Kotak Baca telah buka ketika Maya parkir di halaman rumah. Ia sudah melihat satu motor di sana dan pagar telah terbuka lebar seolah menunggu kedatangannya. Saat ia berdiri di depan pintu masuk, ia melihat Dea dan Zaki yang sedang duduk di kursi dan sibuk dengan laptop mereka masing-masing.
“Hey, Maya!”
Maya dan Dea saling menatap satu sama lain, gadis itu tersenyum tipis dan masuk ke dalam untuk duduk di hadapan Dea dan meletakkan tasnya di lantai.
“Hari ini kamu pulang cepat? Tumben banget siang bolong gini udah nongol.”
Maya terdiam dan mengangguk, selayaknya adik yang tak ingin mengecewakan kakaknya. “Soalnya hari ini cuman ada sosialisasi, jadi gak ada ngapa-ngapain lagi di sekolah.”
Dea memicingkan matanya sedikit, seolah mengetahui jika gadis itu berbohong, tetapi ia memilih diam dan menghela napas panjang. “Oh, gitu.” Diam sejenak, Dea kembali ke laptopnya sebelum berbicara pada Maya kembali. “Aku udah baca tulisan kamu, aku suka, cuman revisi minor biar sesuai dengan gaya bahasa Uncommon Journal aja, jadi gak ada masalah sedikit pun.” Dea tersenyum lebar sembari mengelus kepala gadis itu lembut.
Elusan yang berbeda dari Aban. Terasa lebih hangat dan lembut. Terasa lebih menenangkan daripada siapa pun yang pernah mengelus kepalanya. Maya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia memperhatikan pasangan suami istri itu secara bergantian, menemukan tempat yang aman dan nyaman untuk dirinya sendiri.
“Assalamualaikum!”
Suara berat itu membuat Maya terkejut, gads itu menoleh ke pintu masuk dan melihat sosok Aji yang baru saja membuka jaketnya dan menyalami Zaki dan Dea secara bergantian, lalu gilirannya untuk melakukan hal yang sama. Aji duduk di hadapan Zaki dengan rokok elektrik yang tergantung di lehernya. Ia menghela napas panjang dan menatap satu per satu insan yang ada di sana.
“Lagi pada rapat atau gimana nih? Aku ganggu gak nih?” tanyanya seketika, menyadari jika suasana menjadi hening ketika ia datang.
“Enggak. Lagi bahas Uncommon Journal aja bareng Maya,” jawab Dea santai dan menyenderkan punggungnya kembali ke senderan kursi. Tatapannya teralih pada Aji sejenak setelah memberikan tanda pada Maya untuk istirahat sebentar.
“Oh, ya? Aku juga dengar kemarin dari Maya katanya dia yang nulis buat Uncommon Journal. Emang biasa nulis ya berarti, sampe Kak Dea sendiri yang nawarin?”
Maya terdiam dan Dea tertawa kecil. “Jago banget, Ji. Kalau kamu liat ada dua buku di sini itu tulisan Maya. Dia udah nerbitin novel, gratis lagi ditawarin langsung sama penerbit.”
“Keren, dong!”
Maya tetap terdiam dan mengalihkan pandangannya untuk tetap menatap laptopnya saja, tidak ingin terlibat akan pembicaraan mengenai dirinya jika bukan ia sendiri yang membawanya. Ia merasa tidak nyaman dengan pembicaraan itu.
“Tumben baget dirimu jam segini udah datang? Biasanya sorean,” ujar Dea mengalihkan pembicaraan. Ia sekilas menatap Maya, menyadari jika gadis itu memang tidak ingin menjadi bahan pembicaraan.
Aji memperhatikan Maya sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Dea. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin ia ketahui tentang Maya. Namun, Aji sendiri bingung harus bagaimana melakukan pendekatan pada gadis itu dengan umur mereka yang terpaut jauh. “Lagi gabut aja di rumah. Librarian juga bilang kakak udah di sini, kan. Jadi, ya, sekalian aja kemari. Bingung juga sih mau ngapain di sini, tapi intinya gak di rumah aja dulu.”
“Oh, gitu. Aku mau lanjut bahas tulisan sama Maya dulu, ya.”
“Aman aja, Kak. Santai.”
Dea tersenyum tipis kemudian kembali menatap Maya. Dea membaca kembali tulisan yang sudah dikirim oleh Maya. “Aku sama Zaki kemarin udah diskusi, jadinya untuk volume ke lima ini kita fokus sama yang lain dulu aja, kana da ya yang bahas kopi? Nah, itu mau dipindahin ke volume enam belas aja. Di volume enam belas kita fokus sama kopi dan matcha. Jadi berapa ya totalnya kalau dikurangin sama perkopian dari yang kamu tulis?”
“Tiga belas, jadinya kurang dua.”
“Oke, dua ya. Hm.” Dea terdiam sejenak kemudian membuka folder-folder yang ada di laptopnya sampai akhirnya kepalanya berisikan ide baru. “Gini aja, kemarin aku sama Zaki ada ke Kuala Lumpur jadi ada dua bisa nih. Satu tentang hotel satu lagi tentang perbedaan literasi di sini sama di sana. Poin-poinnya aku kirim ke kamu.”
