Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
MENU
About Us  

“Menulis itu menurut kamu apa?”

Maya pernah mendapatkan pertanyan tersebut dari teman sekelasnya. Keduanya menjadi dekat sejak duduk dikelas satu, karena tidak ada pergantian kelas hingga kelululusan. Temannya itu adalah anak yang alim, tetapi cukup pintar di kelasnya. Meskipun Maya menggunakan seluruh otaknya, ia tidak pernah berdiri sejajar untuk mengejar kepintaran. Maka sejak itu ia hanya mengandalkan bakat yang ia asah sejak kecil.

Maya pernah menceritakan tentang ketidaksempurnaannya sebagai wanita kepada teman satu tim pembuat film di sekolahnya itu, termasuk Yohan. Bahkan gadis yang menjadi dekat bersamanya, ia bernama Aban, juga tahu bagaimana kehidupannya yang kaku itu. Orang-orang tentunya tidak akan pernah percaya dengan fakta menyedihkan itu dengan melihat fisik Maya yang berisi, wajah penuh jerawat, dan kulit sawo matang yang berbeda dari gadis lainnya. Belum lagi Maya yang bersikap normal seperti siswa lainnya yang terkadang ceria dan terkadang tidak, walaupun ia lebih sering murung karena rasa takut yang masih menggerogoti separuh tubuhnya.

Hanya saja pertanyaan itu juga tidak bisa dijawab oleh Maya. Kehidupannya memang berubah drastis ketika ia menulis, tetapi sampai saat ini ia juga tidak pernah mengerti kenapa ia mulai menulis.

“Maya! pulang, kuy!”

Mata Maya tertuju pada Aban yang sudah berdiri di depan pintu kelas dengan senyuman yang merekah seperti biasanya. Maya berdiri dari tempatnya, menggunakan jaket abu-abu kesayangannya, dan menyandang tasnya itu. Ia berlari kecil menuju Aban dan keduanya meninggalkan ruangan kelas yang masih diisi oleh murid-murid yang piket.

“Eh tadi kamu ngapain sama kak Bintang sama bang Akmal? Diajak syuting kayak Yohan?”

Maya menggeleng pelan dan menoleh pada Aban saat mereka melalui kelas anak kelas tiga. “Cuman nanya-nanya aja.”

Aban menatap sahabatnya itu dengan sangat dalam, berusaha mengorek informasi apa saja, meskipun seharusnya tidak begitu. “Baguslah. Biar aja Yohan sama mereka. Kita mungkin emang gak cocok buat bikin film sama dia.”

Maya berhenti di anak tangga pertama. Sebuah ingatan terlintas di kepalanya ketika Aban berkata demikian. Semuanya bermula dari Yohan. Ia menyelam di kolam film karena Yohan dan yang lainnya juga sama. Lalu apa yang membedakan mereka dan Yohan? Maya tidak mengerti itu.

“Kalau soal kamu suka sama dia, tenang aja aku gak bakal bocor kok.”

Wajah Maya memerah, seperti tomat rebus, membuatnya seketika berjalan melewati Aban begitu saja yang masih menertawakan reaksinya. Jujur saja, Maya tidak berharap banyak dari kehidupan percintaannya di SMK terlebih dengan tubuh yang ia miliki. Namun, menyukai Yohan merupakan bagian dari usahanya untuk melewati masa-masa kritis kehilangan jati diri sebagai wanita. Ia tidak tahu bagaimana sebuah perasaan teman itu berubah menjadi hal yang lebih. Apalagi Maya percaya jika semua itu hanyalah cinta monyet belaka. Namun, ia merasa kedekatan yang ia miliki dengan Yohan sangat berbeda dan penghalang untuk mencintai pemuda itu sangat tinggi.

Sejauh Maya hidup di umurnya yang ke enam belas, ia semakin sadar dengan perasaan yang dimilikinya. Di saat itu ia mulai berpikir ‘apakah seperti ini rasanya menjadi gadis normal? Menyukai teman sekelas?’ meskipun ia terus menghapus rasa yang ada di hatinya, semuanya terasa mustahil untuk dilewati. Ketakutan terbesarnya hanyalah tidak diterima oleh orang lain.

