Saat itu Maya masih berumur enam tahun ketika ia diperkosa oleh abangnya sendiri. Ia tidak mengerti apa yng dilakukan oleh pria itu, hingga memotret tubuhnya yang telah terlepas dari semua yang menutup tubuh tak berdosanya itu. Lalu ada satu orang lagi, tetangganya. Keduanya yang telah mengambil kesuciannya itu bagaikan merampas permen dari anak kecil. Maya kecil menceritakan itu kepada ibunya, tetapi ibunya hanya berkata bahwa ia tidak perlu bermain dengan tetangga mereka lagi.
Maya kecil tidak tahu jika hal tersebut adalah pelecehan seksual hingga ia duduk di sekolah menengah pertama. Anak itu benar-benar polos sampai kejadian yang tak separah dirinya terjadi pada temannya. Maka sejak itu ia mengetahui apa yang terjadi pada tubuhnya di umur enam tahun. Ia kehilangan kesuciannya dan di saat yang sama ia kehilangan niat untuk hidupnya. Percobaan bunuh dirinya pertama kali adalah ketika masih duduk di bangku SMP. Maya remaja berharap jika ia mati dengan sayatan di tangannya, tetapi takdir menginginkannya untuk hidup yang panjang, Maya tidak bertemu Tuhan saat itu juga. Lalu setelah kejadian itu ia tetap berangkat ke sekolah tanpa memikirkan apa yang baru saja ia lakukan. Semuanya berlanjut bahkan ketika ia duduk di SMK. Hal yang disadari Maya adalah bahwa keluarganya, orangtuanya tidak berpihak padanya karena pria otak selengkangan itu tak mendapatkan ganjaran apa pun dalam hidupnya.
“Maya?”
Gadis itu terbuai di kelas dnegan buku catatan di atas mejanya. Tatapannya tertuju pada pemuda yang ada di depannya. Seorang abang kelas yang sangat dikenal penjuru sekolah. Bukan karena ketampanannya, tetapi karena kenakalannya sebagai remaja. Namun, ia telah menyabet kejuaraan nasional dengan filmnya. Pemuda itu bagaikan sosok inspirasional bagi murid-murid di jurusannya. Maya terbelalak kaget dan melirik ke kiri dan kanan, memastikan jika pemuda itu benar-benar berbicara kepadanya. Lagipula tidak ada nama Maya lain di kelasnya.
“Aku?”
Pemuda itu mengangguk. Kemudian memutar kursi yang ada di barisan depan dan duduk di hadapan Maya. “Aku denger dirimu bikin cerita. Aku boleh gak nanya-nanya soal itu?”
Maya mengernyitkan dahinya kebingungan. “Tapi kan abang bikin film.”
“Tuh, Mal. Orang selalu ngira orang bikin film selalu punya cerita.” Maya menatap gadis di sebelahnya, sang kakak kelas dengan senyuman yang sangat manis.
“Kak Bintang?”
Gadis bernama Bintang itu tersenyum lebar. “Akmal mau nanya ke kamu, soalnya kamu kan menang lomba nulis cerpen terus. Apa lagi pas kelas satu kamu langsung dapat dua juara. Jadi aku kenalin kamu ke Akmal—“
“Aku udah kenal Maya juga kali. Jurusan kit aitu dikit, Bin, aku pasti kenal orang-orang kayak Maya.”
“Orang-orang kayak aku? Maksud?”
Keduanya saling tatap, lantas tertawa, menyadari betapa anehnya pernyataan Akmal terhadap figure dirinya di sekolah.
“Maksudnya ornag-orang berbakat kayak kamu. Akmal emang jelek soal pemilihan kata. Maafin aja, ya?” Bintang mengklarifikasi pernyataan tersebut.
Maya terdiam kembali. Tubuhnya yang kikuk itu terasa bingung harus bereaksi seperti apa. Terlebih dirinya bukanlah anak yang cantik, jadi rasa aneh terus menggerogoti tubuhnya yang kikuk itu. “Mau nanya soal apa?”
