Kembali ke masa sekarang.
Minhyuk menutup rapat mulutnya, menundukkan kepalanya sangat dalam, tak berani mengangkat kepalanya untuk beberapa detik setelah dia selesai menyeritakannya. Tidak berani untuk melihat bagaimana reaksi keluarganya.
Karna rasanya hatinya sudah ditusuk-tusuk oleh pisau kecil setiap kali dia mengeluarkan kata dan terlihat sorot mata sakit nan khawatir oleh eomma, appa, dan Minjun. Appa mungkin hanya diam dan tidak mengeluarkan pandangan apa-apa, tapi Minhyuk bisa melihat dengan samar rahang appanya mengeras, khas saat sedang menahan amarahnya.
Minjun, tidak seperti yang ia bayangkan, adiknya itu menerimanya dengan baik. Minhyuk sempat menduga adiknya itu akan langsung meninju bantal atau sofa karna kecewa. Tapi adik bungsunya itu hanya diam sambil meremas tangannya sesekali selama cerita berlangsung.
Dan eomma... Minhyuk benar-benar merasa bersalah karna menceritakan ini. Raut wajah eomma benar-benar kecewa selama cerita berlangsung. Tangannya beberapa kali menutup mulut, atau menutup wajahnya, berusaha untuk menahan tangisnya agar tidak keluar deras. Tapi tidak dapat ditutupi, karna bahunya naik turun seiring dengan tangisnya keluar. Appa dengan pelan menarik tubuh eomma, mengelus bahunya, menenangkan dengan caranya sendiri.
Selama beberapa detik Minhyuk menundukkan kepala itu, hening sekali. Perasaan bersalah benar-benar merayapinya. Kalau boleh jujur, bahkan matanya sudah memanas dan mulai buram.
Sskk...
Suara langkah kaki yang diseret lunglai perlahan mendekat padanya, dan sedetik kemudian, Minhyuk merasa area untuk menarik oksigennya menipis, mulai gelap, tak seterang tadi, seiring dengan tubuhnya dipeluk oleh tiga orang di ruang itu.
Dan seketika...
Pertahanan lelaki itu runtuh.
Runtuh, seruntuh-runtuhnya.
Tangis yang sedari tadi ditahannya dengan susah payah, turun dengan deras kala sisa keluarga yang ia punya itu memeluknya bersamaan. Elusan dan tepukan pelan di punggung, bahu dan kepalanya terasa dan membuat tangisannya semakin turun deras.
"Maafkan kami. Kami tidak tahu masalah itu, dan membuatmu menyimpannya sendirian," ujar eomma lirih dan semakin mengeratkan pelukannya. Bahu Minhyuk terasa sedikit basah akibat air mata eommanya.
Minjun menyeka air matanya kasar, berusaha untuk tidak menangis dan memaksakan senyum kecut. Appanya langsung menepuk bahu Minjun dengan sayang. Dia tau anak bungsunya itu juga sedih dan kecewa. Bagaimana tidak.
Dia sendiripun merasa bersalah, marah, kecewa, dan sedih di waktu yang bersamaan.
Anaknya dikhianati oleh anaknya yang lain.
"Hyung. Mianhaeyo."
Minhyuk tersenyum simpul dan menggeleng pelan sembari menyeka sisa air matanya. "Gwaenchanha."
"Minhyuk-ie." Mendengar suara appanya memanggil namanya, membuat Minhyuk menoleh. "Terima kasih karna sudah berani dan menceritakan ini pada kami. Maafkan saudaramu dan kami sebagai keluargamu yang tidak bisa berbuat apa-apa saat itu."
Appa bukan tipe orang yang banyak bicara dan berekspresi. Tapi mendengar kalimat itu saja sudah cukup membuat Minhyuk merasa kalau appanya juga ikut sedih.
"Hari ini kau menginap aja disini, ya?" tanya eomma dengan hati-hati.
Minhyuk tersenyum dan mengangguk setuju.
Sekarang rasanya sudah lega, seakan beban yang selama lima tahun dia simpan sendiri itu, sudah lebih ringan karna sudah dibagi dengan keluarganya.
Dan... Han Yura.
