Maya kembali ke rumahnya ketika magrib tiba. Ia tidak berkata apa-apa saat berpapasan dengan ayahnya yang hendak pergi ke masjid bersama adiknya itu. Setidaknya ia tidak pulang semalam yang kemarin. Maya berlalu begitu saja dan masuk ke kamarnya yang kecil daripada kamar yang lain di rumahnya.
Tubuhnya terbaring lemas di atas kasur dengan mata yang tertuju pada langit-langit kamar. Energinya terkuras habis hanya dengan percakapan di Kotak Baca, terlebih orang baru itu. Meskipun ia sibuk berbicara dengan Dea, Aji tetap saja nimbrung dalam pembicaraan mereka. Meskipun Dea secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia juga merasa terganggu.
Laptopnya kembali menyala. Maya telah duduk di kasurnya dan jari-jarinya mulai menari di atas keyboard bagaikan dirasuki penulis kelas kakap. Ia tidak bisa berhenti dan tetap menulis semua bahan majalah yang diberikan oleh Dea. Meskipun memakan waktu beberapa jam demi menemukan kosa kata yang berbeda. Namun, gadis itu berhasil menyelesaikan empat belas tulisan hanya dalam satu malam. Maya dengan segera mengirimkan tulisannya kembali pada Dea, tanpa menunggu balasan ia langsung menutup laptopnya dan berbaring di kasurnya kembali.
Maya merilekskan tubuhnya sejenak, menatap langit-langit kamarnya kembali sembari pikirannya sibuk memikirkan bagaimana kehidupannya selanjutnya. Menyalahkan abangnya sudah tak berguna untuknya. Tidak akan ada sanksi untuk pria itu. Namun, kehidupannya dipertaruhkan. Masa depannya hilang sebagai wanita. Lantas apa tujuan hidupnya? Menulis bukanlah jawaban, ia harus mempunyai sesuatu yang lebi kuat daripada hanya menulis saja. Kehidupan yang monoton itu harus berubah. Hanya saja, Maya hanyalah anak SMK yang masih bergantung pada orang tuanya, ia tidak bisa melakukan apa-apa.
***
Pukul setengah delapan pagi, kepala Maya masih tergeletak di atas meja sembari menunggu guru yang mengajar untuk masuk, sedangkan teman sekelasnya yang lain sibuk berbicara satu sama lain. Pandangannya tertuju pada punggung Yohan yang duduk di hadapannya. Yohan yang duduk di barisan tengah sedangkan Maya di belakangnya. Hasil pertukaran tempat duduk ini dilakukan oleh wali kelas untuk meningkatkan akademik para murid laki-laki. Meskipun demikian, Yohan sudah lebih pintar daripada dirinya, duduk di belakang pun bukan masalah untuk Yohan, lagipula sejak awal pemuda itu sudah berasal dari sekolah yang memiliki akademik bagus.
Kehidupan pertemanan yang biasa saja, percintaan yang buruk, mungkin itulah kehidupan sekolah yang monoton menurut Maya. Namun, ia tidak punya cara untuk merubahnya selain menjadi ssiwa yang berprestasi secara non akademik. Hanya saja, ia juga tidak ingin menjadi berbeda daripada yang lainnya. Ia ingin sama, tetapi kesamaan yang dimilikinya dengan para gadis yang lain telah direnggut, jadi semuanya menjadi biasa saja untuknya.
Napasnya tiba-tiba menjadi kasar, sesekali Maya menepuk dadanya berharap jika semuanya kembali normal. Aban belum datang, dan ia juga tidak terlalu dekat dengan teman-temannya yang lain. Yohan yang menyadari ada sesuatu hal aneh di belakangnya. Dengan cepat Yohan menoleh dan menatap Maya yang sudah bercucuran keringat dingin dan napas yang tidak teratur.
“May?”
Tangan Yohan dihempas begitu saja saat pemuda itu hendak menyentuhnya. “Jangan pegang!”
“Obat kamu di mana? Perlu ke UKS?”
“Diam!”
Yohan dengan kesal mengeluarkan sebuah kotak coklat kecil dari tas Maya dan mengeluarkan obat-obat yang ada di dalamnya. “Yang mana obat penenangnya? Udah minum yang pagi?”
