Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta si Kembar Ganteng
MENU
About Us  

Rifky dan Rafky terlalu terburu-buru untuk ke sekolah. Tahun terakhir yang menjanjikan untuk segera usai, dengan santai atau tidak sama sekali. Abu yang mengantar keduanya ikut gaduh dengan keburu-buruan.

Rafky tidak mau memakai sepatu hitam, Rifky tidak mau melepas sepatu hitam. Rifky sudah rapi rambutnya, Rafky masih acak-acakan. Buku-buku sudah masuk semua ke dalam ransel sekolah Rifky. Rafky masih berlarian ke seisi kamar mencari buku tugas matematika, buku pelajaran IPA dan penggaris. Padahal semalam, Rifky sudah memasukkan semua kebutuhan mereka ke dalam ransel masing-masing.

Nyak Fatimah ikut mengejar Rafky ke sana-sini. Dengan piring berisi nasi, sekali suap, sekali kejar. Rafky tak ada ampun dalam histeris. Abu menunggu dengan geram di waktu yang harus segera menekan sidik jari masuk kantor. Begitu pintu mobil terbuka, Rafky menjerit dasinya lupa ditaruh di mana.

Seterusnya. Hampir tiap pagi keluarga itu gaduh. Tetangga kiri dengan jarak 100 meter mungkin sudah terbiasa. Rumah di samping kanan sesekali menawarkan senyum hambar karena bising pagi yang tak kunjung usai. Pintu rumah di depan, tak pernah terbuka, maupun jendela, sebelum pukul 10 pagi; waktu mereka bangun semua.

Belum lagi. Jika ada orang lewat di depan rumah, sebelum masuk mobil, Rafky akan berujar, “Selamat pagi,” kepada kakek-nenek yang tidak dikenal baik, “Selamat pagi,” kepada orang jual sayur, “Selamat pagi,” kepada anak kuliahan yang jalan kaki menuju halte, “Selamat pagi,” kepada pemuda yang baru saja lari pagi, dan “Selamat pagi,” kepada bayang entah siapa dari sudut kiri dan kanan dari pandangannya.

Abu biasanya akan menderukan mesin mobil sekali, menutup pintu dan pura-pura menancap gas. Rafky akan berhenti membungkuk di pinggir trotoar dan berlari ke pintu mobil yang tertutup. Abu akan membuka pintu, menarik sabuk pengaman dan merekatnya, baru kemudian mereka menuju ke sekolah dalam jarak 5 kilometer dari rumah tanpa kemacetan. Tapi sayang, pagi hari adalah waktu trafik jalan padat di kota ini.

Anak sekolahan dengan kendaraan bermotor bergandengan di jalan. Angkutan umum kadang berhenti suka-suka mengambil penumpang. Kendaraan roda dua yang kebut-kebutan takut terlambat masuk kuliah atau kantor. Tak lupa, abang becak dengan mak-mak baru pulang dari belanja pagi, dengan barang bawaan sangat banyak, sesekali diserempet oleh anak sekolahan yang membuat barangnya jatuh.

“Berhenti kalian!” teriak abang becak yang dicemoohan oleh gerombolan anak sekolah. Mereka menarik pedal gas dengan kencang. Syukur-syukur selamat, tak kecuali sesekali di antara mereka oleng ke parit atau terjerembap di jalan yang masih berembun. Saat itu, tak ada yang menolong seketika karena orang-orang di sekitar dalam tawa berlari ke abang becak dan seorang penumpangnya yang baru kena musibah. Apakah pecah telur-telur yang baru dibeli, daun sawi yang kotor, atau bawang berserak di jalanan.

Rifky sesekali mungkin memperhatikan kejadian aneh di jalan. Tidak dengan Rafky. Mulai dari masuk mobil sampai ke sekolah, Rafky akan tertidur pulas. Tidak juga karena bergadang. Bukan pula karena mabuk kendaraan. Tetapi, “Biar cepat sampai!”

***

Sampai di rumah, jika sudah pulang sekolah, Rifky akan membersihkan diri, baru kemudian makan. Rafky malah sebaliknya. Kebiasaan yang berbanding terbalik dari anak kembar. Rafky akan berlama-lama dengan seragam sekolah. Menepis keringat yang membasahi badan. Mengabaikan ocehan Nyak yang berlari ke sana-sini dengan piring nasi di tangan. Dan juga, tidak pernah melihat mata melotot Abu yang lelah dengan sendirinya.

Rafky akan tertidur jika sudah lelah. Rifky akan membereskan tas, buku-buku Rafky, dan mungkin juga memasukkan seragam Rafky yang kotor ke dalam keranjang pakaian kotor di sudut kamar mereka. Begitu bangun, Rafky akan keluar kamar mencari bola, memompa sepeda, mengambil air putih di dalam kulkas, menarik lengan Rifky, lalu ke lapangan di belakang rumah.