***
Langit di luar sudah pekat. Sunyi. Tak ada suara. Tapi bukan sunyi yang bikin sesak—lebih seperti hening yang pasrah.
Berbeda dengan suasana di luar sana, kamar Minhyuk masih terang. Lampu di langit-langit menyinari ruangan bernuansa abu-abu itu. Ia bersandar di tempat tidur, punggungnya menyatu dengan bantal, sebuah buku terbuka di tangannya. Tapi matanya tidak fokus. Halaman demi halaman hanya terlewati pandangan kosong.
Pikirannya ke mana-mana.
Tapi satu hal yang ia rasakan. Hatinya tidak seberat kemarin. Rasanya... lebih ringan.
Nggak ada lagi perasaan seperti dicekik dari dalam. Dan itu cukup bikin dia bersyukur. Ia sempat takut—takut untuk bercerita. Takut keluarganya marah, menyalahkannya, menganggap dia gagal menjaga pasangannya sendiri. Takut malah hubungan mereka ikut rusak. Takut... dihakimi karena menyimpan semuanya sendiri.
Tapi setelah melihat cara keluarganya mendengarkan, merangkul, dan tetap menerima tanpa banyak tanya—Minhyuk tahu, dia mengambil langkah yang benar.
Tok tok tok
Suara ketukan pelan di pintu membuatnya sedikit terlonjak.
Jam sebelas malam? Siapa?
Pintu itu terbuka perlahan, menampilkan kepala Minjun—adiknya—yang biasanya tidak pernah mengetuk pintu hanya untuk masuk ke kamarnya.
"Hyung... boleh aku masuk?"
Minhyuk mengangguk pelan. "Masuklah."
Minjun masuk dan duduk di pinggir kasur, gerakannya hati-hati, seolah takut merusak ketenangan malam itu. Matanya menatap kosong ke depan sejenak. Bibirnya diam, tapi jelas pikirannya penuh.
"Hm..." gumamnya. Terdengar ragu.
Dan itu sedikit mengusik Minhyuk, karna adiknya bertingkah nggak seperti biasanya.
"Ada apa?" Minjun mengerjapkan mata dan menoleh, seperti ketahuan. "Katakan saja."
Akhirnya, Minjun menghela napas dan bertanya dengan nada pelan, "aku... hanya berpikir. Apakah karna itu kau mengambil jarak dari kami?"
Minhyuk menutup buku yang tadi ia baca, menegakkan tubuh dan melihat adiknya yang terlihat... sedih.
Seketika, rasa bersalah kembali menyelimutinya karna sudah menutupi kejadian ini. Bukannya bercerita, dia malah mengambil jarak.
Minhyuk menutup bukunya, meletakkannya di samping. Ia menegakkan tubuh, memandangi adiknya yang terlihat sedih. Dan itu menamparnya dalam diam.
Rasa bersalah itu datang lagi—menyerbu. Bukan cuma karena cerita yang ia simpan terlalu lama, tapi karena selama ini ia menjauh, padahal mereka ada.
Minjun menatap lantai, lalu mengangkat kepalanya lagi. "Hyung... Minhyun hyung memang kakakku juga. Tapi itu... tetap salah. Selingkuh itu salah, dan ini dia berselingkuh dengan pasanganmu sendiri. Dan aku tidak akan membela dia..."
Minjun menarik napas, matanya agak bergetar. "Musibah yang menimpa mereka... kami juga sedih. Eomma, appa... kehilangan satu anak mereka. Tapi..." —dia menggigit bibir— "aku rasa... mereka juga kehilangan satu anak lagi saat kau mulai menarik diri dari kami."
Minhyuk menggigit bibir bawahnya, menundukkan kepala. Perasaan bersalah yang kini ia rasakan seakan makin nyata dan menusuk karna sudah menjauhi keluarganya.
"Mungkin... kau pikir, kalau nggak cerita, mereka nggak akan sakit hati. Kalau kau nggak cerita padaku, aku juga nggak akan kecewa sama Minhyun hyung. Jadi kau pilih diam. Jaga jarak. Supaya kami nggak tahu apa-apa."
Minjun berhenti sebentar. Lalu menatap kakaknya dalam yang balik menatapnya juga. Sejujurnya, mata Minhyuk sudah agak memanas.
"Tapi, hyung... sadar nggak sih, kalau cara itu malah bikin mereka kehilangan dua anak sekaligus?"
Deg.
Minhyuk memejamkan mata. Napasnya nyaris tak terasa. Tidak. Sejujurnya tidak. Minhyuk sama sekali tidak memikirkan hal itu.
Dia hanya... berpikir kalau dengan ia mengambil jarak, menutup diri, tidak akan ada yang bisa mengetahuinya. Dengan begitu, semua orang akan terus melanjutkan hidup mereka tanpa sakit hati dengan kenyataan ini.
Minjun mengulurkan tangannya yang sedikit bergetar, menepuk bahu kakaknya. Kakak yang selama ini ternyata sudah menyimpan semua cerita itu sendirian. Ia tidak bisa membayangkan sesakit apa Minhyuk saat mengetahui hal itu, sendirian.
Berpikir kalau selama ini sekuat tenaga kakaknya melanjutkan hidup seorang diri dengan masih dihatui kenangan itu, membuatnya semakin sedih. "Aku... aku tidak menyalahkanmu atas hal itu. Kau juga ada pemikiranmu sendiri, dan aku menghargai itu. Yang aku mau katakan adalah... Hyung, kau tidak sendirian. Kau bisa bercerita padaku kalau kau tidak mau cerita pada orangtua kita."
Langsung, kedua bahu Minhyuk melemas turun, menatap adiknya sendu. Sedikit terharu dengan kata-kata adiknya yang biasa tengil, tapi sekarang sudah bisa dewasa juga.
Sementara dia sedang pergi, menjaga jarak dengan semuanya, Minjun si adik kecilnya, ia tinggalkan sendiri. Membiarkan Minjun tidak ada hyung lagi yang dapat bermain dengannya seperti dulu mereka.
Kapan adiknya mulai sedewasa ini.
Matanya basah. Tapi dia tidak boleh menangis. Ia menengadah, berusaha menelan emosi yang naik ke tenggorokan.
Seperti sadar kalau sudah waktunya untuk membiarkan hyungnya sendiri, Minjun menepuk bahu kakaknya dua kali sebelum ia bangkit berdiri. "Istirahatlah. Besok aku libur jika kau butuh untuk ditemani."
Minhyuk mengangguk. Bibirnya membentuk senyum kecil yang nyaris tak terlihat.
Saat tangan Minjun menyentuh kenop pintu, suara Minhyuk terdengar pelan, seperti bisikan.
"Minjun-ah."
Minjun menoleh. "Eo?"
"Gomawo. Geudongangomawottgo, mianhago, budeuthaesseo... naega." (Terima kasih. Selama ini, terima kasih, maaf, dan aku bangga padamu)
Minhyuk mengatakannya dengan sangat pelan dan tersenyum, Minjun bahkan nyaris tidak mendengarnya kalau tidak membaca gerakan bibir Minhyuk, tapi Minjun tetap senang mendengarnya.
Senyum sedikit tengil dilemparkan pada hyungnya itu. Seperti biasa yang ia lakukan. "Aku memang pantas untuk dibanggakan," candanya.
"Besok... bisa kau menemaniku?"
"Eodi?"
Sepertinya ini sudah waktunya untuk minhyuk melepaskannya... benar-benar melepaskannya. "Tempat Nahee dan Minhyun."
Ruangan itu sempat hening karna Minjun sempat terdiam, sebelum akhirnya tersenyum kecil dan mengangguk.
***
Matahari sudah tinggi diatas saat kedua kakak beradik itu sampai di makam Nahee dan Minhyun. Mereka memilih untuk pergi ke tempat Nahee terlebih dahulu.
Buket bunga lili kuning yang selalu menjadi kesukaan Nahee, sudah terletak bersandar di nisan 'Lee Nahee' dengan rapi di atas rerumputan.
"Nahee-ya. Oraenmanida," ucap Minhyuk dengan nada sedikit bergetar, entah kenapa. Mungkin karna sudah lama juga ia tidak kesini.
"Noona, annyeong!" sahut Minjun kemudian. Adiknya itu juga turut meletakkan bunga lili kuning di sebelah bunga tadi.
Terakhir Minhyuk kesini adalah hari pemakaman Nahee. Setelah mengetahui kenyataan pahit yang mereka lakukan di belakang Minhyuk, lelaki itu tidak sanggup untuk datang lagi. Bisa jadi, dia malah jadi gila dan merusak tanaman yang ada di kuburan itu.
Mereka tidak duduk, karna memang rencananya hanya mampir sebentar. Tapi biarpun begitu, mata Minhyuk menatap sendu tanda nama Lee Nahee tersebut, Jika boleh jujur, dia masih sakit. Hanya saja, rasanya tidak sesakit yang dulu. Rasanya jauh lebih lega sekarang.
"Nahee-ya." Minhyuk memaksakan senyum. "Aku sudah menceritakannya pada keluargaku. Termasuk dengan adik kecil yang selalu kau suka ini." Ya, itu adalah Minjun.
Minjun menyengir, tak tahu harus ngapain. "Noona. Minhyuk hyung sangat keterlaluan sekali. Bisa-bisanya dia menyembunyikan itu dari kami selama lima tahun. Memendam semuanya sendiri."
Tak ada bantahan yang bisa dilakukan oleh Minhyuk sehingga ia hanya bisa diam saja.
"Aku kan sebagai adiknya jadi merasa sedikit tidak berguna. Bisa-bisanya aku membiarkan hyung melewatinya sendirian saja."
Tangan Minhyuk menepuk pelan bahu adiknya yang membuat Minjun menoleh. "Maafkan aku," ujar Minhyuk dalam.
"Tak apa. Yang penting kan kau sudah cerita sekarang." Senyuman tulus yang dilemparkan oleh Minjun, sukses membuat Minhyuk ikut tersenyum.
Lalu... hening.
Tak ada yang membuka suara. Hanya menatap batu nisan itu. Membiarkan rambut mereka sedikit terbang tertiup angin.
Sampai akhirnya, gantian Minjun yang menepuk bahu kakaknya. "Butuh waktu sendiri?"
Minhyuk diam sebentar, berpikir. Lalu ia menggeleng. "Tidak perlu. Ayo ke tempat Minhyun." Minhyun tersenyum simpul menatap batu itu. "Nahee-ya. Aku hanya ingin bilang, aku sudah memaafkanmu. Sekarang... istirahatlah yang tenang."
"Noona. Aku pergi dulu ya."
Dan kakak beradik itu kembali melangkahkan kaki menuju tempat selanjutnya. Jarak antara tempat Nahee dengan Minhyun, tidak terlalu jauh. Jika Nahee di blok A, Minhyun di blok C. Jadi hanya berselang lima-enam menit, mereka sudah sampai.
"Hyung!" Minjun menyapa batu itu dengan sedikit antusias. "Kami datang! Kali ini aku dengan Minjun Hyung!"
Entah mengapa pada Minhyun... rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan suaranya. Iya, dia sudah memaafkan mereka. Tapi rasanya masih tidak bisa semudah itu untuk bicara pada Minhyun.
Sikutan bahu pelan yang dilakukan Minjun padanya, seakan memberi sinyal kalau Minhyuk boleh bicara. Minhyuk berdeham kecil, menggigit bibir bawahnya sambil membasahi bibirnya. Sedikit... gugup(?), atau mungkin... canggung? Sepertinya itu adalah ekspresi yang pas untuk situasinya saat ini.
"Ehem." Minhyuk menarik napas. "A--annyeong, Minhyun-ah. Hyung-iya."
Selaku yang paling besar di rumah, walaupun mereka kembar, Minhyun juga memanggilnya hyung seperti Minjun.
Diam-diam, Minjun tersenyum simpul di sampingnya.
"Maaf aku baru bisa datang hari ini." Ada jeda lagi sebelum melanjutkan kalimatnya. "Hm... aku tidak tahu seberapa sering adik bungsumu datang kesini, tapi aku akan menginformasikan lagi padamu. Minjun-ie sekarang sudah sukses menjadi seorang dokter. Lagi fellow dia haha."
"Hyung! Na jinjja jeongsin nagasseonabwayo!!! Kenapa coba aku malah mengambil fellow lagi. Mau menyerah rasanya. Sangat sibuk," keluh Minjun dengna berapi-api. Seakan-akan dari nada bicaranya saja--yah kelihatan sih memang--emosi yang ia hadapi itu terlihat. (Kak! Sepertinya aku sudah kehilangan akal sehatku deh!)
Minhyuk hanya terkekeh pelan di sebelah Minjun, mendengar setiap keluhan yang ia keluarkan. Mungkin sekitar 10 menit adiknya itu bicara tanpa henti. Menceritakan semua kejadian yang membuatnya terharu, lelah, sedih.
"Minjun-ah."
Minjun menoleh dengan polosnya. "Ne?"
"Bolehkah aku minta waktu sendiri?"
Awalnya, Minjun bingung. Keningnya berkerut dengan kepala dimiringkan, seakan ingin menebak kenapa. Tapi pada akhirnya dia mengangguk, mengerti kalau memang kakaknya butuh waktu berdua saja. "Aku tunggu disana ya," katanya sambil menunjuk ujung dari jalan blok C yang dibalas dengan anggukan kepala Minhyuk.
Sepeninggalan Minjun, suara angin yang berhembus seakan terdengar sangat jelas. Sesekali burung-burung yang hinggap di pohon-pohon besar disana juga berkicau. Mengisi keheningan yang ada disana.
"Ehem." Oke, mungkin ini saatnya dia bicara.
Mulai dari mana kah? Kakinya sesekali menendang batu kerikil di sampingnya sementara dia menyusun kalimat yang tepat.
"Minhyun-ah. Kau tahu kalau di antara kau dan Minjun, aku lebih dekat padamu? Selain karna kita kembar, karna kita seumuran, jadi aku lebih banyak cerita padamu juga. Dan aku selalu bersyukur karna kau mau mendengarkan ceritaku setiap saat."
Rasanya berat ya untuk mengatakan hal ini. Tangannya mengepal. Mencoba untuk menahan diri agar tidak merasa marah atau mengeluarkan air mata. "Saat aku tahu kalau kau selingkuh dengan Nahee, ada sesuatu dalam diriku yang hancur. Mengetahui dua orang yang paling dekat denganku melakukan hal yang seperti itu, aku marah. Jujur, kau juga tidak bisa marah balik padaku kalau aku meninjumu kalau kau masih hidup."
"Aku kalut. Aku bingung. Aku tak tahu harus ngapain saat itu. Aku tahu aku harus marah, aku harus mengeluarkan emosiku. Tapi aku tidak tahu harus marah ke siapa. Kalian... yang berbuat sudah tidak ada. Aku tidak bisa meluapkannya pada eomma appa, apalagi pada Minjun."
Sial. Air mata baru saja menetes turun dari kelopak matanya. Tampaknya dia perlu menggenggam tangan hingga kuku jarinya menancap di tangannya mungkin ya?
Dengan kasar Minhyuk menghapus air mata itu. Tidak, dia bukan menangis karna dia merasa kesal. Oke, dia memang merasa kesal sedikit. Tapi sebenarnya dia menangis karna rasa sakit itu terasa lagi, hinggap padanya lagi, merasa sakit karna dikhianati. Dan sekarang dia perlu menceritakannya lagi.
"Dan aku juga tidak mungkin menceritakannya pada mereka. Tidak saat mereka baru saja kehilangan anak mereka, kehilangan kakak mereka. Jadi--" Minhyuk menghela napas berat. "--jadi aku menelan semuanya sendiri. Aku menarik diri dari mereka, dari semua orang. Tidak dekat dengan siapapun. Aku terlalu takut untuk berhubungan dengan orang lagi. Takut kalau aku ditusuk lagi."
Fiuh... Minhyuk mengengadahkan kepalanya, melihat langit biru yang terbentang luas di atas kepalanya sebelum melanjutkan. "Tapi itu semua sudah berlalu. Aku juga sudah menceritakannya pada keluarga kita. Aku juga sudah memaafkanmu. Yaaa, mungkin masih rasa kesal, tapi aku sudah mulai bisa memaafkan kalian. Itu semua terjadi begitu saja setelah aku mengenal Han Yura. Dia teman seperjuangan Minjun."