Maya menegakkan kepalanya dan merampas kotak tersebut. Dengan cepat ia mencari obat yang ia butuhkan di dalam plastik obat. Satu obat ia tegak dengan cepat tanpa air, berharap jika obat itu dapat menenangkannya dalam hitungan detik. Namun, sayangnya butuh beberapa menit supaya obat itu bekerja. Maya berusaha bangkit dari tempatnya dan keluar dari kelas meskipun ia berpapasan dengan gurunya yang akan mengajar. Ia baru saja menjadi tontonan murid di kelasnya. Sikap aneh yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun, kini menjadi pertanyaan untuk semua murid di kelasnya.
Maya berlari menuju ruangan kelas yang selalu kosong dan menyendiri di sana. Berusaha menghilangkan rasa tidak tenang dalam dirinya. Sesekali air matanya menetes, tidak deras, tetapi ai berusaha menarik napasnya dalam-dalam demi membuat pikiranya kembali jernih. Hal yang jarang sekali terjadi ketika ia merasa ‘kumat’ di pagi hari tanpa ada pemicu yang keras. Perlahan, ia kembali tenang, mungkin karena efek obatnya sudah mulai bekerja, tetapi efek samping lainnya mulai muncul, yakni kantuk.
“Maya.”
Pintu ruangan kelas terbuka perlahan, menampakkan sosok gadi berjilbab panjang dengan raut wajah khawatir yang tertempel. Itu Aban, ia perlahan masuk dan duduk di hadapan Maya yang masih memeluk dirinya sendiri dengan baju seragamnya yang sudah sedikit basah akibat keringat dingin dari tubuhnya.
“Mau ke UKS? Obatnya bikin ngantuk, kan?” Aban kembali bersuara. Ia perlahan mengusap kepala Maya, mengharapkan jika gadis itu dapat lebih tenang.
Aban terdiam kembali, ia berusaha memikirkan cara untuk mendapatkan perhatian Maya supaya mau mendengarkannya. Hingga akhirnya Aban menghela napas panjang. “Tadi muka Yohan lucu banget. Kayaknya dia khawatir sama kamu. Dia pergi buat nyari aku biar bisa nemuin kamu.”
Maya perlahan menegakkan kepalanya dan menatap sahabatnya itu. “Aban, aku bingung.” Ia terdiam sejenak, masih berusaha berpikir jernih sebelum berbicara. “Apakah aku adalah sebuah dosa yang hidup sehingga menerima semua siksaan di dunia ini?”
Pertanyaan itu lantas membuat suasana menjadi hening di antara mereka. Maya yang tidak tahu kenapa dirinya menjadi panic secara tiba-tiba dan Aban yang tidak mengerti bagaimana mengatasi sahabatnya. Sejak awal keduanya tidak bisa saling mengerti sebagai teman, tetapi entah mengapa mereka menjadi sahabat yang berlalu begitu saja tanpa ada kata pembuka.
Maya berakhir di UKS pagi itu, bahkan hingga jam istirahat makan siang ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Tasnya sudah dirapikan oleh Aban setelah ia mengantar Maya ke UKS. Sepanjang kelas, Aban hanya bisa terdiam, meskipun desas-desus tidak mengenakkan mengisi telinganya bagaikan nyamuk yang mengitari indra pendengarannya itu.
“Kenapa dia tiba-tiba kumat?” tanya Yohan pelan. Ia memutar tubuhnya sedikit untuk melihat Aban yang kursinya tepat di sebelah Maya. Kursi yang biasanya terisi sosok Maya akini hanya kosong dengan tas ransel berwarna hitam.
Aban terdiam sejenak sebelum akhirnya menatap Yohan. “Gatau, aku bukan psikiater dia.”
“Masih pagi—“
“Aku gatau, Yohan,” potong Aban penuh penekanan. “Yang pasti, ada bayak yang lagi dia pikirin. Mungkin kau juga salah satunya.”
Yohan mengernyitkan dahinyanya penuh kebingungan. “Aku? Emang aku ngapain?”
Aban menghela napas panjang. “Masih nanya? Selama ini yang paling berisik buat ngajak bikin film cuman dia, tapi kau malah keluar seolah gak terjadi apa-apa. Han, Maya itu emang lemah, tapi dia sebenarnya gak selemah itu. Jangan terlalu benci sama dia.”
Yohan terdiam seketika. Ia membalikkan tubuhnya dan tak menjawab Aban lagi. Matanya tertuju pada pintu kelas, di sana Maya sudah masuk ke dalam kelas dan mengambil tas di kursinya di sebelah Aban tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia kemudian berlalu dan keluar lagi dari kelas untuk pulang meskipun tujuannya bukanlah rumah.