Akmal melirik jam tangannya kemudian kembali menatap Maya. “Ngobrol di luar yuk, sama yang lain. Masih ada sepuluh menit sebelum jam istirahat selesai.” Akmal berdiri dari kursinya dan menunggu respons dari gadis itu, hingga tubuh Maya benar-benar berdiri tanpa gadis itu sadari.
Ketiganya keluar dari kelas yang pengap itu, berjalan melewati lorong dan tangga hingga mereka duduk di bawah tangga dengan beberapa kakak kelasnya yang lain. Semuanya dari satu kelas yang sama, dan Maya mengenal beberapa dari mereka dari obrolan murid di kelasnya. Lalu satu orang yang tak asing di matanya.
“Yohan?”
“Oh iya kamu belum tau. Yohan bakal ikut produksian kami kali ini,” jelas Bintang singkat kemudian duduk di sebelah murid yang lain. Maya mengikuti dan duduk di sebelah Bintang.
Maya terdiam, menunggu siapa saja membuka suara. Meskipun dirinya masih dipenuhi kebingungan kenapa Yohan berada bersama mereka. Yohan tak berbicara apa-apa kepadanya, seolah dikhianati, begitu rasanya untuk Maya. Sejak duduk di kelas satu, mereka telah dekat karena membuat satu film dan memenangkan lombanya. Terlebih untuk saat ini, Maya merasa dijauhi oleh pemuda itu.
“Menurutku film pendek itu sama kayak cerita pendek, May.”
Maya menegakkan kepalanya, menatap Akmal yang sudah mulai berbicara.
“Makanya aku mau denger pendapat dari kamu. Sebenarnya nulis cerita pendek itu gimana?”
Gadis itu kebingungan. Seharusnya mereka yang sudah memenangkan lomba nasional mengerti apa maksud dari pertanyaan itu. Lalu kenapa dirinya dilibatkan dalam diskusi tim yang dirinya sendiri tidak termasuk sebagai anggota. Maya mulai mempertanyakan keberadaan dirinya sebagai siapa.
Maya menegak salivanya, membasahi tenggorokannya sebelum berbicara. “Aku gak terlalu paham soal film kayak abang, kakak, ataupun Yohan. Tapi kalau bicara soal cerita pendek, itu hal yang kompleks. Aku paling gak suka nulis cerpen daripada novel.”
“Kenapa gitu?”
Maya menoleh pada Bintang sebelum menjawabnya. “Karena Cerpen itu cerita pendek, bukan cerita panjang yang dipendek-pendekkan. Mungkin Bang Akmal juga pernah dengar itu di film. Film pendek itu bukan film panjang yang dipaksa untuk dipendekkan. Semuanya harus punya satu momen. Satu momen itu yang menggerakkan semuanya.”
“Aku masih belum ngerti.”
Maya menghela napas panjang. “Satu momen, satu kejadian. Berarti hanya ada satu masalah, hanya ada satu waktu dan tidak lebih dari itu. Emang sih ada film kayak Before Sunset, film panjang dengan satu hari, tetapi masalahnya enggak satu. Beda sama film pendek ataupun cerita pendek. Bagiku cerita pendek adalah cerita yang di mana kejadian dan momennya hanya satu dan harus diselesaikan saat itu juga.”
Akmal terdiam sejenak, raut wajahnya menampakkan kepelikkan yang tak bisa dijelaskan. Layaknya mencerna sebuah mata pelajaran. “Jadi?”
“Jadi dalam satu momen itu, dimulai dari keinginan karakter, masalahnya, hingga resolusinya harus diselesaikan dalam satu waktu aja, gak bisa diperpanjang. Misal aku nulis permasalahan di sekolah. Masalahnya adalah demo. Akan kugunkan sudut pandang orang pertama yang ngeliatin kerumunan demo, penjelasan masalah datang dari temannya yang ikut duduk nontonin orang demo, lalu masalah diselesaikan dengan orang demo yang bubar. Satu momen, satu kejadian. Gak lebih gak kurang dari itu. Aku bukan penganut plot twist, tapi aku lebih suka nulis sesuatu yang datar tapi jelas. Plot twist yang ditempel dalam cerita-cerita, film juga, biasanya mengandung plot hole dan jika enggak bisa dipoles dengan benar yang ada menjatuhkan semua kecantikan yang ada di dalam ceritanya,” jelas Maya panjang lebar.
