Napas yang parau, suara entakan kaki, aroma higienis, dan panggilan nama yang tak berujung, gadis itu duduk diam di sebuah sofa, tempat para pasien menunggu. Dengan kaki yang terus terentak ke lantai dan tubuh yang bergetar bagaikan dering telepon. Detak jantungnya tak terkendali, padahal ini bukan kali petama ia berkunjung.
“Mbak Maya Amelia!”
Namanya yang terpanggil membuatnya sedikit terkejut. Ia menutup buku yang bahkan hanya bisa ia baca dalam satu paragraf di kondisi yang tidak mengenakkan. Ia dengan buru-buru berdiri, memasukkan buku itu ke dalam tas sandangnya dan masuk ke dalam ruangan konsultasi. Ada dua kursi yang kosong di sana. Biasanya diisi oleh pasien dan wali, hanya saja sejak pertama kali ia datang ke rumah sakit, dirinya tak pernah membawa seorang wali pun. Maka ia duduk di kursi sebelah kiri dan meletakkan tasnya di kursi sebelah kanan. Psikiater yang ada di depannya masih mengetik, mungkin hasil diagnose dan pemberian obat kepada pasien sebelumnya.
“Apa kabar, mbak Maya?”
Maya menegakkan kepalanya untuk menatap mata sang psikiater yang telah membantunya selama tiga bulan ini. Ia merasa tidak membaik. Sejak awal ia tidak pernah membaik.
“Sama… kayak biasanya, Dok,” jawabnya pelan.
“Tidur bagaimana?”
Maya mengalihkan pandangannya sejenak. Meskipun ada kaca pembatas antara dirinya dan sang psikiater, ia tetap tidak bisa merasa tenang. Kerap kali ia takut jika terjadi sesatu, apalagi psikiaternya itu adalah seorang laki-laki yang tidak tahu bagaimana caranya mengatasi kasus dirinya sendiri.
“Masih sulit. Kadang jam tiga baru tidur, kadang keingat kembali kejadiannya. Di mimpi.”
Psikiater itu mengangguk-angguk, kemudian mengetik kembali di komputernya. “Makan?”
Maya menggeleng. “Enggak ada nafsu, Dok.”
“Mbak masih ngobrol atau interaksi sama dia?”
Maya menggeleng kembali. “Saya itu …. Kotor, Dok. Saya enggak pernah berbicara sama dia lagi. Saya selalu pulang larut malam untuk menghindari dia aja. Kalau aja—“
“Mbak. Kejadiannya sudah sebelas tahun yang lalu. Tidak ada yang kotor di diri mbak.”
Pernyataan itu selalu muncul di saat Maya mulai mengeluhkan dirinya sendiri. Rasa kotor di tubuhnya yang tak kunjung menghilang meskipun telah tumbuh menjadi remaja. Rasa takut yang terus tumbuh di dalam jiwanya juga semakin membesar. Begitulah rasanya kehilangan kesucian sebagai wanita. Baik dirinya maupun psikiaternya, keduanya tidak mengerti bagaimana cara mengatasinya. Psikiaternya selalu berkata jika ia tidak bisa sembarangan mengatasi masalah Maya, tetapi ia sendiri tidak tahu bagaimana memberikan saran kepada gadis korban pelecehan seksual di usia kecilnya.
Sesi kontrol berakhir dalam lima belas menit. Yang Maya dapatkan hanyalah wejangan supaya ia tidak terlalu membenci dirinya sendiri dan tetap hidup sebagaimana selayaknya manusia. Namun, Maya sendiri tidak tahu bagaimana hidup selayaknya manusia tanpa kekotoran yang tersisa di dirinya. Bahkan hingga saat ini, Maya hanya ingin mati muda tanpa merasakan pernikahan ataupun memiliki anak.
Kotor. Gadis itu terus merasa kotor, tak peduli seberapa banyak ia menuangkan sabun ke tubuhnya, sekasar apa ia menggosok tubuhnya meskipun meninggalkan goresan luka, ia tetap tidak merasa bersih. Baik tubuh maupun jiwanya. Ia hanya ingin dibebaskan dari rasa kotor itu.
***
Hidupnya dihabiskan sebagai penulis. Ia hanya menulis sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia tidak pernah melakukan hal yang lebih menyenangkan daripada menulis. Meskipun kerap kali menghabiskan waktu untuk membuat film, ia tetap memilih kebahagiaannya sebagai penulis. Semua itu dilakukannya demi melarikan diri dari kenyataan yang tak menyenangkan.
Kotak. Ada sebuah tempat bernamakan Kotak Baca di Pekanbaru. Tidak pertama kali baginya untuk berkomunitas, tetapi ia tidak pernah menemukan tempat yang aman dan nyaman di kota tempat ia tinggal itu. Ia selalu merasakan neraka di mana pun ia berpijak. Bahkan setelah perpindahan tempat dari gang kecil menuju sebuah garasi, tempat itu tetap seperti kotak. Sesuai dengan namanya Kotak Baca.