Maya mengangguk pelan menunggu kiriman pesan dari Dea.
“Kamu bisa pake wifi kita aja, May. Password-nya bacakotak.”
Maya mengangguk lagi, kemudian menyambungkan jaringan wifi itu ke laptopnya sehingga pesan masuk mulai bermunculan. Lalu pesan dari Dea masuk dan ia mulai membacanya. Namun, ia terdiam. Kali ini poin-poin untuk bahan tulisannya lebih sedikit dan ia jadi bingung apa yang harus ia tulis dengan jumlah yang sedikit itu. Gadis itu mengalihkan pandangannya, menangkap sosok Aji yang sudah memegang bukunya.
“Kok nemu?” tanyanya dengan panik.
Aji menoleh dan menatap Zaki. “Dikasih tau Bang Zaki. Aku tertarik sama yang ini, katanya bawa isu politik. Jarang-jarang ada yang angkat soalnya. Apa lagi di umur kamu—“
“Bacanya di rumah aja! Atau yang penting jangan depan aku! Malu!”
Dea tertawa lepas mendengar pengakuan dari gadis itu. Seolah memang hal yng lucu untuk ditertawakan. “Pas aku sama Zaki baca depan kamu, kamu biasa aja.”
“Beda! Soalnya aku baru kenal Bang Aji, jadi rasanya kayak malu aja!”
Dea masih tertawa hingga alaram ponselnya bordering. “Waduh, aku ada meeting sama klien. Aku sama Zaki pergi dulu, kamu jangan pulang dulu, ya May. Bentar aja abis itu aku balik!” Dea dengan buru-buru mengemas laptopnya kembali dan menyimpannya ke dalam tas. Ia lantas pergi bersama Zaki. Kejadiannya begitu cepat seolah mata Maya tak diberikan waktu untuk beristirahat.
Kini ia kembali berdua bersama Aji, membuatnya kebingungan, terlebih setelah ia mengatakan hal lucu tadi membuat Aji menyimpan buku tersebut ke dalam tas. Maya menghela napas panjang. “Maaf.”
“Santai aja kali. Umur kayak kamu sering malu wajar. Masih umur labil soalnya.”
Maya mengernyitkan dahinya, ia tidak suka label itu. Remaja masa pubertas dan labil. Dia tidak terlalu suka dianggap demikian.
“Tapi, kamu bisa nulis ini, berarti ada sesuatu yang berbeda dari kamu. Kak Dea yang percaya sama kamu juga salah satu buktinya. Kami yang dianggap tim sama Kak Dea gak pernah dikasih tau password wifi, tapi kamu langsung dikasih tau sama dia. Aku baru bulan ini main di Kotak Baca dan jadi tim mereka. Cuman rasanya, kayak gak dapat kepercayaan kayak kamu.”
Maya terdiam sejenak, sampai akhirnya ia menarik napas panjang. “Bukan gak percaya, tapi Kak Dea pasti masih melihat pergerakkan kalian. Mau liat kalian seingin apa buat ngembangin Kotak Baca. Emang, Kotak Baca lagi pengurusan jadi yayasan, tapi Kak Dea udah bangun ini sampai berdarah-darah, dia cuman mau liat gimana kalian bisa mengurusi Kotak Baca ini atau enggak. Entah dalam waktu yang lebih panjang atau lebih pendek, tim yang kalian sebutkan itu pasti akan diberhentikan karena kalian enggak bikin pergerakkan apa pun dan masih menunggu arahan dari Kak Dea bukan dari inisiatif kalian. Maaf kalau bahasaku kayak kurang ajar, tapi aku pikir seharusnya Abang maupun anggota tim lainnya bisa mengerti apa yang diinginkan Kak Dea dari kalian.”
Penjelasan panjang itu membuat Aji terdiam seketika, bagaikan mendapatkan wahyu atas apa yang harus ia lakukan. Namun, ia merasa jengel sedikit karena harus mendengarkan pernyataan itu dari gadis yang lebih muda daripada dirinya. Hanya saja ia sadar, jika kapasitas dirinya tak sebesar milik Maya. Ada sesuatu di dalam dari gadis itu yang menarik dirinya, bagaikan magnet gravitasi inti Bumi.
“Berdarah-darah … ya?”
Maya mengangguk dan berusaha memposisikan drinya lebih nyaman lagi di kursi. “Kak Dea itu orangnya baik, aku juga bersyukur dia ketemu sama Bang Zaki yang bisa menahan dirinya biar gak bekerja terlalu keras. Makanya, mungkin itu alasan mereka membuat tim, supaya mereka gak terlalu memforsir diri lebih keras daripada sebelumnya. Darah yang sebelumnya terlihat di mata mereka, seharusnya sudah menghilang dengan harapan mereka ke tim. Bukannya di organisasi mahasiswa juga demikian? Bedanya di sini kalian membangun, bukan meneruskan apa yang udah ada.”
Aji benar-benar dibuat terdiam dari konsep pemikiran Maya. Dari semua anggota tim, Aji merasakan adanya hal yang berbeda dari Maya dan bisa menjadi hal yang baik untuk Dea, Zaki, maupun Kotak Baca. Namun, entah mengapa perasaan aneh itu terus menggerogoti Aji seakan ia ingin tahu lebih dalam tentang Maya.