Di saat itu juga gadis itu menyadari bahwa ia telah menjadi orang yang sangat menyebalkan dari caranya berbicara dan menjelaskan. Kemampuan bersosialisasinya memang sangat buruk, oleh karena itu ia sebenarnya tidak terlalu suka berbicara dan berdiskusi seperti ini.
“Oh! Aku dapat poinnya.”
“Harusnya. Berbeda dengan film yang abang buat, Rentak, itu emang satu momen, tapi waktunya terlalu panjang. Lebih bagus kalau film itu jadi film panjang bukan film pendek. Semuanya bakal lebih dijelaskan, baik dari sisi karakter utama maupun sisi karakter pendukung.” Maya kelewatan dan ia menyadarinya dan langsung menutup mulutnya. “Maaf.”
Akmal hanya tertawa mendengar betapa jujurnya gadis itu terhadap karya. “Enggak, justru aku senang dapat kritikan dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini orang-orang cuman memuji, tapi cuman berani kritik di belakang. Baru kamu yang berani kritik langsung di depanku. Makasih, ya, Maya.”
Maya terdiam dan menunduk mendengar tanggapan dari abang tingkatnya itu. Sudah lama sekali ia tidak mendengar pujian. Atau mungkin tidak pernah selain formalitas dari pihak sekolah dan bukan dari orangtuanya.
“Oh iya, Maya? Kamu ada kenalan orang yang pernah ngalamin pelecehan seksual enggak?”
Napas Maya tercekat. Keringat dingin mulai mengucuri tubuhnya. Kalimat itu bagaikan tombol yang bisa membuatnya meledak. Namun, semua itu tercegahkan dengan suara bel yang mengakhiri jam istirahat.
Yohan berdiri dan menarik Maya dari tempatnya duduk. “Kami balik ke kelas dulu, Bang.” Bahkan tanpa menunggu jawaban dari para kakak kelasnya itu, Yohan membawa Maya berjalan kembali ke kelas mereka.
Maya masih terdiam kaku dalam pertanyaan dari Akmal. Tidak biasanya demikian, memang, tetapi entah kenapa rasa takut menggerogoti tubuhnya seketika.
“Gak usah ditanggapin. Bilang aja gak tau. Kalau itu masih memicu ketakutanmu terhadap laki-laki harusnya dari awal kamu gak ikut sama mereka.”
Maya menegakkan kepalanya terkejut. Ia menatap tangannya yang masih dipegang oleh Yohan, hingga akhirnya ia menariknya jauh dan mundur beberapa langkah. “Kenapa? Mereka otak selengkangan?”
Yohan terdiam menatap ketakutan di mata Maya sebelum mengalihkan pandangannya. “Bukan. Mereka menghormati wanita, liat kan gimana mereka nanggepin kak Bintang? Mereka gak bakal macam-macam sama perempuan.”
“Terus, kenapa kamu ikut sama mereka dan keluar dari tim kita? Harusnya kita bisa bikin film yang lebih bagus dari mereka.”
Yohan menatap sosok guru yang sedang berjalan menuju kelas mereka. “Enggak, May. Kita gak bakal pernah bisa jadi kayak mereka atau lebih bagus daripada mereka. Tim kita gak sebagus mereka. Aku keluar karena keputusanku sendiri, jadi jangan terlalu benci sama Bang Akmal, karena aku juga mau belajar film dari mereka.”
Yohan berlalu masuk ke dalam kelas, meninggalkan Maya yang masih tersesat dalam pikirannya sendiri.