Mengingat Yura, tawa kecil Minhyuk akhirnya bisa terdengar. Sangat pelan memang. Tapi setidaknya suasana hatinya sedikit berubah. "Belakangan ini, dia lah yang menarik perhatianku. Aku tidak melakukan apa-apa selain menjawab dengan dingin dan singkat padanya. Aku juga tidak mendekatkan diri padanya. Tapi sepertinya semesta ingin aku bersama dengannya. Ada saja yang membuatku bertemu dengannya."
Minhyuk menekuk lututnya, sedikit memajukan tubuhnya untuk berbisik. "Apakah aku harus mencobanya?" Lalu dia kembali berdiri lagi dengan senyum tipis.
"Sepertinya hanya ini yang bisa kukatakan padamu saat ini. Lain kali, mungkin lain kali akan kuceritakan lanjutannya. Kalau begitu, aku pergi dulu," katanya sambil meletakkan buket bunga yang selama ini ia pegang dan belum ia letakkan untuk Minhyun.
"Aku... Hyung menyayangimu. Beristirahatlah dengan tenang."
***
Mobil melaju dengan mulus, beradu sopan dengan kendaraan lainnya sepanjang mereka pulang. Minjun lah yang mengemudi dan dia yang mengajukan diri tadi. Alasannya, "kan tadi perginya sudah hyung yang menyetir. Tak apa pulangnya aku saja." begitu.
Yah, Minhyuk mah nurut saja. Toh dia jadi bisa beristirahat.
Geunde... istirahat gaebbul. (Tapi... apanya istirahat)
Minjun hampir tidak berhenti bicara. Ada saja ide untuk dibicarakan. Mulai dari permasalahan cintanya, karirnya, karir Minhyuk. Ada saja lah intinya.
"Hyung."
Minhyuk yang sedang memejamkan matanya, berharap bisa sedikit tenang, menggumam. "Hm?"
"Yura..."
Mendengar nama Yura, matanya seketika terbuka, menoleh pada Minjun yang seakan sedang melempar senyum miring padanya. "Giliran Yura saja, terlihat antusias," ejek Minjun.
"Han Yura kenapa?"
Minjun berdeham, ingin membuat suasana serius gitu ceritanya. Tapi ya gagal sih.
"Kalau kau memang tertarik pada Yura, lebih baik kau cepat bergerak. Rowoon benar-benar menyukai Yura. Dan jujur saja, effort Rowoon pada Yura itu sebenarnya top, kalau dibandingkan dengan kau."
"Kau mengejekku?"
Minjun menggeleng cepat. "Aku hanya memberi tahu. Kalau sebenarnya kau selama ini tidak ada effort untuk Yura. Setidaknya, di mata ku dan Hyena sih tidak ada. Sedangkan Rowoon selalu ada untuk Yura."
Raut wajah Minhyuk langsung berubah serius berpikir, tapi agak sedih juga mendengar kenyataan dari Minjun.
Melihat reaksi hyungnya sesuai dengan yang dia mau, Minjun mulai semakin memanasi.
"Nih ya. Rowoon selalu menyempatkan waktu untuk datang ke tempat kerja Yura. Mau itu pagi ataupun siang sambil membawa kopi pula. Dia juga sering bercanda dengan staf disana bahkan sudah mengatakan kalau dia tertarik pada Yura di depan mereka. Kalau Yura sedang jaga malam, dia selalu menyempatkan waktu untuk membelikan makanan untuk Yura. Bahkan beberapa kali dia menjemput Yura sepulang kerja walaupun sebenarnya dia sendiri sudah sampai di rumah atau sedang libur. Jika dibandinkan dengamu, kau hampir nol koma nol nol nol nol--"
"Arasseo!" Minhyuk mendelik tajam pada adiknya yang terkekeh. "Arasseunikka, ije dakchyeo! Aku mau tidur."
Bohong. Sebenarnya dia hanya tidak ingin mendengar lebih lagi dari Minjun. Itu seperti mengganggu pikirannya.
Benar-benar mengganggu pikirannya.
Dasar, Go Minjun.