Meski, mau tidak mau, Rifky juga akan bermain bola tanpa jeda. Rafky tidak akan penah lelah sama sekali. Keduanya akan pulang saat Abu datang dengan setangkai lidi dengan baju kantor yang belum sempat digantinya. Rifky akan segera menepi sedangkan Rafky masih berteriak sekuat tenaga, “Kau tendang ke kiri bukan ke kanan!” perintahnya kepada kawan satu tim.

Muazin mengumandangkan azan, Rafky baru selesai terengah-engah. Butir keringat di dahi Abu tak kunjung kering. Abu mungkin sudah lelah untuk marah. Setangkai lidi yang dibawanya hanya untuk menakuti-nakuti saja. Tak pernah sekalipun Abu melayangkan lidi-lidi itu ke punggung kedua anaknya.

“Malam ini kalian harus cepat hapal ayat….,” belum selesai Abu berujar, Rafky mengeluarkan keluhan panjang.

“Sudah kubilang, jangan main satu tim kita. Abang nggak pernah dengar. Aku nggak mau kita satu tim. Kalau satu tim, kita selalu kalah,” Rafky melempar-lempar bola di tangannya. “Tadi Abu lihat sendiri, kan? Abang mainnya payah. Jaga gawang nggak bijak. Jadi kapten malah cepat lelah. Besok-besok kita bisa tim saja!”

Rifky mengekor dari belakang. Abu berujar, “Satu tim saja bisa kalah, bagaimana dengan pisah tim?”

“Kami akan menang!”

“Kalian ditakdirkan untuk selalu bersama. Abu selalu bilang begitu, bukan?”

“Nyatanya kami kalah!”

“Kalian belum menemukan kelebihan masing-masing. Kalian berdua tidak bisa dipisahkan. Abang akan jaga adik. Adik akan menuruti apa yang abang sampaikan,”

“Tidak bisa begitu juga, Abu!”

“Raf, kamu itu harus menurut sama abangmu. Begitu juga kamu, Rif, kamu harus jaga adik kamu,”

“Iya, Abu,” jawab Rifky.

“Tapi, Abu,” keberatan Rafky.

“Kalian butuh strategi. Kalian itu satu hati, satu kata dalam banyak hal. Cuma butuh selaraskan pikiran dan atur siasat agar bisa menang,”

“Abang payah, Abu,”

“Raf, kamu melihat kekurangan abang kamu, itu sebenarnya kekurangan kamu juga,”

“Mana mungkin begitu,”

“Kalian itu satu jiwa. Satu terluka. Satu lagi ikut terluka. Satu tangan kanan. Satu lagi tangan kiri. Kalian harus berjalan seimbang agar bisa menembus batas yang orang lain tak akan mampu,”

“Iya, Abu,” kata Rifky.

“Abang jangan iya-iya saja-lah,”

“Mulai sekarang, Abu akan atur waktu kalian main bola. Jam 6 tepat, kalian berdua sudah harus pulang dan mandi. Tak ada bantah!” perintah Abu tegas.

***

Malam mengaji di surau dekat rumah. Alunan malam yang selalu sama menggambarkan bagaimana nyenyaknya udara di sekitar. Rafky sering terkantuk-kantuk karena lelah. Rifky sesekali mencubit adiknya agar segera bangun. Deru kendaraan di pinggir jalan tidak mengusik berat matanya Rifky di jam 9 malam.

Setoran hapalan sering terlambat karena Rafky akan tidur terlebih dahulu manakala anak-anak lain menghapal. Satu dua anak sedikit terlambat dalam menghapal yang membuat Rafky tidak sabar menanti. Lepas mengaji, baca doa, Rafky akan langsung tertidur karena anak-anak lain berebut siapa duluan menyetor hapalan. Rafky akan menanti bagian terakhir saja karena Abu juga datang menjemput selalu telat.

Jam 10 seperti malam-malam lain. Rifky dan Rafky selesai menyetor hapalan hanya dalam lima menit saja. Anak-anak lain mungkin sudah sampai ke rumah. Sudah menyelesaikan tugas rumah, atau langsung tertidur. Kedua anak ini masih tertatih di atas jalan aspal yang remang.

Lampu jalan sesekali berkedip. Rifky yang mengantuk sudah tak terdengar omongannya. Di pangku Abu, Rifky terlelap. Rafky berjalan bersisian dengan Abu. Sampai usianya kini, tak pernah sekalipun Abu memangkunya sepulang mengaji malam hari. Tempat itu selalu milik Rifky.

