Uncommon Journal, sebuah majalah yang diterbitkan secara mandiri, tetapi mendapatkan penghasilan dari banyaknya peminat. Terlebih, rubriknya berfokus pada kesenian, sejarah, dan para anak muda. Maya pernah melihatnya sekali dalam sebuah video. Bukan hanya majalah, tetapi liputan video juga masuk ke dalamnya. Semuanya dikemas dengan menarik, baik itu video maupun majalah.
Lalu di sinilah Maya, sebuah kafe dengan aroma kopi yang terus menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Sesekali suara mesin kopi juga mengisi kekosongan yang ada. Gadis itu duduk berhadapan dengan Dea dan Zaki. Sedikit yang diberitahu bahwa keduanya telah menjadi suami istri. Interaksi yang ia lihat sesekali sangat manis untuk dilihat sampai ia menyadari bahwa ia merupakan sebuah puzzle dengan banyak potongan yang menghilang dari tubuhnya. Sedikit senyuman menipis dari wajahnya, menyadari jika ia tidak bisa jadi seperti keduanya. Jika ia tidak mungkin menerima sebuah cinta dalam hidupnya. Jangankan mencintai orang lain, mencintai dirinya sendiri saja sangat sulit untuk dilakukan.
“Gimana sekolahnya hari ini?” Dea menutup laptopnya, kemudian menatap Maya dengan penuh rasa penasaran. Seolah pertanyaan itu adalah hal yang wajib ia tanyakan kepada gadis di hadapannya.
“Kayak biasa.”
“Kayak biasa gimana? Kamu kan belum pernah cerita apa-apa tentang sekolah kamu.”
Maya tersentak, kebiasaannya untuk menjawab di rumah selalu terbawa di mana pun ia berada. Lalu sedikit rasa takut muncul di dalam dirinya. Lalu dicampur dengan rasa bingung dan emosi yang tidak bisa ia jelaskan.
“Sekolah kayak….biasanya. belajar, nugas, gitu-gitu aja, kak. Gak ada yang beda.”
Dea menatap gadis yang di hadapannya itu, kebingungan. Masa labil para remaja, pikirnya. Namun, sesuatu di dalam diri gadis itu emmbuat rasa penasarannya semkain dalam. Dia ingin tahu lebih banyak, tetapi melihat bagaimana gadis itu terlihat tidak nyaman, rasa di dalam diri Dea tidak ingin mengulik lebih jauh.
“Oke deh. Jadi soal majalah kita, ini masih tahap di volume ke lima. Akan ada lima belas bahan tulisan yang udah kita wawancara, sisanya tinggal ditulis. Kira-kira kamu bisa nulis berapa banyak? Aku sama Zaki mungkin gak bisa ngasih uang banyak, tapi mungkin bisa nambah-nambah uang jajan kamu.”
Maya terdiam sejenak. Sejujurnya ia tidak terlalu peduli uang di umurnya yang menginjak enam belas tahun itu. Namun, ia hanya ingin menulis. Tentang apa saja, ia ingin menulis lebih dari siapa pun orang tahu itu.
“Maya bisa nulis semuanya, cuman ini ada tenggatnya gak, kak? Maya juga sekolah, jadi takutnya kalau dalam waktu dekat gak bisa ngerjain,” jelas gadis itu pelan.
Dea tersenyum tipis.
“Cuman sepuluh hari sampai kita naik cetak. Kira-kira cukup gak?”
Maya mengalihkan pandangannya, menatap sosok Zaki yang masih membuka laptopnya, tetapi pandangannya tertuju pada Maya. Dengan senyuman yang tipis, seperti dipaksakan meskipun sebenarnya tidak.
“Cukup kayaknya, Bang. Tapi kalau tulisanku gak terlalu bagus gimana?”
Dea tertawa kecil. “Tulisan kamu itu unik, May. Kakak udah baca novel yang kamu tulis itu. Kakak rasa itu cocok untuk Uncommon Journal. Bagian editorial nanti di kakak, jadi kamu gak usah bingung. Kita belajar sama-sama.”
Jika sihir itu nyata, maka kalimat Dea bagaikan sihir di kepala Maya. Semua yang diucapkan wanita itu bagaikan mantra penenang untuknya. Seolah menyatakan jika ia sudah menjadi penulis yang hebat untuk dibaca banyak orang.
* * *
“Kenapa pulangnya lama?”