Ketertarikan sebagai manusia muncul di dalam dirinya untuk mendatangi tempat baru itu, meskipun detak jantungnya tidak senormal yang seharusnya. Ditambah dengan napas yang parau membuatnya kesulitan untuk bersikap normal selayaknya manusia. Maya memutuskan untuk datang ke tempat itu tanpa ingin memikirkan akan ada nasib buruk apa lagi yang mungkin menimpanya. Namun, ketika ia masuk ke dalam garasi kecil itu, ia hanya menemukan dua orang di dalamnya. Pria dan wanita. Yang wanita terlihat lebih tua dari dirinya, tetapi masih terlihat cantik dan anggun. Satu lagi seorang pria yang terlihat lebih muda, tetapi terlihat lebih tua dari Maya sendiri.
“Halo, Maya,” sapa wanita itu.
Maya sudah mengenal keduanya. Ia menghela napas lega karena tidak bertemu dengan orang baru yang ramai ataupun keberisikan dunia nyata.
Tempat itu sangat rapih, tetapi penuh dengan kesederhanaan. Dipenuhi dengan dua rak buku yang besar dan penuh dengan buku-buku. Beberapanya berlabel, hasil dari donasi dari tenaga pengajar. Hanya ada empat meja yang disusun di sisi-sisi dinding, kiri dan kanan. Namun, terdapat banyak kursi yang dijejer rapi di sisi-sisi dinding.
“Halo, Kak Dea, Bang Zaki,” balas Maya pelan.
Kakinya perlahan masuk ke dalam garasi itu. Cahaya kuning dari lampu atas menyambutnya. Dinding yang dipenuhi dengan cat berwarna putih dan kuning, sedikit terkelupas turut mengisi pandangannya. Aroma buku yang sangat pekat dan juga rasa hangat yang sedikit memeluk tubuh ringkihnya itu.
Dea, sosok wanita berambut pendek seleher yang ia gerai begitu saja, tubuhnya yang ramping dipeluk dengan baju berwarna krim dengan perpaduan rok berwarna hitam. Ia tersenyum lebar, bagaikan seorang kakak yang baru saja menyambut anaknya pulang.
“Apa kabar, Kakak penulis?”
Tatapannya teralihkan pada sosok Zaki dengan laptop di mejanya. Ia tersenyum tipis dengan kumis minimalis di atas bibirnya. Kulit sawo matangnya ditutupi dengan kaos oblong berwarna abu-abu dan celana pendek selutut.
“Ah, ya. Sehat, Bang.” Setidaknya raganya sehat-sehat saja dan Maya pikir semuanya juga ingin ia menjawab demikian.
Dea mendekat dan memeluk Maya dengan erat. “Udah lama kamu gak datang. Duduk dulu. Maaf ya, tempat kita yang sekarang gak jualan kopi lagi. Lebih kecil soalnya dan ya inilah kita seadanya aja.” Dea melepaskan pelukan itu dan membiarkan Maya duduk di hadapannya.
Jika diulik kembali, kedua wanita itu hanya bertemu dalam perjamuan kematiannya Joko Pinurbo. Kotak Baca yang berada di tempat pertamanya di jalan Abimanyu, saat itu Maya mendatangi acara tersebut tanpa mengenal Dea. Namun, jika diibaratkan sebagai malaikat, maka Dea adalah malaikat itu. Ia mengulurkan tangannya pertama kali untuk berkenalan dengan Maya. Bahkan keduanya baru saat itu berkenalan. Tatapan Dea yang selalu menghangatkan dan selalu mendengarkan orang lain, mungkin di saat itu juga Maya merasa aman berada di sekitar wanita itu. Meskipun, perpindahan Kotak Baca ke Senapelan membuatnya tak lagi datang ke rumah kecil yang dibuat oleh Dea.
“Itu, sebelumnya sibuk sama jadwal sekolah jadi maaf belum bisa mampir.”
Dea tertawa kecil. “Ngapain minta maaf? Gak apa-apa, kita ini hanya ruang inklusif dan perpustakaan mandiri. Enggak ada kewajiban buat kamu harus datang setiap hari. Oh iya, kalau boleh tau kamu sekarang ngapain aja selain sekolah?”
Maya merilekskan punggungnya sejenak, membiarkan tubuhnya bersender pada kursi untuk melakukan pembicaraan yang santai. “Enggak ada, cuman nulis aja, Kak”
“Masa?”
Maya mengangguk pelan. “Cuman nulis-nulis aja, gak pernah sampai tamat.”
Jawaban singkat dari Maya seolah memberikan pertanda bagi Dea. Wanita yang telah makan asam garam lebih dahulu itu mengerti jika Maya tidak ingin membahas sekolahnya.
“Kamu mau gak kerja sama kita? Kita lagi pengurusan yayasan juga sih, tapi kita juga ada pembuatan majalah, namanya Uncommon Journal. Kalau kamu tertarik kamu bisa masuk di bagian penulisnya. Soalnya kamu kan jago banget soal tulisan.”
Pertanyaan itu bagaikan titik balik bagi Maya. Ia menyukai tulisan, ia bahkan masih menulis di sebuah platform. Ia ingin menulis lebih dari sekedar sebuah novel maupun cerpen. Dalam perasaan yang jauh di lubuk hatinya ia akan menjawab pertanyaan itu tanpa memikirkan sebab akibatnya.
“Mau!”
divaelaaah_