“Oh, Maya. Mau ikut ngopi gak?”

Maya telah berpisah dengan Aban saat melihat sahabatnya itu telah dijemput oleh ayahnya. Sedangkan ia harus mengendarai motornya sendiri untuk pergi ataupun pulang sekolah. Tepat ketika ia baru saja menemukan motornya di parkiran ia berpapasan kembali dengan Bintang yang sudah dibonceng oleh temannya. Mata Maya mendarat pada Yohan yang juga sudah di motornya dan berada di belakang motor Bintang.

Gadis itu menggeleng dengan cepat. “Enggak dulu, deh, Kak. Aku mau ketemu orang hari ini.”

“Oh, gitu. Oke deh.”

Maya mengangguk saat motor berlalu dan ia mengalihkan pandangannya dari Yohan. Sedikit, ia merasakan sedikit adanya jarak di antara keduanya setelah semua yang mereka lakukan bersama. Itu adalah rasa dikhianati meskipun mereka tak lebih dari teman satu kelas.

Dengan motor matic putihnya itu, Maya berlalu menuju Kotak Baca. Ia sudah berjanji untuk bertemu dengan Dea dan Zaki untuk membahas tulisannya yang sudah ia setor meskipun hanya satu. Dalam perjalanan, kepalanya terus memikirkan kenapa Yohan memutuskan untuk mengikuti Akmal dan kakak kelasnya yang lain dan bukan berkembang bersama dengannya ataupun teman satu kelasnya yang lain. Namun, semua pemikiran itu hilang ketika ia sampai di Kotak Baca. Ia melihat pria berkacamata tebal berdiri di depan pintu garasi sembari melihat sekelilingnya dengan rokok di jarinya. Bahkan saat Maya memarkirkan motornya pria itu tetap menatapnya.

Maya melihat ke dalam, tidak menemukan Dea maupun Zaki di dalam. Ia tidak berbicara apa pun sampai pria itu yang membuka suara. “Halo. Baru pertama kali ke sini?”

Gadis itu terdiam sejenak. Ia tidak suka basa-basi seperti itu karena ia akan terlihat sangat kikuk.

“Enggak. Itu, Kak Dea sama Bang Zaki gak ada?”

Pria itu mengernyitkan dahinya sampai akhirnya ia menggeleng. “Tadi barusan pergi, katanya ada meeting bentar, cuman nanti balik lagi. Ada perlu apa?”

Maya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya berusaha menyembunyikan perasaan tidak tenangnya. “Ada yang harusnya dibahas, udah janjian juga.”

“Oh…” Pria itu menghisap rokoknya dalam-dalam sampai akhirnya ia hembuskan, bagaikan melepaskan beban di dalam tubuhnya. “Masuk aja sambil nunggu.” Ia kemudian menjatuhkan putung rokoknya dan mengulurkan tangannya. “Aku Aji. Kamu namanya siapa?”

Dengan gugup Maya mengeluarkan tangannya dan membalas jabatan tangan dari pria itu. “Maya, Bang.”

Keduanya lantas masuk ke dalam garasi alias Kotak Baca dan duduk dengan santai. Maya telah mengeluarkan laptopnya dan memperhatikan tulisannya yang masih satu itu. Ia ingin mengusahakan supaya yang ia tulis sudah cocok dan ia bisa melanjutkannya dengan gaya tulisan yang sama.

“Oh, penulis juga, ya? Nulis apa btw?”

Maya menegakkan kepalanya, menatap Aji yang sudah menatapnya duluan seolah sejak tadi telah memperhatikan gerak-gerik Maya tanpa melewatkan satu adegan pun. Rasa kikuk itu tidak menghilang dari Maya. Terlebih orang baru, ia benar-benar tidak terlalu suka berbicara dengan orang baru tanpa ada orang yang dekat dengannya untuk menemani dirinya.

“Anu, bahan tulisan untuk majalah Kak Dea.”

