. Tak adil rasanya jika selama ini Arini terus yang mengunjungiku, aku juga harus melakukannya sekalian untuk bersilaturahmi.

Mas Fikri hari ini pulang terlambat, dan ia datang membawa kabar buruk untukku. Mas Fikri berkata sepulangnya dari kantor, ia melihat gadis kecil yang menaiki sepeda ditabrak oleh seorang pengendara motor, teganya lagi sang pelaku pergi begitu saja tanpa bertanggung jawab sehingga Mas Fikri dan beberapa warga lain yang berada di sekitar tempat kejadian-lah yang membawa gadis kecil itu ke rumah sakit.

Aku berharap itu bukan Arini, pasti di desa ini tak hanya ia gadis kecil yang memiliki sepeda. Namun takdir berkata lain, kenyataannya gadis kecil itu memang Arini.

Tubuhku melemas mendengarnya. Bagaimanapun selama ini aku sudah menganggap Arini sebagai anakku sendiri, aku menyayanginya, tapi kenapa harus hal buruk yang menimpanya. Aku sedih, tak bisa lagi membendung air mata.

Sehabis Mas Fikri berbenah diri, kami langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Arini. Sesampainya disana, ada ibunya Arini dan beberapa orang lain yang mungkin keluarga atau tetangga tengah menanti di depan ruang rawat Arini.

Tak lama dokter keluar dan mengatakan bahwa bagian kepala Arini yang terbentur aspal tidak menimbulkan efek parah, namun tangan dan kaki kanannya mengalami patah tulang. Meskipun begitu kondisinya akan segera membaik cepat atau lambat setelah mendapatkan perawatan intensif.

Pagi keesokan harinya, Arini sudah sadar. Ketika aku dan Mas Fikri datang menengoknya, Arini tengah menikmati sarapannya. Ia masih terlihat ceria, seakan-akan tidak ada hal buruk yang menimpanya kemarin. Ia juga mengajakku agar menceritakan dongeng lagi. Aku senang melihat Arini baik-baik saja, tapi disisi lain ia pasti akan sedih ketika tahu sepeda kesayangannya rusak parah dan tidak bisa diperbaiki lagi. Kenangan terakhirnya dari sang Ayah, hancur begitu saja dalam sekejap.

Dua minggu kemudian Arini sudah boleh pulang ke rumah. Dari hari ke hari kondisinya semakin membaik, ia sudah bisa berjalan normal meskipun masih pincang, tangan kanannya sudah bisa digerakkan namun terbatas karena masih agak kaku.

Arini berkata ia sedih karena tidak bisa bermain sepeda, lebih sedih lagi ketika tahu sepedanya hancur dan ia tidak memiliki sepeda lagi. Sang ibu pun seringkali menghibur Arini, mengatakan akan membelikan Arini sepeda persis seperti yang ayahnya berikan ketika uangnya sudah terkumpul dan Arini harus sabar menunggunya.

Aku menceritakan hal itu pada Mas Fikri dan menuturkan keinginanku yang ingin membelikan Arini sebuah sepeda baru. Syukurnya Mas Fikri langsung menyetujuinya tanpa pikir panjang dan keesokannya kami pergi ke toko sepeda di kota.

Arini begitu senang ketika tahu sepeda di teras rumahnya itu adalah sepeda untuknya. Meskipun tak sama persis, tapi sepeda itu berwarna biru muda seperti sepeda miliknya sebelumnya. Ia tak lupa mengucapkan terima kasih padaku dan Mas Fikri. Arini berkata ingin cepat-cepat sembuh dan tak sabar ingin naik sepeda barunya.

Senyum tak lepas dari bibir kecilnya, menambah keceriaan di wajah Arini yang cantik. Aku tak akan pernah bosan memandanginya. Ia adalah gadis kecil yang sudah membuatku betah untuk tetap tinggal di desa ini. Arini kusayang...

Tags: Family

How do you feel about this chapter?

4 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
If I Called Would You Answer
473      353     1     
Short Story
You called her, but the only thing you heard was ' I'm Busy '
Peri Untuk Ale
6526      2787     1     
Romance
Semakin nyaman rumah lo semakin lo paham kalau tempat terbaik itu pulang
Nina and The Rivanos
11352      3006     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Kepak Sayap yang Hilang
239      218     2     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Sosok Ayah
983      567     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Silver Dream
9555      2355     4     
Romance
Mimpi. Salah satu tujuan utama dalam hidup. Pencapaian terbesar dalam hidup. Kebahagiaan tiada tara apabila mimpi tercapai. Namun mimpi tak dapat tergapai dengan mudah. Awal dari mimpi adalah harapan. Harapan mendorong perbuatan. Dan suksesnya perbuatan membutuhkan dukungan. Tapi apa jadinya jika keluarga kita tak mendukung mimpi kita? Jooliet Maharani mengalaminya. Keluarga kecil gadis...
Because Love Un Expected
32      29     0     
Romance
Terkadang perpisahan datang bukan sebagai bentuk ujian dari Tuhan. Tetapi, perpisahan bisa jadi datang sebagai bentuk hadiah agar kamu lebih menghargai dirimu sendiri.
FORGIVE
2217      825     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
Pesta Merah
562      409     1     
Short Story
Ada dua pilihan ketika seseorang merenggut orang yang kamu sayangi, yaitu membalas atau memaafkan. Jika itu kamu dan kamu dapat melakukan keduanya?, pilihan manakah yang kamu pilih?
Hear Me
570      423     0     
Short Story
Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan?