“Dian kamu harus tau kalau cinta kita berdua adalah tentang perjuangan. Bukannya cinta yang dibaut-buat seperti anak-anak alay di luar sana. Cinta kita itu dewasa, cinta kita itu keras, cinta kita bukan untuk buat kita manja, tapi buat kita semakin giat berjuang untuk masa depan kita. Agar kita aman saat bersama” .Kalimat panjang itu diakhiri Gada dengan tatapan nanar, tapi tatapannya agak aneh kepada Diani. Wanita di depannya itu nampak terlalu sayang untuk ditatap dengan tatapan nanar dan kemarahan. Gada sudah menuntaskan semua perkataannya yang membuat perselisihan di antara sepasang kekasih itu kini berganti menjadi begitu diam dan dingin. Entah apa yang saling mereka pikirkan tapi mereka nampak terlalu bingun untuk mengatakan apapun.
“Da, kamu harus tahu kalau memang itu cinta yang aku miliki untuk kamu. Kamu udah paham itu dari awal. Dari dulu masa kita masih saling mengejar, dari masa puisi-puisi yang kutulis masih tentang kamu dan kebimbanganku memilihmu atau hanya menganggapmu teman” Diani diam sejenak, mencrna setiap kata yang baru saja ia ucapkan ia terlalu takut untuk melukai prasaan laki-laki yang ia sayangi itu. Iya sangat ingin terus berjuang bersama Gada, karena setidaknya itulah mimipinya yang sudah ia capai kini. Ia tau kalau Gada juga tidak mau mereka berpisah hanya saja sikap dia akhir-akhir ini memang agak aneh. Seperti melihat wujud lain dari sebuah manequin yang berubah tergantung apa yang dia pakai. Dan Diani tidak tau apa yang sedang ‘dipakai’ oleh Gada saat ini.
“Kamu tahu kan apa yang sudah kita lewati dua tahun ini, kamu selalu ada untuk aku Da, baik saat puisi-puisi tersampul manis bersama dan siap dibaca siapapun, atau saat aku terjatuh di panggung dan menggagalkan mimpi besarku malam itu. Dari semua kejadian itu aku tau kalau kamu itu memang mau berjuang bersama sama aku”. Diani menyeka perkataannya setelah melihat ekspresi Gada yang mulai melunak.
” Da, kalau memang ada penghalang di jalan kita berdua, aku bakal izinin kamu buat pergi sebentar dan menghilangkan penghalang itu. Lalu segeralah kembali karena aku takut ada yang ingin membawaku pergi saat masa aku menanti”. Diani berdiri setelah menyelesaikan kalimatnya. Seketika Gada melihat ke arah wajah Diani, jelas sekali di mata Gada kalau gadis yang ia sayang itu menahan tangisnya namun tak mampu membendung air matanya. Gada tak mampu mengucapkan kata-kata lagi, ia masih bingug dengan apa yang harus dia lakukan.
“Da, cepet bersihin jalang kita ya” terdengar tangis Diani pecah saat itu, seketika dia melangkah cepat berusaha meninggalkan Gada sendiri di taman belakang rumah Gada.
“Di! Tunggu kita bisa selesaikan semuanya sekarang”
“Sebaiknya kamu lakukan dulu apa yang aku bilang tadi”
Diani langsung berlari pergi, melangkah menuju jalan menuju parkiran dan segera masuk ke mobilnya, dia tak lantas pergi namun menyelesaikan tumpahan tagisnya yang tertahan. Tak berapa lama ia menyeka air matanya, kemudian langsung pergi meninggalkan rumah Gada. Ia takut Gada mengejar karena dia pasti tak akan kuat menahan tangisnya lagi dihadapan laki-laki yang begitu ia sayangi.
Sementara Gada kini hanya mampu terduduk diam, dia seperti enggan lagi beranjak, pikirannya terlalu kacau. Pikirannya hanya menerawang tidak tau apa yang harus ia lakukan.
****************************
Gada masih saja terdiam, dua jam sudah ia mencoba untuk tidur tapi itu percuma. Yang lebih pahit lagi, yang ada di pikirannya hanyalah sosok Diani. Kalau jam segini dan Gada belum tidur maka pasti Diani akan langsung mengomel kepada Gada lewat telepon. Entah bagaimana tapi Gada begitu yakin kalau Diani memasang kamera pengawas di kamarnya, karena ia sangat tahu kalau Gada belum tidur.
Hanya suara detikan jam yang menemani Gada dalam lamunannya, suasana rumahnya memang terlalu sepi. Maklum saja gada hanya hidup senduru di rumahnya, ayah dan ibunya hanya pulang sesekali bahakan ada kalanya tak pulang selama sebulan. Sedangkan adik perempuannya May hanya pulang saat hari sabtu dan minggu, karena ia sedang menjalani masa asrama di sekolahnya. Kalau dia ingat-ingat hanya Dianilah yang mengisi dan mengurusi hidupnya. Perhatian yang diberikan Diani mungkin hampir sama dengan perhatian yang diberikan ibunya dahulu saat ia masih kecil. Diani selalu bisa mengisi hari-hari Gada dengan candaan dan puisi-puisinya. Diani adalah gadis yang berbeda di matanya, di saat gadis lain mendekatinya dengan menebar pesona mengharap Gada mau memberikan kasih sayang dan harta. Maka Diani memang datang untuk seorang Gada, seperti perti menyambut Gada untuk menatap dunia. Membuka matanya lebih lebar dari yg selama ini ia buka.
Namun semakin ia mengingat Diani maka rasa bersalahnya semakin memuncak, ia tau untuk siapa cintanya namun ia juga sadar kalau pilihannya ini akan berdampak besar bagi hidupnya.
Hening malam makin membawa Gada larut dalam pikirannya, tanpa sadar ia sampai membawa pikirannya ke mimpinya
*****************************
Malam itu biasa saja bagi Gada, duduk di sebuah cafe menikmati makanan terbaik, duduk meyepi di meja prifasi dan diam menikmati sepinya. Namun siang itu agak berbeda, biasanya ada penampilan dari home band atau dari penyanyi dan pemain akustik. Namun siang ini agak beda panggung itu masih kosong padahal dia hapal betul bahwa ini adalah jamnya hiburan malam.
Tak lama datang seorang perempuan, ia melangkah santai di panggung nampak jelas ada wajah kegugupan yang terpancar di wajahnya. Setelah mencapai tengah panggung ia berhenti.
“Selamat malam semuanya” ucapanya diselai dengan senyuman. “ perkenalkan saya Diani, dan malam ini saya akan membacakan puisi saya sebagai pembuka hiburan malam ini”.
Gada nampak tidak terlalu memperhatikan namun mendengar kata puisi ekspresinya agak berubah membuat dia menaruh perhatian pada perempuan di tengah panggung itu. Di cafe itu memang sering ada pertunjukan lain selain musik, seperti sulap, stand up comedy, grup lawak dan lain lagi. Tapi untuk seorang pembaca puisi ini kali pertama ia melihatnya
“Izinkan saya bawakan sebuah hasil emosi yang saya tuang di atas kertas yang saya gores dengan tinta ekspresi” ucap Diani dengan wajah serius.