“Oh! Uncommon Journal. Aku baru pertama kali liat kamu, jadi kupikir orang baru yang mampir ke sini. Berarti udah kenal kak Dea sama bang Zaki dari lama?”

Maya menggeleng pelan. “Enggak lama juga. Baru tahun lalu. Cuman emang jarang main ke sini karena masih sekolah dan enggak boleh pulang malam juga.”

Aji kembali ber-oh ria dan percakapan pun berakhir. Keduanya mati kutu. Merasa tidak enak, Maya kembali bersuara, seolah ia harus membalas pertanyaan yang sama, bagaikan bola basket yang harus terus memantul.

“Abang kuliah?”

Aji mengangguk. Ia lantas mengambil kursi dan duduk di hadapan Maya. “Di Bandung. Cuman lagi libur aja jadi yah bantu-bantu ngurusin Kotak Baca juga.”

“Jurusan apa?”

“Administrasi pendidikan. Agak jarang didenger kan?”

Maya hanya mengangguk, lalu terdiam kembali tidak tahu harus bertanya apa lagi.

“Kamu? SMA atau SMK?” Aji kembali bertanya, layaknya tak ingin membiarkan suasana mati di antara mereka, meskipun bagi Maya pertanyaan itu teru emngganggunya dan ia tidak bisa menulis dengan benar.

“SMK, jurusan multimedia.”

“Oh! Bikin film dong?”

Maya terdiam seketika. Dibilang iya, sebenarnya tidak, dibilang tidak sebenarnya iya. Jurusan multimedia adalah jurusan paling menyebalkan yang ia tahu. Setiap siswa harus bisa melakukan apa saja dalam bentuk media. Programming, jaringan, desain, video dan audio, serta animasi, semuanya masuk bagaikan mereka tak diberikan fokus apa-apa seperti jurusan tata boga atau pun tata busana.

“Enggak juga.” Maya akhirnya hanya mampu menjawab itu.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sejak tadi sudah cukup baginya sampai Dea dan Zaki sampai di Kotak Baca. Maya menghela napas lega karena bisa terbebas dari suasana kikuk antara dirinya dan Aji.

“Maya! Yeay!” Dea memeluk Maya dari belakang dan memperhatikan tulisan Maya yang tertampil di laptop yang masih menyala itu.

“Aku udah baca tulisan kamu! Bagus banget! Pemilihan kata kamu emang unik! Aku suka, kamu bisa lanjut dengan topik yang lain, aku gak ada komplain apa pun. Paling aku cuman edit dikit-dikit jadi gak ada yang jadi kesalahan mayor. Tenang aja. Anak wartawan emang beda.”

Dea melepaskan pelukannya dari Maya saat melihat suaminya duduk di kursi dan turut membuka laptop.

“Kamu udah kenalan sama Aji?”

Maya mengangguk dengan tatapannya mengikuti gerak-gerik Dea yang sedang merapikan rambutnya.

“Dia bagus soal ngomong, harusnya masuk ilmu komunikasi aja, kan?”

“Jangan gitu dong, Kak Dea. Aji kan cuman ngikutin kata orangtua aja. Lagian mereka udah nyiapin lapangan buat Aji kerja,” balas Aji dengan sedikit tawa yang mengiringinya.

Dea turut tertawa mendengar balasan dari Aji.

Sedikit saja. Maya ingin merasakan sedikit saja tawa lepas seperti itu, bukan bergelut di dalam dirinya sendiri. Terlebih kalimat Dea yang terus menyinggung pekerjaan ayahnya adalah sebuah kesedihan terbesar dirinya. Maya hanya ingin dilihat sebagai dirinya apa adanya dan apa yang telah ia hasilkan, bukan sebagai anak dari seorang wartawan yang punya relasi luas.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
MANITO
2186      1288     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Metafora Dunia Djemima
188      153     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Kacamata Monita
3013      936     3     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Imperfect Rotation
295      252     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Halo Benalu
2134      819     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Survive in another city
230      187     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Tic Tac Toe
638      506     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
In Her Place
1577      895     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Me vs Skripsi
3091      1297     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Di Antara Luka dan Mimpi
1367      755     69     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...