Maya baru saja masuk satu langkah ke dalam rumah dan pertanyaan itu sudah muncul dari pria paruh baya yang duduk di kursi kayu jati menghadap televisi. Baru pukul delapan malam, memang bukan waktu yang cepat untuk pulang dari sekolah dan itu adalah salahnya karena tak memberitahu satu pun dari anggota keluarganya.
“Tadi main sama teman dulu,” jawabnya pelan dan berlalu masuk ke dalam.
“Lain kali kalau pulang telat ya kabari. Jangan diam-diam aja.”
“Ya.” Jawaban singkat itu pertanda jika gadis itu telah lelah mendengar pernyataan yang sama. Maka ia masuk ke dalam kamarnya dan mengunci demi ketenangan diri yang lebih baik.
Hubungannya dengan keluarganya dingin. Namun, ia tetap berbicara secukupnya. Ia menghindari pertikaian, maka ia tidak pernah berbuat salah dan berusaha menjadi siswa yang berprestasi di bidang non akademik karena kepalanya tak cukup besar untuk merampung bidang akademik menjadi sempurna di ujian akhir semester. Setidaknya Maya telah menjadi anak yang baik-baik di depan keluarganya yang penuh masalah emosi.
Ibunya tak bisa mengontrol emosi, maka selalu memarahi dirinya meskipun ia tak melakukan kesalahan apa pun. Ayahnya tidak pernah menunjukkan rasa kasih sayang, sehingga Maya tak pernah membutuhkan apa-apa lagi dari pria itu selain kebutuhan sekolahnya. Abangnya adalah bajingan yang selalu bermain fisik, bahkan luka di dalam dirinya diakibatkan oleh pria yang hany beda satu tahun darinya dan menjadi pengangguran setelah lulus dari SMK. Adiknya baru kelas tiga SD, tetapi ia tidak pernah menunjukkan diri sebagai sosok kakak. Seperti yang disebutkan, hubungannya dengan keluarganya itu dingin dan ia tidak peduli dengan itu. Meskipun demikian, ada satu hal dari dalam dirinya yang ingin didapatkan dari keluarganya. Validasi.
Maya duduk di atas kasurnya, dengan laptop yang dibeli ayahnya sejak ia masuk ke jurusan multimedia. Laptop itu ia letak di atas pangkuannya dan matanya tertuju pada bahan-bahan tulisan yang telah dikirikm oleh Dea. Kepalanya berusaha mengerti setiap tulisan yang ada, sebelum tangannya mulai menuliskan sesuatu yang layak untuk dibaca.
Suara berisik datang dari luar kamar. Suara yang sangat besar, perdebatan antara abangnya dan ayahnya, lagi-lagi demikian. Suara yang besar itu memicu rasa takut di dalam dirinya. Napasnya menjadi tak karuan, belum lagi detak jantungnya yang memacu bak pelari lapangan. Maya buru-buru mengambil botol air minumnya dan meminum obat yang diberikan psikiaternya sebagai penenang. Kesedihannya adalah obat itu butuh waktu sepuluh menit untuk bereaksi, maka ia dengan cepat meraih headphone dan menyetel lagu keras milik Nirvana pada album In Utero.
Tidak ada suara perdebatan yang tedengar di telinganya lagi, semua tergantikan dengan melodi musik grunge kesukaannya meskipun itu akan merusak gendang telinganya jika diputar dengan volume yang keras. Namun, ia tidak peduli. Ia hanya ingin ketenangan meskipun mncarinya dalam keributan musik sekalipun. Di dalam kamar yang kecil dan dikunci itu adalah ruang pertahanannnya dan penenagnya, tidak aka nada yang mengganggunya meskipun itu adalah orangtuanya sendiri.
Maya terbuai dalam satu lagu kesukaannya yang berjudul Du,b dari penyanyi Nirvana itu. Liriknya yang aneh tetapi memuaskan hatinya adalah bagian yang tidak bisa ia lepaskan.
My heart is broke
But I have some glue
Help me inhale
Hatinya telah hancur berkali-kali oleh keluarganya. Rasa kecewa yang tidak pernah bisa ia lepaskan itu adalah bagian dari dirinya yang menolak keberadaan para pria otak selengkangan. Namun ia memiliki tulisan. Ia menulis. Tulisan itu yang menjadi perekat untuk dirinya menetap di dunia yang sudah tak ada artinya untuk gadis yang telah kehilangan kesucian dalam hidupnya.