Temu Tamu Tersendu
Aku mau bicara, bicaraku bukan pasal bercanda buakan pasal asal-asal
Aku mau bicara tentang kedatangan, tentang datang yang pasti datang
Aku mau ingatkan, ingatkan tentang tamu yang akan datang datangnya tak kau undang
Datangnya kau hindarkan datangnya kau tangiskan
Aku mau bicara tamu itu, yang pernah datang kerumahku dan nanti datang juga kerumahmu dan datang lagi kerumahku lalu datang lagi kerumahmu
Sampai habis semua isi rumahmu sampai habis semua isi hatimu
Iya datang tanapa buah tangan tapi ambil yang paling kau sayang lalu tinggalkan kau dengan jiwa terluntang luntang
Tinggalkan rumahku sisakan tangisku buka lukaku hapuskan bahagiaku
Tamu itu bernama ajal, iya telah datang jemput ayahku
Sisakan aku dan ibuku
Sisakan aku dan tangisku
Tak tinggalkan obat untukku
“Terima kasih” Diani menutup puisinya, terlihat masih ada sisa air mata di pipinya, yang mengaburkan senyumnya. Ia belum beranjak pergi bagai ingin menkmati susana ini diama riuh dan tepuk tangan membanjiri ruangan. Dengan langkah santai ia meninggalkan pangguang menyisakan sebuah susana yang berbeda di ruangan cafe itu. Ia membawa kematian di panggung itu, namun caranya membuat banyak orang suka.
Terlebih lagi bagi Gada, puisinya membuat hangat hatinya terasa begitu banyak energi yang di bawa oleh puisi itu. Jarang ia rasakan hangat seperti itu di dalam hatinya, karena mungkin hatinya terlalu dingin untuk semua ini. Ia sempat tak sadar dengan emosinya membuat ia perlu waktu untuk menyesuaikan dirinya lagi. Entah apa yang ia rasakan ini, iya tidak paham sama sekali, hanya satu hal yang ia mampu tarik bahwa ia tertarik dengan gadis itu.
****************************
Malam sudah lama berlalu, matahari sudah perkasa menyinari seisi kota, hangat pagi sudah menghilang seluruhnya berganti dengan hawa panas yang khas di seisi kota. Namun lain cerita bagi Gada, ia masih saja merasa bingung. Pikirnnya seakan tak mau berhenti berkecamuk, pikirannya seperti memaksanya menentukan pilihan, namun di saat yang sama pikirannya tak mampu memilih konsekuensi kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya.
Entah apakah ini awal atau akhir, entah ini adalah klimaks atau malah baru intro, semuanya nampak tak jelas bagi dirinya, semuaya nampak terlalu memusingkan untuknya.
Terbesit satu hal di fikirannya yaitu sebuah kalimat dari Diani “ Kalau kamu bingung tentang apa yang harus kamu pilih maka lakukannlah ini, pejamkan matamu dan tanya hatimu, jika hati belum mau memberikan jawaban berarti usahamu masih kurang, jabat lagi semua pilihan itu, selami semuanya, biarkan hatimu lebih tau apa yang terjadi, setelah itu pejamkan lagi matamu, lalu tanyakan lagi, jika masih belum ada jawaban lakukan lagi sampai hatimu memberimu jawaban”. Gada berusaha memahami betul kalimat itu, iya coba serap makna-makna dari tiap kata, mencoba mencari kesimpulan apa yang akan dia lakukan.
“Kamu bersihkan dulu jalan kita lalu kamu kembali lagi ke aku” Gada lagi-lagi mengingat kalimat itu.
“Membersihkan jalan?” Gada sepertinya mulai menemukan sesuatu, di tariknya napas dalam seperti akan melakukan sesuatu yang amat sulit baginya.
Gada kemudian duduk di kursi meja belajarnya menuliskan sesuatu, entah apa?.
Satu jam kemudian ia keluar dari rumahnya, matahari sudah mulai condong kebarat membawa suasana panas sore ke penjuru kota. Seakan mengiringi laju mobil Gada membelah jalanan kota hingga meninggalkan kota, entah kemana?.
****************************
Diani masih memandangi sebuah surat di tangganya, surat dari seorang yang sangat ia kenal. Surat yang akan merubah banyak hal di hidupnya, bahkan mungkin mengubah takdirya, setidaknya itulah bayangannya tentang surat itu.
“Da aku percaya sama kamu, segera selesaikan urusan kamu, segera kembali buat aku”. Diani menutup kalimatnya dengan tangisan, meninggalkan pikirannya untuk menikmati setiap kekacauan pikirannya. Memantapkan doa untuk Gada.
Wah keren semangat menulis!