Rafky kecil tak terlintas untuk mengeluh. Sampai di rumah, Nyak mematah Rifky ke kamar, menyelimuti dan baru kemudian memperhatikan Rafky. Waktu ke waktu yang lewat. Karena itu, Rafky sangatlah terbiasa menjadi mandiri. Saat Abu dan Nyak membereskan kebutuhan Rifky, Rafky sudah selesai semua urusan. Bahkan, kebutuhan Rifky pun sudah dirinya bereskan agar besok tidak kalang-kabut; namun keesokan harinya, Rafky sendiri yang akan mem-ping-pong-kan peralatan sekolah dengan sendirinya.

Demikian pula di akhir ujian sekolah. Abu bertanya satu persatu.

“Rif, kamu mau lanjut ke sekolah asrama?”

“Raf, kamu ikut apa kata abangmu bagaimana?”

Rifky menjawab, “Sekolah mana saja sama Abu, kami sekolah kayak orang-orang saja biar dekat dengan Abu dan Nyak,”

Rafky menjawab, “Sekolah asrama tidak bebas,”

“Sekolah asrama bisa buat kalian disiplin, Nak,” ujar Abu.

“Sekarang kami sudah disiplin dan tidak kurang suatu apapun, Abu,” kata Rifky.

“Kami juga juara kelas,” bangga Rafky.

“Pikirkan lagi, sekolah asrama itu banyak sekali manfaatnya untuk kalian. Kalian bisa dapat kelas tambahan matematika, sehari-hari ngomong dalam bahasa asing, bisa les musik, bisa ikut olahraga, bisa hapal ayat-ayat juga lebih mudah,” desak Abu. Matanya memicing ke arah Nyak yang diam saja.

“Kami cuma bisa berikan yang terbaik buat kalian, Nak,” ujar Nyak dengan mata sedikit berembun.

“Kami bisa belajar semua itu di luar dengan mudah, tapi kasih sayang Abu dan Nyak tidak bisa kami pelajari saat ada di asrama,” kata Rifky dan Rafky langsung mengangguk-angguk dengan mantap.

“Matematika kami bisa les, kan, Abu?” tanya Rifky.

“Iya,”

“Bahasa kami ikut tes juga apa nggak boleh?”

“Bisa,”

“Olahraga bisa ikut tiap Sabtu sore di sekolah bagaimana?”

“Nggak masalah,”

“Mengaji dan hapalan masih bisa ke surau tiap malam,”

“Benar,”

“Ngapain juga kami perlu sekolah asrama Abu?” tanya Rafky.

Abu terdiam.

“Asyik. Kami bisa main bola tiap sore!” girang Rifky.

“Rif, Abu belum kasih jawaban,” tegur Nyak. Rifky terdiam.

“Tidak ada main bola tiap sore,” kata Abu tegas.

“Abu…,” keluh Rifky.

“Kalian sendiri yang buat perjanjian. Jadi, pagi sekolah, sore les, malam mengaji. Libur cuma hari Minggu. Sepakat?” putus Abu.

Semuanya terdiam.

“Sepakat? Atau sekolah asrama?”

“Sepakat!” Rifky dan Rafky menyetujui.

Anak kecil dihadapkan pada keputusan yang sulit. Tapi keduanya melewati dengan mudah karena, “Kita nanti kalau sudah kuliah akan tinggalkan Abu dan Nyak berdua di rumah. Bagaimana perasaan mereka kalau sekarang saja kita sudah sekolah asrama?” tanya Rifky sesaat sebelum nyenyak mematikan lampu di kamar mereka.

“Kita bisa pintar seperti orang-orang, kan, Abang?” ada gundah di hati Rafky.

“Kita hanya perlu jadi diri sendiri saja,” tutup Rifky.

Lalu, mimpi menghantui mereka sejak saat itu!

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Niscala
363      246     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
DEWS OF MOCCACINO ICE
608      420     0     
Short Story
PALETTE
546      299     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
Good Art of Playing Feeling
413      306     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Luka di Atas Luka
454      305     0     
Short Story
DO NOT COPY MY STORY THANKS.
Mengejar Cinta Amanda
2305      1211     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
Photobox
6578      1642     3     
Romance
"Bulan sama Langit itu emang bersama, tapi inget masih ada bintang yang selalu ada." Sebuah jaket berwarna biru laut ditemukan oleh Langit di perpustakaan saat dia hendak belajar, dengan terpaksa karena penjaga perpustakaan yang entah hilang ke mana dan Langit takut jaket itu malah hilang, akhirnya dia mempostingnya di media sosialnya menanyakan siapa pemilik jaket itu. Jaket itu milik Bul...
Tumpuan Tanpa Tepi
11836      3205     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Perahu Waktu
441      302     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
Foodietophia
538      402     0     
Short Story
Food and Love